Jangan Terlalu Percaya Hasil Survey, Kini Periset Dipermalukan Software!

Minggu, 13 November 2016 | 22:40 WIB
0
662
Jangan Terlalu Percaya Hasil Survey, Kini Periset Dipermalukan Software!

Berita online dari CNBC.com itu muncul Jumat, 28 Oktober 2016 atau 10 hari sebelum puncak pemilihan Presiden Amerika Serikat 8 November waktu setempat. Judul berita itu Trump will win the election and is more popular than Obama 2008, AI System finds.

Bagi orang yang pesimistis dan nyinyir kepada hal-hal yang berbau ramalan ke depan, berita itu juga nyaris jadi bahan cibiran, mengingat reputasi CNBC sebagai news media online papan atas. Kok bisa-bisanya CNBC menjadi “cenayang”, demikian kira-kira publik beranggapan.

Wajar publik Amerika yang kritis skeptis dan bahkan nyinyir dengan berita itu mengingat hampir seluruh lembaga survey, baik lembaga khusus milik sejumlah media ternama maupun lembaga polling bangkotan di AS, menempatkan Hillary Rodham Clinton sebagai unggulan, jauh di atas lawannya yang “rasis” dan “antiimigran”, Donald Trump.

Jelang menutup malam tanggal 8 November yang bersejarah itu, saat para pendukung Hillary diminta pulang karena angka di layar raksasa sudah menempatkan Trump sebagai Presiden AS berikutnya setelah Barrack Obama, orang harus membuka-buka kembali file digital yang memuat “prediksi” akurat mengenai kemenangan Trump yang tidak diunggulkan lembaga survey manapun yang dikerjakan para periset paling profesional.

[irp]

Alhasil, orang harus mengunyah dan menderas istilah baru (bagi yang belum mengenalnya), yaitu Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Namanya kecerdasan buatan, wujud wadag-nya bisa komputer meja, laptop, tablet, bahkan ponsel. Wujud lembut-nya berupa software saja berisi kode-kode tertentu yang hanya orang-orang insinyur informatika saja mengenalinya.

[caption id="attachment_1910" align="alignleft" width="300"] Sanjiv Rai (Foto: Twitter)[/caption]

Bagaimana sebuah AI yang boleh dibilang seperti “ruh” tanpa ujud itu bisa mempermalukan kecerdasan manusia, dalam hal ini periset dan bahkan jurnalis, padahal IA sendiri diciptakan oleh manusia?

Mesin canggih yang berhasil mempecundangi para periset media dan bahkan wartawan ulung di AS itu bernama MogIA, diambil dari tokoh Mowgli dalam novel “The Jungle Book” karya Rudyard Kipling. Platform ini diciptakan Sanjiv Rai, orang India yang membangun bisnis rintisan Genic.ai.

Bagaimana cara MogIA bekerja? Mesin yang diciptakan Rai mengolah “big data” dengan menyedot hampir 20 juta data yang berceceran di platform publik alias media sosial di AS termasuk di Google, Facebook, Twitter dan YouTube.  Dari jutaan informasi ini MogIa kemudian menganalisanya untuk menciptakan prakiraan.

MogIA mendadak terkenal dan menemukan momentumnya saat Pilpres AS yang menghadapkan Trump vs Hillary, padahal IA sendiri sudah dikembangkan semakin canggih sejak 2004 untuk kepentingan prediksi. Selain Pilpres AS yang fenomenal dan mengharu-biru itu, MogIA memprediksi dengan tepat hasil kemenangan bakal calon Presiden AS di tingkat kovensi partai, yakni Republik dan Demokrat.

Namun prediksi yang hasilnya ternyata presisi ini belum dianggap sebagai “keandalan” MogIA karena seluruh lembaga survey di AS juga memprediksi hal yang sama di tingkat konvensi masing-masing partai. Lain cerita ketika MogIA memprediksi dengan tepat kemenangan Trump yang disebutnya lebih populer dibanding Obama, sementara seluruh lembaga survey tergelincir pada kesalahan memalukan karena hasilnya berbeda dengan yang digembar-gemborkan.

 

Data dari media sosial seperti Facebook dan Twitter itu kemudian diolah dan hasilnya menempatkan Trump 25 persen lebih populer dari Obama yang merajai popularitas sejak 2008. Tetap saja publik bergeming dan tidak terlalu percaya akan keandalan MogIA.

 

Kepada CNBC Rai mengatakan, jika Trump kalah dalam pemilihan, hal itu akan bertentangan dengan tren data untuk yang pertama kalinya sejak 12 tahun terakhir saat Internet mulai digalakkan secara penuh. Sigi secara nasional 10 hari sebelum pelaksanaan Pilpres menunjukkan Hillary dengan Partai Demokrat-nya masih sedemikian perkasa melawan Trump, tetapi Hillary tidak boleh berpuas diri mendapatkan hasil sigi itu.

Sekarang lembaga survey manapun harus menghadapi kenyataan melimpahnya data yang dihasilkan pengguna (users generated data) di media sosial, baik di Twitter, Facebook, YouTube dan platform lainnya. Modalnya adalah mesin kecerdasan buatan semacam MogIA tadi, untuk sekadar meramalkan hasil Pilpres yang paling banyak ditonton orang.

[irp]

Pada bulan September sebelumnya, Nick Beauchamp, profesor pembantu ilmu politik di Northeastern University merilis hasil penelitian terkait kecerdasan buatan dengan mengolah 100 juta cuitan di Twitter untuk Pilpres AS tahun 2012. Beauchamp menemukan, hasil pengolahan data tersebut menunjukkan hasil yang hampir sama dengan sigi yang dilakukan lembaga sigi nasional.

Rai hanya mengolah data semata mengandalkan MogIA yang diciptakannya. Dengan ini saja hasilnya sudah menyerupai hasil survey betulan yang dilaksanakan lembaga sigi nasional, apalagi kalau Rai diberi akses ke Google atau Facebook untuk mengambil data dengan kebutuhan spesifik, maka ia bisa tahu persis apa yang pengguna (users) pikirkan.

Bukan hanya sekadar menghasilkan prediksi yang menyerupai hasil survey, kata Rai, tetapi metoda yang sama bisa digunakan untuk melakukan investigasi mengenai apa yang orang katakan dan pikirkan, yang mungkin mempengaruhi pilihan mereka.

Robot berjaya

Keresahan mesin alias robot pintar yang akan menggantikan tenaga manusia memang sudah terjadi saat ini. Pabrik elektronik dan otomotif yang memerlukan presisi tinggi sudah merelakan robot yang mengerjakannya. Bahkan di masa depan, sebuah pabrik besar cukup menggaji beberapa operator saja untuk menggerakkan ratusan robot dalam sebuah pabrik.

Kecerdasan buatan menunjukkan taringnya saat Deep Blue, komputer catur paling perkasa saat itu mampu mengalahkan juara dunia Garry Kasparov pada pertuman Man vs Machine tahun 1997. Namun setahun sebelumnya, Kasparov berjaya melawan mesin catur yang mampu menganalisa 2 miliar langkah perdetik itu.

Untuk membandingkan bagaimana cara berpikir manusia dengan mesin, hampir seluruh kemungkinan langkah yang pernah dijalankan manusia maupun langkah yang kemungkinan bakal terjadi dimasukkan ke dalam Deep Blue, diolah menjadi data baru, sehingga boleh dikatakan tidak mungkin ada salah langkah yang dilakukan komputer catur.

Vladimir Kramnik, mantan juara dunia catur asal Rusia pasca Kasparov pernah membuka sebuah tabir rahasia. Menurutnya, manusia seperti dirinya “hanya” mampu menganalisa kemungkinan 20 langkah ke depan dalam satu detik. Bandingkan dengan Deep Blue yang bisa menganalisa 2 miliar langkah dalam waktu yang sama; satu detik!

Pertanyaannya, mengapa Kasparov bisa mengalahkan Deep Blue?

Jawabannya; INTUISI.

Lantas di mana intuisi diletakkan pada para periset yang mengolah data hasil penelitian, hasil wawancara, dan hasil membuka-buka risalah untuk sebuah prediksi mengenai siapa yang bakal memenangkan Pilpres sebagaimana yang terjada pada Trump versus Hillary?

Ini masih masih menjadi pertanyaan besar. Soalnya, riset manapun justru harus bersandar pada angka dan data-data yang sudah diolah. Tidak ada tempat bagi intuisi.

Bagaimana jika IA digunakan untuk kebutuhan membuat berita bagi media tertentu?

[irp]

Hal ini sudah lama dilakukan oleh kantor berita Associated Press, The New York Time, dan Forbes. Newsroom pada masing-masing media itu bisa memprediksi kapan tornado berikutnya datang dan menerjang kota mana saja, kapan tsunami menggulung dan pula-pulau mana saja yang akan tergulung, bahkan bisa memprediksi pola kudeta dan pergantian kepemimpinan di suatu negara. Bukan periset atay wartawan yang melakukan, melainkan komputer.

Karena intuisi tidak mendapat tempat dalam riset konvensional dengan metoda rigid yang sudah disepakati secara keilmuan itu, maka sikap arif yang harus dilakukan sebagai publik biasa adalah; jangan terlalu percaya dan terlalu menyandarkan hasil Pilpres atau Pilkada pada lembaga-lembaga sigi, apalagi lembaga sigi abal-abal yang tujuannya semata-mata mempengaruhi preferensi pilihan pemilih.

Apakah periset bakal kehilangan pekerjaannya dan wartawan bakal alih profesi jadi broker properti? Bisa jadi, tidak ada lagi yang tersisa.

Jika tidak ada upaya mempercanggih level kemampuan diri periset maupun jurnalis, mesin ini bisa membunuh karir kedua profesi itu sekaligus. Alasannya, semua lembaga baik pemerintah maupun partikelir bisa membeli software semacam MogIA untuk berbagai keperluan yang sifatnya prediktif atau preview. KPU dan media massa bisa dengan mudah memperkirakan siapa yang bakal menjadi bupati/walikota, gubernur bahkan presiden dengan hanya mengolah data yang berseliweran di media sosial.

Ke depan, mesin pencari raksasa semacam Google atau situs pertemanan Facebook bakal menjadi "periset" dan "jurnalis" paling mengerikan yang menjadi ancaman nyata bagi manusia.

Lho kok bisa? Ya sebagaimana dikatakan Rai si pencipta MogIA, Google memiliki data miliaran para penggunanya di seluruh dunia yang tidak hanya sekadar data nama, tempat tanggal lahir, alamat, nomor kontak, alamat akun media sosial, hobi, dan lain-lain yang merupakan "data dasar". Lebih dari itu, Google misalnya, memiliki data tentang preferensi politik, pola dan cara berpikir, cara berkomunikasi, atau minat yang mewakili "pikiran" dan "perasaan" para penggunanya.

Ketika MogIA mengolah data-data yang mewakili "pikiran" dan "perasaan" para penggunanya yang tentu saja hanya dimiliki Google atau Facebook, maka pertanyaan apapun bisa dimasukkan, tidak terkecuali pertanyaan tentang siapa yang bakal menjadi Presiden Republik Indonesia pada Pilpres 2019 atau paling dekat siapa yang bakal menjadi Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017?

Mengapa tidak!

***