Kalau berpengetahuan, ngapain konyol mati bunuh diri? Bukankah akan lebih pintar dengan ber-ijtihad, berjihad, dengan syiar agama yang santuy dan mesra?
Sudah bisa ditebak, orang MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengatakan kejadian di Makassar, bom bunuh diri di depan gereja, jangan dikaitkan agama.
Terus? Dikaitkan pohon? Atau dicenthelkan ke tempat jemuran? Napa sih suka cuci-tangan? Karena patuh dan taat pada gerakan 3M? Memakai masker, untuk tutup mulut? Mencuci tangan, untuk melepas tanggung jawab? Menjaga jarak, agar tak dikait-kaitkan?
Padal, sangat jelas yang dilakukan teroris itu, bisa dipastikan berkait dengan keyakinan berkeagamaannya. Jika tidak, bagaimana mungkin hilang akal melakukan bom bunuh diri?
Apakah benar pelaku bom bunuh diri tidak tergoda omongan kayak Tengkuzul, bahwa mereka yang mati di jalan jihad, akan bertemu puluhan ribu bidadari?
Jika saya menuliskan ini, tidak dalam rangka mengatakan agama buruk. Karena yang senyatanya, yang mesti dipertanyakan, lebih pada cara manusia memahami, meyakini, dan menjalankan keyakinan berkeagamaannya. Karena keyakinan pada ideologi (entah itu politik dan apalagi agama), bisa membuat hilang akal.
Kartini, perempuan jadul dari Jepara itu, puluhan tahun lampau dengan tajam menuliskan, “Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?”
Itu menandakan, persoalannya lebih besar pada penghayatan manusia, yang antara lain juga harus dilihat pada bagaimana agama itu diajarkan oleh manusia kepada manusia.
Karena toh senyatanya, sebagai contoh, antara ustadz satu dan lainnya, beda cara mengajar dan yang diajarkan. Antara kyai atau ulama satu dan lainnya, beda-beda kesukaannya pada tongseng.
Contoh gampangnya saja, apakah kita setuju menyamakan Gus Dur dengan Rizieq? Atau cara mikir kita cuma sebatas anjing itu binatang, kucing juga binatang, makanya kucing dan anjing itu tidak beda?
Analogi semacam itu, mungkin bukan ciri generasi analog. Tapi lebih pada mereka yang jika tak malas berpikir, suka menghindari tanggungjawab, dan suka menyalahkan liyan.
Contohnya, MUI konon kumpulan para ulama? Ulama konon adalah cendekiawan? Kalau ada salah pemahaman dalam keyakinan beragama, itu tanggungjawab siapa? Mestinya, yang ngerti agama, yang salah satunya MUI itu.
Tapi kalau yang ngerti agama mengatakan peristiwa Makassar tak berkait agama, cem-mana pula kita bisa mendapat jawaban,’ Kenapa ada orang bodoh mati bunuh diri dengan bom?
Bagaimana kalau ledakan bom itu bukan hanya membuat badannya hancur, melainkan penisnya terpental ke aspal jalan? Kalau mati tanpa penis, apa nggak nyesel sekiranya ketemu bidadari?
Tapi, begitulah. Hal itu hanya menguatkan penelitian yang dilakukan beberapa akademisi di Leeds Becket University (LBU), West Yorkshire, Inggris, beberapa tahun silam (Jurnal Intelligence, 2017), bahwa semakin ‘religius’ sebuah negara semakian rendah prestasi para peserta didik di bidang sains dan matematika.
Para pelajar di negara yang mayoritas penduduknya mengaku agnostik atau ateis, rata-rata memiliki catatan prestasi yang lebih baik dalam kedua bidang tersebut. Di negara sekuler macam Singapura, pendidikan agama tidak ditemukan di sekolah, karena dilarang oleh Pemerintah.
Apakah negara ini menjadi terkutuk dan dilaknat tuhan? Nyatanya negara itu lebih terasa bermanfaat dan mensejahteraan warga negaranya.
Baca Juga: Masyarakat Mengutuk Aksi Teror Bom di Makassar
Dalam praktik kehidupan keseharian mereka, social religion menjadi kuat, yang antara lain kadar toleransi, sebagai bagian praktik religiousitas, lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia yang suka mendaku negara dan bangsa religius, senyampang itu paling barbar dalam perilaku kesehariannya dan apalagi di medsos.
Tapi apa hubungannya dengan bom bunuh diri? Ya, kalau berpengetahuan, ngapain konyol mati bunuh diri? Bukankah akan lebih pintar dengan ber-ijtihad, berjihad, dengan syiar agama yang santuy dan mesra? Tanpa harus mere-mere yang membuat orang bukan hanya takut pada agama, tapi juga benci. Camkan!
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews