Politik Inovasi

Usaha pemerintah dalam pengadaan kebijakan, tata kelola, dan infrastuktur harus ditempatkan sebagai kerang pendukung dalam mempromosikan usaha-usaha market-creating innovations.

Jumat, 20 September 2019 | 07:15 WIB
0
512
Politik Inovasi
Ilustrasi inovasi (Foto: berinovasi.com)

Wacana publik akhir-akhir ini, termasuk Pidato Presiden, sering mengeluhkan hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala deindustrialisasi, defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan menengah (middle income trap), dan jebakan ekonomi ekstraktif.

Namun, nyaris tak ada perhatian politik dan kebijakan strategis untuk melakukan transformasi perekonomian ke arah kemakmuran yang terus meningkat secara berkesinambungan dan inklusif.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi (knowledge economy).

Selama ini, ukuran yang berkaitan dengan total factor productivity dan knowledge economy index menunjukan betapa rendahnya kontribusi nilai tambah iptek dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi.

Bisa dipahami bila pada periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo bertekad menggencarkan pembangunan sumber daya manusia, termasuk memberikan perhatian yang serius terhadap kegiatan riset dan inovasi. Sejumlah rencana telah dicanangkan seperti penambahan anggaran riset negara, penyatuan lembaga-lembaga riset di bawah satu badan, bahkan telah mulai “mengimpor” rektor asing demi menggenjot mutu perguruan tinggi.

Kebijaksanaan riset-inovasi dan kebutuhan pasar

Sebelum pilihan-pilihan kebijakan itu dijalankan, seyogianya pemerintah perlu menetapkan arah kebijakan dan strategi pendekatan yang tepat bagaimana politik inovasi-teknologi harus dikembangkan agar berjalan efektif dalam mendorong kemakmuran bangsa.

Perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa hambatan utama pemacuan riset dan inovasi di Indonesia justru terlalu memusat pada inisiatif dan dorongan (push factor) dari negara. Kurang ada terobosan untuk memasyarakatkan hasil riset atau menggairahkan kegiatan riset di jantung masyarakat (pasar).

Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan aktivitas riset di negeri ini mewarisi tradisi para apostel pencerahan Eropa yang bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial. Andrew Goss dalam bukunya The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia (2011), menyebutnya sebagai tradisi para floracrat; kekuasaan para ilmuwan pecinta bunga yang bekerja di lembaga-lembaga ilmu pengetahun pemerintah kolonial.

Di bawah tradisi seperti itu, Ilmuwan/peneliti profesional Indonesia memperoleh legitimasi melalui negara. Pemerintah yang menentukan dan mengendalikan aktivitas riset. Pemerintah pula yang menjadi konsumen utama dari hasil penelitian.

Dengan demikian, kendati para ilmuwan memandang dirinya sebagai “pembimbing” masyarakat, pada kenyataannya mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan masyarakat dalam kerangka memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan menghidupkan aktivitas riset dan inovasi di jantung masyarakat.

Dengan demikian, “Ilmu pengetahuan tetap menjadi urusan kaum elite pemerintah yang boleh jadi dikerjakan dengan penuh minat dan bakat, namun tetap tidak mampu menerobos pagar tinggi sekeliling Kebun Raya.”

Baca Juga: Jangan Terlalu Percaya Hasil Survey, Kini Periset Dipermalukan Software!

Dalam jebakan tradisi seperti itu, berapa pun anggaran riset, badan apapun yang mengoordinasikan lembaga-lembaga riset, dan dari mana pun rektor didatangkan, tidak akan efektif dalam mendorong aktivitas inovasi-teknologi dalam kerangka kemakmuran bangsa. Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus sampai ke pasar (masyarakat). Harus mengikuti kebutuhan dan tarikan (pull factor) dari pasar.

Oleh karena itu, selain harus mendekatkan hubungan antara lembaga-lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar, juga harus menjadikan aktivitas riset dan inovasi sebagai bagian organik dari dunia usaha.

Relevansi dan urgensi pergeseran kebijakan riset-inovasi dan pembangunan kemakmuran dari dorongan pemerintah ke arah tarikan pasar dijelaskan antara lain oleh Clayton M. Christensen, Efosa Ojomo dan Karen Dillon dalam The Prosperity Paradox: How Innovation Can Lift Nations Out of Poverty (2019). Secara jernih digambarkan, betapa banyak usaha dan sumberdaya telah diguyurkan baik oleh negara maupun lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi kemiskinan.

Sejak 1960, Official Development Assistance telah menggelontorkan $4.3 trilyun dana asistensi pembangunan dalam rangka memerangi kemiskinan di berbagai negara miskin. Negara Indonesia sendiri telah mengerahkan begitu banyak program dan subsidi bagi kaum miskin.

Selain itu, berbagai resep juga telah diberikan, mulai dari dorongan untuk memperbaiki infrastruktur (keras dan lunak), memperbaiki tata kelola negara, menambah bantuan (investasi) luar negeri, meningkatkan perdagangan luar negeri dan sebagainya. Namun, hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Lebih banyak negara tetap dalam jeratan kemiskinan atau jebakan pendapatan menengah-bawah, karena tidak mampu melakukan transformasi perekonomiannya.

Banyak negara terlalu menguras energinya untuk mengurusi kemiskinan, tapi kurang memberikan perhatian pada usaha menciptakan kemakmuran. Bahwa menjadi bangsa yang “makmur” (prosper) itu beda dengan bangsa yang “kaya” (rich, wealthy). Sejumlah negara bisa jadi kaya hanya karena memiliki satu-dua sumberdaya alam yang berlimpah.

Namun, kekayaan seperti itu tak bisa berkelanjutan, dan tak bisa mendorong mobilitas vertikal secara luas. Untuk menjadi “makmur”, suatu perekonomian harus bisa menciptakan nilai tambah secara berkelanjutan yang bisa meluaskan mobilitas vertikal secara lebih inklusif.

Lewat studi komparatif secara ekstensif terhadap negara-negara yang berhasil mentransformasikan diri dari negara miskin menjadi makmur, Clayton dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa usaha menumbuhkan kemakmuran tak bisa hanya mengandalkan push factor dari negara. Mendorong perubahan konstitusi dan kelembagaan demokrasi, instalasi institusi-insitusi baru, pranata antikorupsi, dan beragam infrastruktur oleh negara mungkin bisa menyelesaikan masalah secara temporer, namun pada umumnya tidak membawa perubahan secara berkesinambungan.

Pembangunan dan kemakmuran bisa lebih mudah mengakar di banyak negara manakala terkoneksi dengan aktivitas inovasi di jantung pasar, yang pada gilirannya dapat menarik berbagai sumberdaya yang diperlukan masyarakat.

Yang dimaksud dengan inovasi adalah perubahan dalam proses, yang melalui proses itu suatu organisasi melakukan tranformasi pekerja, modal, material, dan informasi ke dalam produk atau jasa dengan nilai tambah yang lebih besar. Setidaknya ada tiga jenis inovasi yang harus dikenali.

Pertama adalah “sustaining innovations”; yakni inovasi dalam bentuk perbaikan terhadap solusi-solusi yang telah ada di pasar , yang secara tipikal ditargetkan untuk mempertahankan pelanggan yang menginginkan performa yang lebih baik dari suatu produk atau jasa. Inovasi seperti ini diperlukan oleh suatu negara dan perusahaan agar bisa tetap kompetitif dalam mempertahankan pelanggan.

Kedua adalah “efficiency innovations”; yakni inovasi yang memungkinkan organisasi bisa mengerjakan (menghasilkan) lebih banyak dengan sumberdaya lebih sedikit. Efisiensi inovasi sangat penting bagi daya hidup organisasi (usaha) manakala lapangan industri makin sesak dan kompetitif.

Ketiga adalah “market-creating innovations”; yakni inovasi yang dapat menciptakan pasar baru karena kemampuan menghadirkan produk atau jasa yang belum ada di pasar; atau produk dan jasa yang sudah ada di pasar, namun dengan lebih murah dan terjangkau oleh kalangan yg lebih luas (non-consumers).

Meski sustaining innovations dan efficiency innovations diperlukan bagi keberlangsungan perusahaan, namun keduanya tak begitu menjanjikan perluasan tenaga kerja dan ruang-ruang usaha baru. Untuk itu, usaha kemakmuran harus lebih mendorong “market-creating innovations”. Pengalaman lintas negara menunjukan bahwa inovasi terakhir itu dapat membangkitkan mesin ekonomi suatu negara dengan beberapa dampak ikutan.

Pertama, menciptakan pekerjaan—seiring dengan makin banyaknya orang yang diperlukan untuk membuat, memasarkan, mendistribusikan, dan menjual hasil-hasil inovasi baru. Kedua, mendorong kemunculan sektor-sektor usaha baru sebagai dampak ikutan. Ketiga, menciptakan keuntungan dari luasnya bentang penduduk, yang pada gilirannya bisa mendatangkan dana bagi pelayanan publik, termasuk pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan sebagainya. Keempat, memiliki potensi besar untuk membawa serta perubahan budaya dan tata kelola yang lebih kondusif bagi usaha-usaha pemajuan kemakmuran.

Dengan demikian, lokomotif kemakmuran itu terletak pada usahawan inovator yang mampu mengembangkan inovasi-teknologi yang dapat menciptakan pasar baru. Dan agar suatu bangsa dapat mempertahankan kemakmuran dalam jangka panjang, diperlukan pemerintahan baik, yang dapat menjaga dan mendukung budaya inovasi.

Usaha pemerintah dalam pengadaan kebijakan, tata kelola, dan infrastuktur harus ditempatkan sebagai kerang pendukung dalam mempromosikan usaha-usaha market-creating innovations.

Ditilik dari perspektif itu, arah kebijakan pembangunan, riset dan inovasi di Indonesia selama ini terlalu menekankan stategi push factor dari negara. Infrastruktur dibangun tanpa terkoneksi secara erat dengan tarikan dinamika pasar. Berbilang lembaga riset negara terus didirikan, dengan aktivitas dan produk riset yang kurang terhubung dengan kebutuhan pasar; juga tanpa kerangka kebijakan yang dapat menumbuhkan aktivitas riset dan inovasi di dunia usaha, atau memberikan kerangka insentif bagi gagasan-gagasan inovasi yang dapat mengarah pada market-creating innovations.

Di Amerika, misalnya, anak-anak muda cemerlang dengan ide-ide teknologi inovatif bisa membangun start-up dengan pinjaman modal ventura. Memang tidak semua berhasil; tetapi selalu ada beberapa yang sukses mengembangkan perusahaan berbasis pengetahuan berskala global, seperti microsoft, apple, facebook, dan lain-lain.

Defisit insinyur dan strategi mencegah mismatch

Usaha meningkatkan mutu perguruan tinggi juga ditempuh melalui push factor dari negara, dengan jalan pintas “mengimpor” rektor dari luar, tanpa mempertimbangkan soal mutu pendidikan itu dengan ketersambungannya dengan pasar (industri). Selama ini banyak dikeluhkan soal rendahnya proporsi mahasiswa sains-teknologi (keinsinyuran) di perguruan tinggi kita.

Jumlah mahasiswa (dan lulusan) bidang keinsinyuran hanya 14% dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia (sekitar 50% belajar teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah paling tinggi (4,66%). Bandingkan dengan proporsi lulusan bidang keinsinyuran di Korea Selatan (38%), China (33%), dan bahkan Malaysia (25%).

Akibatnya, Indonesia mengalami defisit insinyur. Di sisi lain, kendati jumlah mahasiswa keinsinyuran itu relatif kecil, faktanya dari sekitar 100 ribu lulusan bidang keinsinyuran, hanya sekitar 5 ribu yang bekerja secara profesional sesuai dengan bidangnya.

Baca Juga: Riset "Big Data" Google untuk Menulis Artikel atau Berita

Alhasil, yang harus dilihat bukan hanya dari sisi penawaran, melainkan juga dari sisi permintaan. Untuk mencegah mismatch antara luaran lembaga pendidikan dengan dunia kerja, yang diperlukan bukan hanya pembenahan perguruan tinggi lewat push factor dari negara, tetapi juga rancangan strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri yang lebih mendorong ekonomi pengetahuan berbasis inovasi. Apapun usaha kita untuk menggenjot jumlah dan kualitas tenaga keinsinyuran tidak akan begitu efektif tanpa terhubung dengan perluasan kebutuhan inovasi-teknologi dalam dunia industri.

Di Korea Selatan, misalnya, perguruan tinggi kelas dunia, dengan urutan di bawah 50 dari 100 universitas terbaik dunia, adalah Pohang University of Science and Technology (POSTECH). Universitas ini didirikan oleh pemilik industri baja terkenal, POSCO, dalam rangka memenuhi kebutuhan teknologi sendiri bagi kemandirain teknologi dan menciptakan koneksi yang erat antara akademia dan industri.

Meningkatkan mutu perguruan tinggi lebih dari sekadar usaha meningkatkan jumlah publikasi internasional; melainkan dari kemampuan perguruan tinggi merespon market pull; yang dalam ketersambungan erat antara dunia pendidikan dengan dunia inovasi di jantung pasar, akan melahirkan banyak keahlian, inspirasi dan penemuan; yang pada gilirannya akan memberi wahana yang kondusif pagi peningkatan mutu dan kuantitas publikasi internasional.

Singkat kata, untuk menjadi makmur, kita harus melihat kesulitan dan perjuangan hidup rakyat sebagai peluang untuk menawarkan solusi. Lewat inovasi yang dapat menciptakan pasar baru, pekerjaan baru, peluang-peluang usaha baru, budaya dan tata kelola baru, rakyat banyak yang selama ini hanya menjadi penonton dalam aktivitas ekonomi, menjadi ikut terlibat. Kemakmuran dan demokratisasi ekonomi terjadi dengan mobilitas vertikal yang meluas dan inklusif.

Untuk itu, sudah saatnya negara mengambil peran tut wuri handayani. Rangsanglah market-creating innovations menjadi pemantik api penciptaan kemakmuran; sedangkan pemerintah dapat memperbesar bara api tersebut dengan berbagai kebijakan, institusi dan infrastruktur yang terkoneksi dengan tarikan kebutuhan inovasi-pasar. Itulah jalan produktif penciptaan kemakmuran kita.
 

Yudi Latif, Direktur Sekolah Pancasila

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat sebelumnya di Harian Kompas, Kompas, Rabu, 18 September 2019, dengan judul yang sama.