Setelah Seolah-olah Demokrasi

Sabtu, 9 November 2019 | 20:22 WIB
0
395
Setelah Seolah-olah Demokrasi
Foto: Liputan6.com

Saya membaca sebuah artikel yang di tulis oleh Todung Mulya Lubis, yang berjudul: "Mencari Keseimbangan Baru". Artikel ini pernah dimuat di Kompas, 16 Juni 1998.

Artikel yang terkompilasi dalam buku, "Jalan Panjang Hak Asasi Manusia" ini masih sangat relevan dengan kekinian, itulah makanya saya tertarik untuk mengulasnya.
21 tahun Reformasi adalah saatnya merealisasikan mimpi-mimpi.

Dalam artikel Todung Mulya Lubis ini terangkum berbagai impiannya, yang saat ini sedikit demi sedikit sudah mulai ada yang terwujud.

Itu bukan cuma mimpi Todung, tapi adalah impian pada umumnya masyarakat Indonesia, yang saat itu hidup di zaman "seolah-olah demokrasi". Itu istilah Todung untuk menyebutkan Demokrasi Pancasila di zaman Orde Baru.

Memang demokrasi saat itu hanya seolah-olah, bagaimana tidak dibilang begitu, regulasi politik tidak ada sama sekali. Semua harus satu suara, kalaupun terlihat ada perbedaan adalah hasil dari rekayasa.

Deregulasi politik menjadi sebuah keinginan besar, sehingga suasana kebebasan politik yang dirampas sejak tahun 1970, menjadi kehidupan yang mengisi keseharian masyarakat. Pada kenyataannya impian itu sudah terwujud, meskipun kebablasan.

Reformasi dibidang politik saat ini sudah menampakkan hasilnya. DPR yang tadinya di era Orde Baru hanya sebagai lembaga boneka. DPR diolok-olok karena sikapnya yang pasif, dan masa bodoh, sekarang tiba-tiba DPR sangat aktif.

Malah, terkesan dewan sekarang ini sudah mulai merambah wilayah kerja eksekutif dan berperan sebagai cabang pemerintahan yang mengambil berbagai keputusan. Kebijakan yang selama ini menjadi kewenangan eksekutif, kini, tak luput dari campur tangan DPR.

Reformasi politik tersebut juga berdampak besar pada "posisi tawar" DPR. Pada tingkat praksis, kita menyaksikan bahwa membesarnya kekuasaan DPR bukanlah cuma fantasi. DPR sudah menjelma menjadi sebuah lembaga kekuasaan baru.

Dalam bidang hukum juga banyak impian yang dikemukakan Todung, terutama persoalan penegakan hukum. Ini yang belum tercapai secara maksimal paska 21 tahun reformasi, juga penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Seharusnya, persoalan ini sudah bisa dicapai secara maksimal. Persoalan hukum dan HAM dimasa lalu masih banyak yang menggantung, sehingga persoalan ini seperti berada dalam "lingkaran setan".

Ini selalu menjadi pekerjaan rumah (PR) setiap peralihan kekuasaan, yang tidak pernah bisa terselesaikan. Selain itu, mewacanakan kembali Amandemen UUD 45 secara menyeluruh, disambut baik oleh kalangan Partai Politik.

Itu artinya semua ingin kembali ke masa lalu, dimana masa demokrasi cuma seolah-olah. Bisa jadi Presiden merupakan Mandataris MPR, kekuasaan tertinggi ada ditangan MPR. Ini hanya tinggal menunggu waktu untuk terwujud.

Inilah juga dampak dari reformasi politik, memosisikan DPR yang merupakan representasi dari partai, bukan representasi dari rakyat begitu dominan. Sehingga terkesan memiliki hegemoni keuasaan tersendiri dalam kemasan oligarki politik.

Aspirasi rakyat nyaris tak terdengar, tapi tetap mengatasnamakan kepentingan rakyat. Kekuasaan seorang presiden begitu lemah dibawah koalisi partai, membelenggu berbagai kebijakannya yang pro kepada rakyat.

21 tahun adalah waktu yang singkat untuk sebuah perubahan yang besar, tapi menjadi begitu lama kalau tidak menghasilkan perubahan apa-apa. Yang namanya perubahan, harusnya membawa kearah baru, arah yang lebih baik dari sebelumnya.

Cita-cita untuk menciptakan infrastruktur hukum yang menjadi landasan dari sistem perekonomian masa depan yang lebih terbuka, fair, dan competitive.

Mengenyahkan sistem "korupsi, kolusi, dan nepotisme, sudah menampakkan wujudnya.
Dan itu terbukti, kita sudah mulai memasuki zaman transparansi dan akuntabiliti. 

Beberapa pemerintahan daerah sudah memulai sistem penganggaran digital e-Budgeting, yang bisa diakses masyarakat secara mudah, demi transparansi anggaran.

Pengusaha yang tadinya menjadi besar karena disuapin pemerintah, sekarang pengusaha menjadi besar karena memiliki kemampuan dan keunggulan tekhnologi, managerial, dan kreativitasnya, bukan karena ditopang dan didukung oleh kekuasaan.

Lihat saja Nadiem Makarim dengan usaha Gojeknya, dan beberapa usaha unicorn, decacorn yang dikuasai oleh anak-anak muda Potensial, yang melek tekhnologi kekinian. Inikan suatu hal yang sangat menjanjikan masa depan bangsa dan negara.

Memang, untuk melakukan perubahan secara menyeluruh dibutuhkan komitmen yang tinggi, dan semua itu tidak bisa dicapai semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, yang jelas 21 tahun paskareformasi, sudah banyak impian yang bisa dicapai.


Sumber:
Buku "Jalan Panjang Hak Asasi Manusia"
Penulis: Todung Mulya Lubis
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama