Kita hanya punya pemimpin yang pandai bersembunyi dan berlindung pada atribut merah putih dan gambar Pancasila, seolah mereka yang paling merah putih dan paling Pancasila.
Memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76, seorang kepala daerah di Kalimantan, menghimbau kepada masyarakatnya untuk mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing sesuai dengan "Jumlah Anggota Keluarga".
"Ini salah satu bentuk kecintaan kita terhadap negara sehingga harus disosialisasikan agar dapat tertanam di dalam benak masyarakat" kata sang kepala daerah saat itu.
Beragam reaksi pun bermunculan, ada yang menjadikannya olok-olok dan candaan, banyak pula yang meresponya dengan nyinyiran dan kritikan.
"Dipertanyakan, relevansi jumlah bendera yang dipasang dengan rasa nasionalisme warga negara?".
"Bayangkan! jika sebuah warteg kecil yang memiliki lima orang anggota keluarga, harus memasang lima bendera di depan wartegnya. Tidakkah itu menjadi beban, dan membuat warteg itu tertutup oleh bendera dan tiang-tiangnya".
Oleh sebagian warga, sang kepala daerah dianggap kurang sensitif menyikapi kondisi masyarakat yang lagi kembang kempis di tengah pandemi saat ini.
"Yang dibutuhkan masyarakat bukahlah kemeriahan kibaran bendera agustusan melainkan uluran tangan dan kehadiran pemerintah membantu masyarakat untuk berjuang dari keterpurukan".
Meski itu hanya sebuah himbauan, tapi narasi "Pemasangan Bendera Sesuai Jumlah Anggota Keluarga", terasa getir untuk untuk didengar.
Bukan getir soal jumlah benderanya, tapi merasa getir soal pemahaman nasionalisme sebagian pemimpin kita. Himbauan itu seolah menegaskan bahwa substansi nasionalisme kita hari ini masih dimaknai dengan kerdil sebagai pertunjukan kemeriahan atribut tujuh belas agustusan.
Banyaknya deretan bendera di halaman depan rumah kita masih dianggap sebagai ukuran besarnya kadar nasionalisme keluarga kita. Entitas cinta tanah air dan spirit patriotisme kita cuma dideteksi dari seberapa banyak atribut merah putih yang kita kibarkan dan seberapa meriah pertunjukan yang kita lombakan.
Budaya feodal agaknya sulit hilang menyertai prilaku pejabat kita, yang hanya mengenal rating nasionalisme seseorang dari tingkat kepatuhannya kepada mereka.
Inilah landskap padang gersang pikiran pemimpin kita selama ini, kekeringan substansi, tapi kelebihan atribut.
Bertahun-tahun kita menua dan mati oleh nasionalisme kain bendera, lambang burung Garuda, foto kepala negara, umbul umbul merah putih dan simbol atribut lainnya. Ideologis kebangsaan kita dikalkulasi setahun sekali, dengan ukuran tinggi, jumlah tiang dan kain bendera yang kita pasang.
Kita, dan juga kalian selama ini, dengan alasan instruksi ketua RT, lurah, camat dan pemerintah, terpaksa memasang bendera di depan rumah, di mobil, di kantor, di sekolah dan di lain tempat sebagainya. Kita merasa tidak nyaman jika tidak mengikuti instruksi itu. Takut dibilang tidak patuh, tidak nasionalis dan tidak cinta tanah air, apalagi jika tetangga dan teman di lingkungan lebih dulu telah memasang.
Okelah, sebagai generasi yang lahir sebelum tahun 2000 -an, anggap saja kita ikhlas dengan perlakuan itu, toh itu sudah terjadi. Bagaimana dengan hari ini? generasi yang lahir dan tumbuh muda setelahnya.
Penyemaian semangat nasionalisme kepada generasi sekarang, haruslah disesuaikan dengan kehidupan kekinian mereka. Bukan lagi menebar kamuflase ikonik yang feodalistik, lewat simbol- simbol dan narasi patrotik rangkaian cerita sejarah.
Kita bahkan harus terbuka pada kehidupan generasi sekarang, yang mulai berani mengritik, menggugat dan mendebatkan doktrin sejarah versi lama, yang selama ini kita biarkan meneguhkan simbolisasi semangat nasionalisme kita.
Generasi yang hidup di era digital, memungkinkan mereka menemukan diskursus baru soal cerita sejarah dari sumber-sumber lain, yang isi dan narasinya bertentangan dengan wacana sejarah generasi sebelumnya.
Cerita sejarah sejarah yang dilebih-lebihkan, dikurang-kurangi, apalagi diperdebatkan tidaklah manjur untuk menanamkan jiwa nasionalisme kita. Yang muncul malah kebingungan dan ketidakpercayaan.
Maka itu, ketika atribut dan sejarah tidak lagi kuat menanam rasa nasionalisme warganya, satu-satunya cara paling dibutuhkan generasi muda saat ini adalah keteladanan dari para pemimpinnya. Hanya dengan keteladan mereka akan faham arti nasionalisme
Pemimpin yang dapat memberi contoh bagaimana praktik nilai-nilai mulia Pancasila dalam kehidupan, nilai-nilai paling sahih untuk membentuk entitas nasionalisme anak bangsa.
Masyarakat mungkin boleh kehilangan bendera, kehilangan lambang Garuda, bahkan kehilangan otentifikasi sejarah, tapi mereka tidak boleh kehilangan teladan dari para pemimpinnya.
Hari Kemerdekaan, Hari Kesaktian Pancasila, dan hari besar nasional lainnya memang diperingati setahun sekali, tapi keteladanan seorang pemimpin yang berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila tidak boleh hilang dalam seharipun.
Nasionalisme seorang pemimpin tidak diukur berapa banyak lambang bendera dan Garuda di pakaiannya, tapi bagaimana amalan relijinya, apakah ia pemimpin yang adil dan bijaksana, apakah ia sungguh-sungguh menyejahterahkan rakyatnya, bagaimana ia mengajarkan tolerasi dan persatuan kepada wargannya. Jika teladan itu berjalan, maka rakyat tinggal mengikutinya. Derap langkah itulah yang dibutuhkan rakyat, bukan simbol- simbol yang manipulatif.
Tapi, sayangnya! Kita kehilangan keteladanan itu. Kita kehilangan pemimpin yang sungguh-sungguh memberi teladan dan mengayomi kita. Kita hanya punya pemimpin yang pandai bersembunyi dan berlindung pada atribut merah putih dan gambar Pancasila, seolah mereka yang paling merah putih dan paling Pancasila.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews