Ancaman Virus Nipah China, Bisa Lebih Dahsyat dari Covid-19

Jadi, pemakaian enzim komplek dari hasil produk berbasis mikroba ini, lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan pemakaian berbagai produk vaksin!

Rabu, 3 Februari 2021 | 18:17 WIB
0
113
Ancaman Virus Nipah China, Bisa Lebih Dahsyat dari Covid-19
Keleleawar diduga pembawa virus Nipah (Foto: Kompas.com)

Belum tuntas atasi Virus Corona atau Covid-19, China mulai dilanda Virus Nipah dengan tingkat kematian sekitar  75 persen bisa menjadi pandemi selanjutnya. Demikian laporan Access to Medicine Foundation dilansir dari Al Arabiya, Minggu (31/1/2021).

Melansir Kompas.com, Minggu (31/01/2021, 07:27 WIB), wabah virus nipah ini berpotensi menjadi pandemi besar dengan perusahaan farmasi raksasa tidak siap karena saat ini masih fokus menangani Covid-19.

“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah (ini) bisa merebak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa menjadi infeksi yang tahan terhadap obat,” ungkap The Guardian mengutip Jayasree K Iyer, Direktur Eksekutif Access to Medicine Foundation yang berbasis di Belanda.

Virus ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah, yang dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak. Virus nipah bisa menyebabkan ensefalitis atau radang otak, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Perawatan yang biasa dilakukan adalah perawatan suportif yang mencegah penyakit sedini mungin berkembang. Wabah virus nipah di negara bagian selatan India, Kerala pada 2018 silam merenggut 17 nyawa.

Negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab saat itu melarang impor buah dan sayuran beku juga olahan dari Kerala. Ketika itu, para otoritas kesehatan meyakini bahwa wabah nipah di Bangladesh dan India mungkin terkait dengan konsumsi jus kurma.

Tak hanya tentang virus nipah saja yang dirilis, laporan indeks 2021 dari Access to Medicine juga menunjukkan tindakan dari 20 perusahaan farmasi terkemuka di dunia untuk membuat obat, vaksin, dan diagnostik lebih mudah diakses.

Ditemukan bahwa penelitian dan pengembangan untuk Covid-19 telah meningkat dalam setahun terakhir, tetapi risiko pandemi lainnya sejauh ini belum tertangani.

Menurut Iyer, indeks tersebut disiapkan selama krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad yang menunjukkan ketidaksetaraan parah akan akses ke obat-obatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurutnya, obat-obatan bisa dicapai semua kalangan jika para pemimpin perusahaan besar bertekad untuk memastikan bahwa orang yang tinggal di negara miskin dan menengah tidak berada di paling akhir.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sendiri telah mengimbau kepada para pihak terkait untuk mewaspadai adanya potensi penyebaran virus nipah di Indonesia.

“Indonesia harus selalu waspada terhadap potensi penularan virus nipah dari ternak babi di Malaysia melalui kelelawar pemakan buah,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes dikutip dari Antara, Rabu (27/1/2021).

Virus Nipah adalah virus yang ditemukan di kawasan Asia. Ia ditemukan oleh pemburu virus asal Thailand, Supaporn Wacharapluesadee. Mengutip BBC (12/1/2021), Wacharapluesadee adalah peneliti di Chulalongkorn University, Bangkok.

Ia telah mengambil ribuan sampel kelelawar dan mendeteksi banyak jenis virus. Diantaranya jenis virus corona yang banyak ia temukan, ada jenis virus lain yang berhasil ia dapatkan, itu adalah virus nipah yang dapat menular kepada manusia dan belum ada vaksinnya.

Sejauh ini virus nipah belum pernah dilaporkan ada di Indonesia. Meskipun pada 1999 wabah virus nipah pernah merebak di Malaysia. Virus nipah ketika itu menyebar di Semenanjung Malaysia pada ternak babi dan manusia.

Didik mengatakan, Indonesia harus selalu waspada penyebaran virus dari babi di Malaysia melalui kelelawar pemakan buah. Hal ini karena dari sejumlah penelitian kelelawar buah bergerak teratur dari Semenanjung Malaysia ke Sumatera Utara.

