Mengapa Dipilih Gejayan?

Salah satu alasan lain yang lebih masuk akal adalah kemungkinan cukongnya, yang rumahnya di kawasan ujung Utara jalan ini. Gelandangan politik yang tidak menepati janjinya jalan kaki.

Senin, 23 September 2019 | 21:03 WIB
0
1118
Mengapa Dipilih Gejayan?
Aksi mahasiswa, termasuk aksi Gejayan, ujung-ujungnya minta Jokowi Turun (Foto: Facebook/Andisetiono Mangoenprasodjo)

Hari-hari ini di Jogja beredar ajakan untuk turun ke jalan dengan pilihan teks agak aneh (tepatnya situs titik kumpul) di Gejayan. Why?

Sebagaimana orang tahu, aktivis di Jogja yang paling mudah dibakar atau terbakar itu sesungguhnya ada di UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dan titik pertemuan mereka adalah poros Gejayan-Jl. Solo. UGM itu sejak dulu walau banyak tokoh aktivis berasal dari sini, namun tetap saja mengambil bahan bakar dan penggembiranya dari kedua kampus itu.

Entah kenapa mereka jadi "anak-anak yang mudah dibakar". Apakah juga kebetulan kedua perguruan tinggi (yang kebetulan sama-sama negeri ini), juga penjelmaan dari bentuk lamanya yang dianggap usang dan tak sesuai lagi zamannya. UIN meninggalkan watak ke-IAIN-annya, sedangkan UNY dengan ke-IKIP-annya. Tentu tak ada yang salah daripadanya, sebagaimana juga satu perguran tinggi negeri lainnya yang mencampurbaurkan ASRI, AMI, ASTI dalam wujud Institut Seni Indonesia (ISI).

Artinya apa, hilang identitas lama butuh wajah baru?

Dalam konteks ini sebenarnya hanya UGM yang wujudnya tetap, spiritnya keuniversitasannya tetap. Hanya yang membedakannya bayar kuliahnya makin mahal, dan barangkali semakin sulit menemukan mahasiswi tanpa penutup di kepalanya. Apa boleh buat, perkembangan zaman menuntut seperti itu. Universalitas dalam tutup kepala....

Orang asli Jogja barangkali masih ingat, hingga tahun 1980-an, sulit membayangkan Jalan Gejayan sebagai "jalan kembar kemacetan" bersama Jalan Kaliurang. Semuanya masih kebon kosong atau sawah dengan irigasi teknis yang baik, hingga di hari-hari ini nyaris tak ada rumah tinggal yang tersisa di sepanjang kedua jalan ini.

Dulu di Gejayan, orang hanya ingat bahwa di daerah ini tinggal seorang YB Mangunwijaya di sebuah gang bernama Kuwera. Tak jauh dari Kampus Sanata Dharma, yang dulunya juga IKIP tapi sekarang ikut-ikutan jadi Universitas. Gejayan jadi populer, ketika aksi demo 1998 saat tuntutan reformasi terjadi.

Entah bagaimana ceritanya, justru di sinilah meledak kerusuhan yang membawa korban yang berakibat hilangnya nyawa seorang mahasiswa yang namanya kombinasi nama tokoh wayang dan seorang Nabi. Nama yang kemudian ditabalkan sebagai nama jalan di selatan Sanata Dharma menggantikan nama Jalan Colombo yang menurut saya justru lebih memiliki nilai sejarah yang lebih tinggi.

Historik dan ikonik sebagai kenangan bahwa Konferensi Colombo Plan pernah diselenggarakan di kota ini. Di samping memang di sebelahnya terdapat satu kompleks perumahan bagi para dosen sebagai hasil konferensi tersebut. Atas usul Romo Mangun pula, nama jalan tersebut diganti dengan Moses Gatotkaca, seorang mahasiswa berasal dari Banjarmasin yang ditemukan meninggal di jalan dengan tangan tertelikung ke belakang.

Tidak pernah jelas benar apa ia korban kesewenang-wenanganan aparat atau akibat apa. Tak pernah ada cerita apa kontribusinya dalam aksi demo tersebut. Ia hanya seorang korban yang ditemukan tewas di tempat kejadian. Titik, no more story.

Spirit inilah yang diambil oleh insiator atau penggerak demo yang akan dilakukan Senin, 23 September 2019. Muncul himbauan gerakan mengosongkan kelas untuk mengajak turun ke jalan. Norak sekali, segenting itukah?

Tak jelas benar, siapa yang mengawalinya. Tapi tiba-tiba belum lagi ada kejelasan, para "aktivis yang mulia" di seluruh Indonesia memuji dan mendukung gerakan tersebut!

Hanya berbekal dengan poster di medsos. Rakyat dituntut atau minimal diajak bergerak karena ada anggapan KPK Dilemahkan, Hutan Dibakar, Papua Ditindas, Tanah untuk Pemodal, Petani Digusur, Buruh Diperas, Privasi Terancam, Demokrasi Dikebiri.

Dari delapan isu tersebut sangat mudah dibaca suatu undangan yang merangkul semua kalangan yang kecewa. Semua orang yang terugikan, agar terbetot perhatiannya. Alih-alih fokus pada satu dua isu, mereka ingin melakukan sapu jagad, merambah semua.

Pertanyaannya segoblog itukah rakyat Jogja? Bila yang mereka takik adalah kesewenang-wenangan DPR yang nyaris kukut, tutup buku tapi memaksakan mengesahkan banyak RUU? Lalu kenapa ada isu Papua, yang sekarang relatif mendingin. Lalu tiba-tiba muncul isu petani diperas, emang petani sapi perah? Lalu dimana letaknya demokrasi dikebiri? Memang demokrasi itu berkelamin laki-laki, sehingga bisa dihilangkan alat vitalnya. Sudah sebebas ini, nyaris tanpa tata krama lagi masih kurang bebas? Lalu pengennya seperti apa, privasi yang bagaimana lagi...

Terlalu mudah dibaca bahwa gerakan ini bukan lagi murni ke arah perbaikan! Terlalu mudah ditera ini adalah akal-akalan dari sekelompok orang yang menginginkan Jogja rusuh, dan melahirkan martir baru untuk menyulut nyala api yang lebih besar dalam skala nasional. Dan targetnya jelas: Jokowi yang akan disalahkan karena dianggap lemah. Tak pantas dilantik di periode keduanya, bla bala bla ..

Sial betul banyak para cerdik pandai yang belum-belum apa-apa sudah menyediakan waktu, pikiran, dan jari-jemari menunjukkan dukungannya untuk gerakan ini. Tanpa berpikir panjang bahwa akan muncul potensi nyawa dikorbankan. Kerusuhan yang membenturkan "penduduk lokal" dengan pendemo.

Gejayan itu sesungguhnya warga penghuni lokal yang pomahan relatif sedikit, apalagi yang asli Jogja. Yang justru menonjol adalah dominannya ribuan unit usaha milik mereka dari segala penjuru yang akan sangat reaktif ketika kenyamanan mereka terganggu. Sudah dagang makin susah, dibikin repot oleh suasana yang panas.

Karena saya juga yakin, nyaris mustahil membenturkan aparat dengan mahasiswa. Beda dengan daerah lain aparat di Jogja terlalu berpengalaman menghadapi mahasiswa atau siapa pun calon pendemo itu. Jangan lupa Jogja itu istimewa, bung....

Lalu sekali lagi kenapa Gejayan?

Salah satu alasan lain yang lebih masuk akal adalah kemungkinan cukongnya, yang rumahnya terletak di kawasan ujung Utara jalan ini. Gelandangan politik yang tidak menepati janjinya jalan kaki Jakarta-Jogja itu. Walau tak ada lagi yang mau mendengar suaranya, jangan lupa duitnya masih banyak sekali.

Sayang orang Jogja terlalu pintar untuk dikadali oleh kelompok "kadal gurun" ini. Kalau kemarin-kemarin ia gagal menghapus keistimewaan provinsi ini. Haqul yakin gerakan kali ini pun bakal sama saja. Kalau cuma isu kayak begini mah terlalu gampang lewat....

***