Inilah yang kemudian membuat Arifin harus mengakui bahwa figur seorang HB sulit untuk ditemukan lagi di kalangan birokrat pada era sekarang.
Di mana bertugas, Harianto Badjoeri yang akrab disapa HB selalu menorehkan prestasi. Sesuai dengan semboyannya, “sekali tampil harus berhasil!”
Begitu juga ketika menjadi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta dari tahun 2005 sampai 2010, HB tampil gemilang. Salah satu prestasi gemilangnya adalah ketika dia menjadikan Satpol PP DK menjadi unit kerja yang besar, berwibawa, dan berperan penting dalam menjaga ketertiban umum Ibu Kota.
“Pada masa beliau memimpin, Satpol PP merekrut banyak anggota baru, sehingga jumlahnya luar biasa banyaknya,” ungkap Kepala Satpol PP DKI, Arifin.
Dari yang tadinya hanya sedikit jumlahnya, di tangan HB Satpol PP memiliki anggotanya ribuan orang –6000-an. Sebaian besar dari mereka diperjuangkan oleh HB menjadi pegawai negeri sipil. Jumlah ini cukup untuk menjaga ketertiban umum Ibu Kota sampai ke tingkat kelurahan.
Satpol PP bukan hanya banyak anggotanya, tetapi mereka juga memiliki sarana dan prasarana kerja yang luar biasa memadainya. Mulai dari seragam ala militer anti huru-hara, tameng, helm, rompi anti senjata tajam, kendaraan operasional, sampai perahu karet untuk penyelamatan korban banjir. Belum lagi, HB juga membangun sarana olahraga tinju untuk melatih fisik anggota Satpol PP yang senang berlaga.
Kelengkapan yang dimiliki Satpol PP ini melebihi dibanding unit kerja lainnya yang sama-sama memiliki pasukan, seperti pemadam kebakaran.
Inilah yang membuat Satpol PP DKI waktu itu amat disegani, karena selain jumlahnya luar biasa banyak, mereka juga tampil gagah ketika bertugas di lapangan. Satpol PP waktu itu mirip seperti pasukan tempur yang bikin pihak “lawan” ciut nyalinya.
“Dengan jumlah yang besar dan gagah memang efektif buat menyelesaikan tugas-tugas di lapangan, karena orang-orang menjadi segan berhadapan dengan Satpol PP,” kata Arifin.
Di era HB, Satpol PP haruslah kuat dan banyak jumlahnya, karena waktu itu mereka menghadapi berbagai persoalan Ibu Kota yang membutuhkan penanganan khusus. Jakarta juga sedang membuat proyek-proyek besar seperti jalur bus TransJakarta yang banyak mendapat penolakan dari beberapa kelompok di masyarakat.
Belum lagi penataan fisik di berbagai sudut kota membutuhkan usaha yang sedikit “keras” dari Satpol PP agar misi pembangunan nasional di Ibu Kota berjalan efektif.
Bagi HB, untuk mengawal pembangunan di Ibu Kota ini, membutuhkan pengawalan yang efektif. Pembangunan Ibu Kota tidak mungkin berhasil bilamana Satpol PP jumlahnya kecil dan tampil tidak berwibawa.
Selain membangun performa Satpol PP, HB juga membangun relasi personal dengan anggotanya dan elemen lain di luar. Mulai dari kepolisian, TNI, pengusaha, penegak hukum, unit kerja di pemerintah Provinsi DKI, organisasi masyarakat, aktivis, sampai preman jalanan.
“Semua orang mengenal Pak Harianto dengan baik. Itulah kelebihan beliau dalam pergaulan,” ujar Arifin.
Arifin mengenal HB sebagai pribadi yang menyenangkan, hangat, taat aturan, pemurah, penolong, dan menghargai orang lain. Sebagai Kepala Satpol PP DKI, Arifin mengenal HB sejak tahun 2005 sewaktu dia menjadi Camat Tamansari, Jakarta Barat. HB sendiri waktu itu menjabat sebagai Kepala Satpol PP DKI.
Sewaktu menjadi Camat, Arifin adalah pejabat pemerintahan yang banyak bersentuhan secara langsung dengan industri hiburan malam, karena sebagian besar hiburan malam mulai dari diskotek, karaoke, bar, pub, panti pijat, dan sejenisnya bertebaran di Tamansari.
Sebelum bertemu langsung dengan HB, Arifin memiliki kesan dia adalah lelaki misterius. Namun, setela bertemu HB, kesan Arifin berubah. Nama HB yang terkenal luas di kalangan dunia malam, aparatur penegak hukum, dan preman, ternyata figur yang menyenangkan dan bermurah hati.
Sebagai Camat, Arifin sangat kaget ketika dia dikasih “oleh-oleh” oleh seorang HB pada saat dia mau pamit pulang. Ini adalah peristiwa langka di kalangan birokrasi, seorang pejabat teras yang lebih tinggi pangkat dan kedudukannya memberi “hadiah” kepada pejabat yang lebih rendah pangkat dan kedudukannya. Yang ada biasanya budaya setor dari bawahan kepada atasan.
“Selama saya berkarier, saya belum pernah dapat penghormatan dari pimpinan seperti yang diberikan Pak Harianto,” ujar Arifin.
Perlakuan HB kepada Arifin juga diterima sama oleh orang lain, khususnya oleh anggota Satpol PP DKI yang dipimpin HB. HB amat keras dan disiplin dalam memperlakkan anak buahnya tidak bisa dibantah, tetapi bahwa dia juga seorang yang humanis dan pemurah adalah kenyataan.
Begitu pemurahnya HB kepada anak buahnya sampai ada lelucon di kalangan anggota Satpol PP. Mereka sengaja bikin kesalahan agar diberi sanksi oleh HB. Toh, setelah diberi sanksi apalagi berupa sanksi fisik, HB pasti jatuh iba lalu memberi korban sanksi itu segepok uang.
Dan, kemurahan HB ini terus berlanjut. Sekalipun dia sudah pensiun, HB masih bermurah hati. Dia tidak bisa untuk tidak berbagai kepada orang lain, karena berbagi adalah kunci HB menggapai bahagia. Sekali lagi, bahagia itu adalah hak semua orang! Itu prinsipnya.
Tindakannya yang gemar membagi kabahagiaan itu bukan karena HB banyak uang dan rezekinya, namun memang sudah menjadi watak dasarnya sebagai seorang muslim.
“Saya berbagi harta karena perintah agama saya Islam,” kata HB.
Di kalangan birokrasi, banyak pejabat yang kaya, namun tidak banyak yang berani bermurah hati membagi kekayaannya kepada orang lain secara konsisten tiada henti, ikhlas tanpa pamrih.
Inilah yang kemudian membuat Arifin harus mengakui bahwa figur seorang HB sulit untuk ditemukan lagi di kalangan birokrat pada era sekarang. Untuk sekadar dikenang, figur HB memang sulit tergantikan, dengan segala kiprah sosialnya.
***
Tulisan sebelumnya: Harianto Badjoeri [49]: Harta Hanyalah Titipan Allah SWT
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews