Pemilu 2019 di Ambang Kerusuhan, Apa Aksi Kita?

Senin, 25 Februari 2019 | 08:32 WIB
0
639
Pemilu 2019 di Ambang Kerusuhan, Apa Aksi Kita?
Sumber: http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au

Jarum jam belum sampai di angka 7 pagi, ketika serombongan pemuda yang mengaku simpatisan Alliance, kelompok oposisi Honduras yang dipimpin oleh mantan wartawan olahraga keturunan Palestina, Salvador Nasralla mendatangi rumah Martinuz, seorang karyawan perusahaan retail di Tegucigalpa, Ibukota Honduras.

Mereka merusak pagar rumah Martinuz, menuntut Martinuz bersaksi di pengadilan untuk membuka dugaan kecurangan Pemilu dari petahana, Juan Orlando Hernandez dari partai Nasional. Martinuz adalah anggota "KPU"nya Honduras. Martinuz dipaksa membuka mulut, dan saat itu Martinuz tetap bertahan pada prinsipnya bahwa Pemilu sudah dilakukan sesuai dengan undang-undang.

Akibatnya, rombongan pemuda tadi mengamuk, rumah Martinuz di bakar dan merembet kepada kerusuhan massal di Honduras. Terjadi bentrokan antar massa dan kepolisian, total 11 orang meninggal dalam kasus Honduras pasca pemilu.

Hal serupa juga terjadi di Kenya pada pemilu 2007. Kerusuhan terjadi ketika oposisi Raila Odinga tidak terima hasil pemilu yang memenangkan petahana Mwai Kibaki. Kerusuhan memakan korban 1300 orang dari data resmi, data tak resmi melaporkan angka sampai 3 kali lipatnya. 

Kerusuhan terjadi lagi pada Pemilu 2013, dengan lakon yang sama, Raila Odinga pada oposisi melawan Uhuru Kenyatta, putra Presiden pertama Kenya Jomo Kenyatta. Odinga kalah lagi, rusuh lagi.

Jauh kebelakang, kita melihat pula masa kelam Jerman dalam proses Pemilu, saat itu tahun 1933. Sebelum Pemilu dilangsungkan, Reichskanzler saat itu, Adolf Hitler dan partai Nazi-nya menangkat propaganda kasus terbakarnya rumah parlemen Reichstag dan ancaman penggulingan oleh Komunis sebagai menu utama.

Propaganda Nazi saat itu sangat massif dan terencana matang. Tuduhan Nazi terhadap Komunis sebagai biang keladi terbakarnya rumah parlemen dijalankan dengan aksi. Kekayaan partai komunis Jerman, KPD ditarik. Dokumen KPD di jarah, ribuan pendukung KPD dan Demokrat menjadi korban dan kabur keluar negeri. Ketika Pemilu berlangsung, partainya Hitler, NSPAD hanya meraih 49%, tidak cukup untuk memerintah tunggal.

Dilakukanlah teror dan ketakutan di masyarakat, termasuk kepada Yahudi. Hasilnya partai KPD hancur dan muncul hanya 1 partai, partai Nasionalsosialis, di bawah kendali penuh Nazi.

Tiga kasus di atas adalah kasus dimana Pemilu yang seharusnya menjadi proses demokrasi dalam memilih pemimpin berbalik menjadi mimpi buruk. Pemilu bukan memajukan negara, malah menjadi kemunduran. 

Tiga negara di atas mengalami masa kelam politik selepas kerusuhan Pemilu. Honduras dan Kenya tak juga naik menjadi negara berkembang dengan strata baik, mereka jauh dibawah Indonesia. Pun Jerman yang kalah habis-habisan di Perang Dunia II. Beruntung bagi Jerman, karena intelektual masyakaratnya di atas rata-rata.

Tiga negara di atas pun memiliki ciri yang sama, kerusuhan yang salah satunya diakibatkan oleh ambisi kekuasaan yang mengerikan. Plus ciri-ciri tokoh utama yang nyaris sama.

Oposisi Honduras, Salvador Nasralla adalah politikus yang gagal dalam Pemilu tahun sebelumnya, pun Raila Odinga, yang kalah berkali-kali dalam Pemilu Kenya. Hitler pun setipe bahkan diatas mereka.

Indonesia bisa seperti itu? BISA. 

Tapi, Indonesia tidak akan seperti itu, jika kita mengerti dan paham tipe-tipe pelaku haus kekuasaan. Seperti Nasralla dan Odinga, mereka tak pernah bosan mencalonkan diri menjadi Capres, meskipun gagal berkali-kali. Kedua, mereka punya bibit sifat dari Hitler, hobi melempar isu SARA dan suka propaganda ketakutan.

Indonesia pernah memasuki masa kelam di tahun 1998 dan untuk itu, kita bertekad bahwa tidak akan ada lagi keresahan, kerusuhan dan kekacauan dalam Pemilu April 2019 nanti. Kita tidak mau Indonesia seperti Mesir, dimana Mesir masuk kedalam politik kasar yang hobi menggulingkan kekuasaan dan chaos.

Salah satunya karena Mesir ditunggangi oleh radikalisme. Tidak ada Pemilu yang damai di negara yang di huni oleh bibit radikalisme, baik itu Hisbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin apalagi ISIS. Kelompok ini sudah membuktikan "kehausan" akan kuasa di berbagai negara.

Atas dasar itulah berkumpulah para penulis Indonesia di acara Deklarasi Penulis untuk Pemilu Damai. Acara yang diadakan di Hotel Santika pada hari Minggu lalu (17/2/19). Acara yang di inisiasi oleh Kang Pepih Nugraha, founder Pepnews dan ex-CEO Kompasiana  ini salah satunya mengupas tentang masa kelam era 98.

Kita tidak mau lagi mundur ke arah 98. Kita tidak mau Indonesia kembali hancur apabila sosok haus kuasa nekat memaksakan kehendaknya untuk menggulingkan atau tidak terima terhadap hasil Pemilu nanti. Plus indikasi adanya gerakan radikal yang mendompleng oposisi menjelang Pemilu, semua itu harus dilawan.

Indonesia harus dan wajib melaksanakan Pemilu damai. Lantas sejauh mana para penulis ini bisa berkonstribusi untuk Pemilu damai sedangkan gerombolan mereka sudah nekat melakukan berbagai aksi teror menjelang Pemilu?

Wallahu A'lam Bishawab, kita hanya bisa berusaha, semaksimal mungkin meskipun lewat tulisan. Percayalah, Indonesia selalu baik-baik saja.

***