Radikalisme mengabaikan pesan terpenting agama – agama yang mengajarkan keluhuran dan kerukunan. Paham radikal juga dianggap berbahaya karena dapat menciptakan disintegrasi bangsa. Oleh sebab itu, penanganannya memerlukan sinergitas tidak hanya Pemerintah, namun juga masyarakat.
Paham radikali juga turut mengancam persatuan sesama warga negara. Bahkan juga merusak persatuan sesama umat beragama. Gerakan radikal yang dapat berkembang menjadi terorisme ini mengajarkan seseorang bertindak dengan kekerasan, seakan mereka bukan manusia yang mempunyai hati. Mereka dengan tanpa melihat langsung menghancurkannya. Itulah mengapa dalam mengkaji sesuatu kita perlu berhati-hati dan tidak terprovokasi.
Radikalisme agama sendiri sejatinya sudah ada sejak abad 16 – 19 M. Dua agama yang paling utama mengakarinya ialah antara Islam dan Kristen yang saling berebut kejayaan di masa itu.
Namun fenomena akan adanya radikalisme agama tak hanya menjalar pada agama Islam atau Kristen saja. Sebagaimana yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam bukunya the battle for God (2000), radikalisme juga ada dalam Hindu dan Yahudi. Bahkan fakta terbaru memperlihatkan adanya radikalisme dalam pengikut Budha.
Hal ini tentu memilukan, tapi memang sepatutnya diakui bahwa agama yang paling berhasil dirusak oleh radikalisme adalah Islam. Sebab bukan hal yang mustahil bila saat ini banyak orang yang menyangka bahwa radikalisme adalah bagian dari ajaran Islam. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu.
Perspektif itu muncul jelas bukan tanpa sebab. Sebagaimana sebuah iklan yang mengandung unsur propaganda bermunculan di berbagai media, maka lambat laun akan mempengaruhi pola pikir masyarakat juga. Itulah yang terjadi pada Islam.
Meskipun Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah resmi dibubarkan dan ditetapkan sebagai ormas terlarang oleh pemerintah, namun pada kenyataannya pergerakan mereka masih eksis menyebarkan ajaran – ajarannya seperti paham radikalisme melalui buletin kaffah. Diketahui bahwa bulettin kaffah juga disebar di Masjid Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Kita tentu sepakat bahwa Masjid sejatinya merupakan tempat bersujud, menunaikan shalat berjamaah dan kegiatan ibadah lainnya yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hanya saja bangunan yang suci tersebut kerap disalahgunakan oleh kelompok – kelompok dengan paham tertentu. Awal Juni 2018 lalu, Alissa Wahid melontarkan sebuah penelitian yang menggegerkan masyarakat, terlebih di kalangan umat Islam. Dimana survei tersebut menunjukkan bahwa 40 masjid di Jakarta telah terpapar paham radikalisme.
Fenomena masjid yang terpapar paham radikalisme juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute. Direktur Riset Setara Institute Halili menyatakan, paham radikalis di Indonesia hingga ke tempat Ibadah sebenarnya terjadi sebagai warisan dari pergantian rezim di masa reformasi. Pasca reformasi ada ketidakjelasan antara batasan kebebasan dengan proteksi arena – arena publik dari infiltrasi ideologi.
Dalam praktiknya mereka yang menganut paham radikalisme ini cenderung menggunakan kekerasan. Di Indonesia aksi kekerasan ini dapat terlihat dalam beragam aksi pengeboman dan penyerangan terhadap simbol – simbol negara (salah satunya pihak kepolisian). Lambang – lambang kapitalisme seperti tempat hiburan dan hotel juga disebut sebagai salah satu sasaran dari aksi kekerasan yang kerap dilakukan karena mereka memandang hal – hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip – prinsip agama yang diyakininya.
Yang menjadi ironi adalah, ketika cara peperangan tidak memungkinkan untuk dilakukan maka yang terjadi adalah tindakan teror. Akso teror ini menjadi cara yang mereka gunakan untuk menunjukkan pada dunia bahwa kaum radikalisme masih ada dan tidak pernah mati. Bahayannya, mereka ini bekerja dalam sel – sel bawah tanah yang kuat sehingga ketika ada satu tokoh yang meninggal maka tokoh lain akan menggantikan.
IPW Indonesia Police Watch menyebutkan bahwa kelompok radikal maupun eks teroris dapat beraksi dan tumbuh subur diantara euforia pemilu. Wilayah seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Papua adalah tempat – tempat strategis untuk melahirkan sel radikalisme.
Dirinya mengklaim kelompok radikal tersebut ditemukan di sejumlah daerah, seperti Jawa Barat dan Riau. Sejumlah hal uang dilaporkan ke presiden, yakni kelompok radikal yang ingin mendirikan negara selain Islam dan beberapa pejabat BUMN dan ASN yang sudah disisipi paham radikal.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews