Amien Rais Terbangun dari Tidur Panjang

Kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Presiden, seperti yang dimilikinya tahun 1998-2004, muncul dalam benaknya dan merasa ia masih dapat melakukannya saat ini.

Sabtu, 25 Mei 2019 | 05:32 WIB
0
1474
Amien Rais Terbangun dari Tidur Panjang
Amien Rais (Foto: Liputan6.com)

Masa keemasan Amien Rais sudah jauh berlalu. Sayangnya ia tidak menyadarinya. Ia mengira ia masih dapat ”mengatur” perpolitikan tingkat tinggi, seperti yang dilakukannya pada tahun 1998 hingga tahun 2004 lalu. Pada masa itu ia memang memiliki ”persenjataan yang lengkap”. Ia adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah (1995-1998), Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (1999-2004), dan Ketua Partai Amanat Nasional (1998-2005). Dengan demikian, pada saat itu, ia nyaris dapat melakukan apa saja yang diinginkannya.

Pada tahun 1998, Amien Rais sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, dan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia, dan kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dianggap sebagai tokoh-tokoh reformasi. Pada awalnya hubungan di antara ketiga tokoh itu lumayan dekat. Namun, keadaan berubah ketika dalam Pemilihan Umum 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan keluar sebagai pemenang.

Dengan sangat canggih, Amien Rais mengajukan Gus Dur, sapaan akrab Abdurrahman Wahid, sebagai calon Presiden, untuk mendampingi BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri yang sudah dicalonkan lebih dulu.

Amien Rais tahu bahwa peluang Presiden Habibie untuk menjadi Presiden kembali sangat kecil karena potensi pidato pertanggungjawabannya akan ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat besar. Jika ia tidak mengajukan Gus Dur sebagai alternatif, maka bisa dipastikan Megawati sebagai ketua umum partai pemenang Pemilihan Umum 1999 akan menjadi Presiden.

Baca Juga: Kekuatan di Balik Diamnya Megawati

Itu sebabnya, ia menggalang Poros Tengah untuk meminggirkan Megawati. Dan, untuk memperbesar peluang menggeser Megawati, sentimen anti  pemimpin perempuan pun dimunculkan. Ia menganggap Megawati tidak sesuai dengan aspirasi reformasi yang diperjuangkan oleh Partai Amanat Nasional.

Akhirnya pada tanggal 21 Oktober 1999, Gus Dur dilantik sebagai Presiden, dan Megawati menjadi Wakil Presiden. Namun, pada saat baru memerintah selama satu setengah tahun, muncul dorongan untuk mengadakan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat karena sebagai Presiden, Gus Dur dianggap tidak menjalankan pemerintahan seperti yang diharapkan.

Sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, ia mulai memikirkan untuk menggeser Gus Dur, dan menggantinya dengan Megawati. ”Gus Dur sudah habis dan tugas sejarah akan jatuh ke Megawati,” kata Amien Rais, 2 Maret 2001.

Gus Dur kemudian dilengserkan, dan Megawati dilantik sebagai Presiden, 21 Juli 2001. Dan, pada pemerintahan Megawati inilah, diputuskan bahwa pemilihan Presiden akan dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan bukan lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat seperti yang berlangsung selama ini.

Dengan kata lain, pemilihan Presiden tidak lagi ditentukan oleh 700 orang, melainkan ditentukan oleh sedikitnya 170 juta orang. Keadaannya sudah semakin rumit. Mempengaruhi orang sebanyak itu hampir mustahil dilakukan hanya oleh satu orang.

Entah apa yang merasuki Amien Rais, sehingga ia tiba-tiba merasa dapat membuat seorang calon Presiden—dalam hal ini Prabowo Subianto— menang dalam pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat. Dalam dunia politik dikenal ujaran, ”Kekuasaan itu membius. Sekali seseorang memilikinya, ia ingin terus memilikinya.”

Baca Juga: Amien Rais dan Malaikat-malaikat Pendoa

Jangan-jangan kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Presiden, seperti yang dimilikinya pada tahun 1998 hingga 2004, tiba-tiba muncul dalam benaknya, dan merasa ia masih dapat melakukannya saat ini, belasan tahun kemudian. Ia seperti terbangun dari tidur yang panjang, dan menganggap segala sesuatunya masih sama seperti keadaan pada saat ia tertidur. Padahal segala sesuatunya sudah jauh berubah.

Dengan memiliki persenjataan selengkap yang dimilikinya pada tahun 1998 hingga 2005 saja hal itu sulit untuk dilakukan, apalagi sekarang pada saat ia berjuang seorang diri tanpa persenjataan. Medan pertarungannya sudah jauh berubah. Bagi pelaku-pelaku politik saat ini yang memiliki persenjataan saja sulit melakukannya, apalagi dia yang sudah lama surut ke belakang, dan meninggalkan gelanggang permainan.

Tidak heran jika ketidakberdayaannya itu membuatnya frustrasi, dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan—baik sebelum maupun sesudah Pemilihan Presiden 2019—yang membuat kita terheran-heran bahwa pernyataan-pernyataan seperti itu keluar dari mulut orang yang pada masa lalu kita hormati.

***