“Sehingga ada kemungkinan penyebaran virus nipah melalui kelelawar atau perdagangan babi yang ilegal dari Malaysia ke Indonesia, “ kata Didik. Ia mengatakan pemerintah telah melakukan pengetatan ekspor dan impor komoditas babi antara Indonesia dan Malaysia.

“Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, pemerintah Indonesia hanya menerima kiriman yang disertai dengan sertifikat kesehatan dan dikeluarkan oleh Departemen Layanan Hewan Malaysia untuk menyatakan bahwa babi yang diekspor sehat," kata dia.

Mengutip Kompas.com, Selasa (26/1/2021) virus nipah oleh WHO dimasukkan dalam daftar panjang patogen yang dapat menyebabkan darurat kesehatan masyarakat. Virus nipah adalah salah satu virus yang belum tersedia/ada vaksinnya.

Ada sejumlah alasan yang membuat virus nipah begitu mengancam, yakni: Periode inkubasi yang lama dilaporkan setiap kasus perlu waktu hingga 45 hari, sehingga ada kesempatan bagi inang yang terinfeksi, tidak menyadari bahwa mereka sakit sehingga bisa menyebarkan.

Dapat menginfeksi banyak jenis hewan yang makin menambah kemungkinan penyebarannya. Dapat menular baik langsung maupun konsumsi makanan yang terkontaminasi.

Virus nipah berasal dari inang kelelawar buah. Virus ini disingkat dengan nama NiV dan bisa menyebabkan kematian di antara 40-75 persen orang yang terinfeksi.

Sejumlah gejala bagi mereka yang terinfeksi, yakni infeksi saluran pernapasan akut, kejang, ensefalitis fatal, hingga koma dalam waktu 24-48 jam. Adapun gejala umumnya yaitu seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, muntah, dan sakit tenggorokan.

Tinjauan Mikrobioma

Potensi pandemi Virus Nipah tersebut bisa juga dilihat dari sudut pandang yang “berbeda”. Hal ini bisa dimaklumi. Karena ketika ada species atau strain tertentu yang dominan di alam ini, akan memicu species/strain-strain lainnya untuk mengalami regeneratif.

Hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensinya di alam ini. Sehingga mereka jumlahnya beratus/ribu kali lipat, dan akhirnya menyebar.

Virus atau bakteri-bakteri yang ukurannya kecil-kecil tersebut untuk mampu terbang jauh itu, sesungguhnya membutuhkan bakteri inang sebagai tumpangan mereka, sehingga tidak heran kalau kasus-kasus pandemi tertentu itu, selalu diikuti dengan scunder infeksi yang serius.

Bisa jadi, dan sangat mungkin, bakteri inangnyalah yang memicu terjadinya scunder infeksi. Dengan selalu menjaga keseimbangan mikrobioma dalam tubuh kita membuat tubuh kita ini tidak mudah terjangkit penyakit. Selalu mengkonsumsi produk berbasis mikro bakteri sebagai bentuk ikhtiarnya.

Makanya, konsep produk berbasis mikroba ini tidak membunuh mereka, tetapi dengan 2 cara, yaitu: merusak protein media regeneratifnya dan merusak struktur sel virus/bakterinya.

Selain itu, secara alamiah, bakteri-bakteri komunitas itu akan melakukan koloni atas keberadaan bakteri/virus, untuk selanjutnya dijatuhkan ke tanah, dan kembali ke alam. Ada mekanisme lain, yakni menggunakan enzim-enzim buatannya bakteri-bakteri komunitas.

Berdasarkan riset, diyakini terdapat ribuan enzim yang ada di semua produk berbasis mikroba. Tentu saja, mekanisme menggunakan enzim-enzim tadi adalah cara terakhir yang dilakukannya.

Mekanisme enzim-enzimnya merusak protein media regeneratifnya, atau memotong sel-sel virus. Cara ini disebut  lebih alami, karena yang digunakan multi senyawa, insya’ Allah lebih efektif, dan potensi mutasinya menjadi lebih rendah.

Salah satu dasar pemikirannya, enzim yang kompleks itu lebih berdaya guna dibanding enzim tunggal. Serta, berdasarkan hasil-hasil riset, pemakaian enzim kompleks, tidak berpotensi menimbulkan efek samping.

Jadi, pemakaian enzim komplek dari hasil produk berbasis mikroba ini, lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan pemakaian berbagai produk vaksin!

***