Nasionalisme dan Keteladanan

Kita hanya punya pemimpin yang pandai bersembunyi dan berlindung pada atribut merah putih dan gambar Pancasila, seolah mereka yang paling merah putih dan paling Pancasila.

Kamis, 12 Agustus 2021 | 19:00 WIB
0
270
Nasionalisme dan Keteladanan
Nasionalisme (Foto: KBKnews.id)

Memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76, seorang kepala daerah di Kalimantan,  menghimbau kepada masyarakatnya  untuk   mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing sesuai dengan "Jumlah Anggota Keluarga". 

"Ini salah satu bentuk kecintaan kita terhadap negara sehingga harus disosialisasikan agar dapat tertanam di dalam benak masyarakat" kata sang kepala daerah saat itu.

Beragam reaksi pun  bermunculan, ada yang menjadikannya olok-olok dan candaan, banyak pula   yang meresponya dengan  nyinyiran dan kritikan.

"Dipertanyakan,  relevansi     jumlah bendera yang dipasang    dengan   rasa  nasionalisme  warga  negara?".

"Bayangkan! jika  sebuah warteg kecil  yang memiliki lima orang anggota keluarga,  harus  memasang lima bendera di depan wartegnya.  Tidakkah itu menjadi beban, dan   membuat warteg itu tertutup  oleh bendera dan tiang-tiangnya".

Oleh sebagian warga, sang kepala daerah  dianggap kurang  sensitif menyikapi  kondisi   masyarakat yang lagi  kembang kempis di tengah pandemi saat ini.

"Yang dibutuhkan masyarakat bukahlah kemeriahan kibaran bendera agustusan melainkan uluran tangan dan kehadiran pemerintah membantu masyarakat  untuk berjuang dari keterpurukan".

Meski itu hanya sebuah himbauan,   tapi narasi "Pemasangan Bendera Sesuai Jumlah Anggota Keluarga",  terasa getir untuk untuk didengar.

Bukan getir  soal  jumlah benderanya, tapi merasa getir  soal pemahaman nasionalisme sebagian  pemimpin kita. Himbauan itu seolah menegaskan bahwa   substansi  nasionalisme kita hari ini masih dimaknai dengan  kerdil sebagai  pertunjukan kemeriahan atribut tujuh belas agustusan.

Banyaknya deretan  bendera  di halaman depan rumah kita masih dianggap sebagai  ukuran   besarnya kadar nasionalisme keluarga kita. Entitas cinta tanah air dan spirit patriotisme  kita  cuma  dideteksi dari  seberapa banyak   atribut merah putih yang kita kibarkan dan seberapa meriah pertunjukan yang kita lombakan.

Budaya feodal agaknya  sulit hilang menyertai  prilaku pejabat kita, yang    hanya mengenal  rating  nasionalisme seseorang dari tingkat  kepatuhannya  kepada mereka.

Inilah landskap  padang gersang  pikiran  pemimpin   kita  selama ini,  kekeringan substansi, tapi  kelebihan atribut.

Bertahun-tahun kita menua dan mati  oleh  nasionalisme kain bendera, lambang burung Garuda, foto kepala negara, umbul umbul merah putih dan simbol atribut  lainnya.  Ideologis kebangsaan kita dikalkulasi  setahun sekali, dengan ukuran tinggi, jumlah tiang dan  kain bendera yang kita pasang.

Kita, dan juga kalian selama ini, dengan  alasan instruksi ketua RT, lurah, camat dan pemerintah,  terpaksa memasang bendera   di depan  rumah, di mobil, di kantor, di sekolah dan  di lain tempat   sebagainya. Kita merasa tidak nyaman jika  tidak mengikuti instruksi  itu. Takut dibilang tidak patuh, tidak nasionalis  dan tidak cinta tanah air, apalagi jika  tetangga dan  teman di lingkungan lebih dulu  telah  memasang.

Okelah, sebagai generasi yang lahir sebelum tahun 2000 -an, anggap saja kita  ikhlas dengan perlakuan itu, toh itu sudah terjadi. Bagaimana dengan hari ini?  generasi  yang lahir dan tumbuh muda setelahnya.

Penyemaian semangat nasionalisme kepada generasi sekarang, haruslah  disesuaikan dengan kehidupan kekinian mereka. Bukan lagi menebar  kamuflase ikonik yang feodalistik, lewat simbol- simbol dan narasi   patrotik rangkaian cerita sejarah.  

Kita bahkan harus terbuka pada kehidupan generasi sekarang, yang   mulai berani mengritik, menggugat dan mendebatkan doktrin sejarah versi lama,  yang selama ini kita biarkan  meneguhkan simbolisasi  semangat nasionalisme kita.

Generasi  yang hidup di era digital,  memungkinkan mereka menemukan diskursus baru soal cerita sejarah dari sumber-sumber lain, yang isi dan narasinya   bertentangan dengan wacana sejarah generasi sebelumnya. 

Cerita sejarah sejarah yang dilebih-lebihkan, dikurang-kurangi, apalagi   diperdebatkan tidaklah manjur untuk menanamkan  jiwa nasionalisme kita. Yang muncul  malah kebingungan dan ketidakpercayaan.

Maka itu, ketika atribut dan sejarah tidak lagi kuat menanam rasa  nasionalisme warganya,   satu-satunya cara paling dibutuhkan  generasi muda  saat ini adalah keteladanan dari para pemimpinnya. Hanya dengan keteladan  mereka akan faham arti nasionalisme

Pemimpin yang dapat  memberi contoh bagaimana praktik   nilai-nilai   mulia Pancasila dalam kehidupan, nilai-nilai  paling sahih untuk membentuk   entitas nasionalisme anak bangsa.

Masyarakat mungkin boleh kehilangan bendera, kehilangan lambang Garuda, bahkan kehilangan otentifikasi sejarah, tapi mereka tidak boleh kehilangan teladan dari para pemimpinnya.

Hari Kemerdekaan,   Hari Kesaktian Pancasila,   dan   hari besar  nasional lainnya memang diperingati setahun sekali, tapi  keteladanan  seorang pemimpin yang berpegang teguh  pada nilai-nilai Pancasila tidak boleh hilang dalam seharipun.

Nasionalisme  seorang pemimpin   tidak  diukur berapa  banyak lambang bendera dan Garuda di pakaiannya, tapi bagaimana amalan  relijinya, apakah ia pemimpin yang adil dan  bijaksana, apakah ia sungguh-sungguh menyejahterahkan rakyatnya, bagaimana ia mengajarkan  tolerasi dan persatuan kepada wargannya. Jika teladan itu   berjalan, maka rakyat tinggal mengikutinya. Derap langkah itulah yang dibutuhkan rakyat, bukan simbol- simbol yang manipulatif.

Tapi, sayangnya! Kita kehilangan keteladanan  itu. Kita kehilangan pemimpin yang sungguh-sungguh  memberi teladan  dan mengayomi kita. Kita  hanya punya pemimpin yang pandai  bersembunyi dan berlindung pada atribut merah putih dan gambar Pancasila, seolah mereka yang paling merah putih dan paling Pancasila.

***