Fenomena Status Keimanan Capres dan Maraknya Politik Keislaman

Sabtu, 9 Maret 2019 | 08:01 WIB
0
1435
Fenomena Status Keimanan Capres dan Maraknya Politik Keislaman
sumber gambar : detik.com

"Prabowo akan Salat Jum'at dimana?"

Ketika menjelang hari Jumat tiba, pertanyaan itu semakin gencar dan masif ditujukan kepada Prabowo, sehingga dia bagai sosok "buronan ibadah" yang dikejar-kejar banyak orang.

Padahal tulisan pertanyaan itu "cuma" status atau cuitan setiap hari Kamis dan Jumat di dunia medsos (facebook dan twitter) yang marak beberapa waktu lalu hingga kini. Tulisan pertanyaan itu  sering menjadi trending topik dengan tagar khusus #PrabowoSalatJumatDimana?

Efek pertanyaan itu terhadap citra Prabowo sangat besar mendegradasi eksistensi perpolitikan Prabowo. Apa pasal?

Prabowo bukan anak kecil yang bandel, yang berkali-kali suka mangkir mengikuti jadwal wajib ibadah. Prabowo merupakan tokoh publik dan jadi panutan banyak orang. Prabowo adalah calon presiden di negara yang mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam, sehingga rakyat ingin kepastian bahwa Prabowo taat ibadah.

Bila dibandingkan dengan para tokoh satu kubu Prabowo, seperti Amien Rais, Fadli Zon, Zulkifli Hasan, Hidayat Nurwahid,  soal Salat tak menjadi persoalan publik. Namun terhadap Prabowo, Salat menjadi persoalan besar dan sangat serius.

Memaknai Aksi Salat Prabowo

Saking seringnya pertanyaan "Prabowo Salat Jum'at dimana?" membuat kubu pemenangan Prabowo-Sandi gerah, kemudian mereka  "menggelar secara khusus" kegiatan Salat-nya Prabowo di Mesjid Agung Kauman saat berada di Semarang tanggal 15 Februari lalu.

Tak seperti umumnya tokoh saat menjalankan ritual wajib keagamaan yang rutin, kali ini kegiatan salat Prabowo dibuatkan publikasinya beberapa waktu sebelumnya Jumatan. Lewat publikasi itu, publik dan pers "diundang", sekaligus untuk turut serta melakukan salat bersama Prabowo. Publikasi itu juga dimaksudkan menjawab keraguan publik soal keislaman Prabowo.

Bila dibandingkan dengan masa lalu, soal ibadah salat seorang tokoh tidak menjadi persoalan yang mengemuka di ruang publik. Media pun tidak sebebas seperti saat ini untuk "mengkritisi" agama, apalagi soal ibadahnya.

Namun kini, iklim perpolitikan di negeri ini sangat kental dengan politik identitas, khususnya penggunaan agama Islam. Arus politik yang terbentuk sangat masif membawa agama Islam ke kancah politik praktis. Kelompok Islam konservatif mendapatkan ruang ekspresi dan leluasa menunjukkan dirinya di ruang publik untuk mempengaruhi kelompok Islam lainnya--atas nama kebesaran Islam dan bela Tuhan.

Konsekuensi logisnya, demi tujuan politik, para tokoh harus menunjukkan simbol-simbol keislamannya secara terbuka agar bisa diterima masyarakat Islam yang jumlahnya dominan di negara ini. 

Hal itu dilakukan juga untuk "menenangkan" sebagian umat Islam di tanah air yang "terlanjur panas hati" dan "kebingungan" oleh maraknya dinamika politik identitas keislaman yang muncul.

Secara paralel, di sisi lain timbul saling silang pendapat, pertentangan dan klaim kebenaran antar elemen masyarakat Islam berdasarkan penafsiran kitab suci yang digunakan dalam berpolitik, sehingga terbentuk friksi-friksi tersendiri di kalangan umat dan kelompok masyarakat Islam.

Secara keseluruhan masyarakat Indonesia timbul kekhawatiran akan nasib bangsa dan negara Indonesia di masa depan.

Pertanyaan Salat Prabowo sebagai  Satire Aksi dan Reaksi

Bukan hal aneh lagi bila dibalik pertanyaan "Prabowo akan salat di mana?" mengandung makna satire soal status iman Islam Prabowo. Satire itu wujud dari tekanan politik dan reaksi balik (bumerang) terhadap kelompok pendukung Prabowo yang sebelumnya sangat masif mempolitisasi Islam untuk mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia.  

 

sumber gambar ; kompas.com

Pertanyaan "Prabowo akan Salat Jum'at di mana?" ingin membentuk opini kolektif "meragukan keislaman Prabowo". Dan memang nyatanya nihilnya aktivitas ibadah Prabowo dianggap "layak" untuk dipertanyakan publik. Selain itu juga faktor latar belakang keluarga besar Prabowo.

Ada realitas "yang coba disembunyikan" Prabowo dan tim pendukungnya tentang latar belakang keluarga besar Prabowo yang non-muslim (nasrani). Prabowo sendiri menjadi muslim ketika akan menikahi Titiek Soeharto--putri Presiden RI era Orde Baru.

Bandingkan latar belakang Prabowo itu dengan Jokowi yang sejak lahir beragama Islam dan keluarga besarnya merupakan muslim.

Bandingkan dengan para elit politik pendukung Prabowo seperti Amien Rais, Riziek Shihab, Fadli Zon, Hidayat Nurwahid, Zulkifli Hasan yang secara simbolik tampak keimanannya atau keislamannya, dan mereka itu sering berkoar-koar sebagai representasi Islam yang sesungguhnya sangat dibutuhkan bangsa dan negara ini.

Ketika kemudian tim pemenangan Prabowo dan kelompok masa pendukungnya mengadakan salat bersama Prabowo, maka di satu sisi, aksi simbolik itu merupakan hal lumrah dalam komunikasi elit politik kepada publik. Elit politik seharusnya bisa terbuka dan cepat menjawab semua keraguan publik tentang isu-isu yang jadi polemik tanpa kejelasan hal sebenarnya.

Namun di sisi lain, hal itu jadi ironi Politik Keislaman Prabowo diantara masifnya dukungan kekuatan politik bercirikan Islam kepada Prabowo sendiri.

 

sumber gambar ; semarak.co

Kelihaian Politik Prabowo

 

Harus diakui, Prabowo sangat lihai berpolitik. Dengan latar belakang keluarga besarnya yang non-muslim, dia bisa menggaet kekuatan politik Islam di negeri ini untuk mendukung dirinya pada Pilpres 2019.

Di negara Indonesia, urusan agama merupakan sesuatu yang sensitif dan maha penting, terutama soal status agama si Tokoh untuk menjadi pemimpin daerah atau pemimpin negara. Secara undang-undang atau peraturan, siapa pun putra terbaik bangsa tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan berhak untuk menjadi Presiden RI.

Namun dalam realitasnya ada semacam pandangan atau kesepakatan tidak tertulis di dalam sebagian masyarakat luas bahwa Presiden RI "harus" seorang yang beragama Islam. Dengan jumlah penduduk Indonesia beragama Islam mencapai 80 persen lebih, maka "kesepakatan tidak tertulis" itu merupakan realitas politik dan demokrasi yang wajar.

Pun di kalangan non-muslim, realitas tersebut bisa diterima. Terbukti tidak adanya gejolak politik besar yang mempertentangkan peraturan dengan realitas dalam masyarakat.

Kelihaian "Politik Prabowo" menggunakan hegemoni keislaman dalam masyarakat Indonesia dalam perpolitikannya mampu menutupi realitas dirinya yang berlatar belakang keluarga non muslim.

Sebagai mantan tentara yang sudah berpengalaman dalam pertempuran, Prabowo tentu paham fungsi pragmatis dan  filosofi senjata. Senjata bisa untuk melumpuhkan keluatan lawan, namun disi lain bisa juga melumpuhkan si pemegang senjata itu sendiri.

Pertama, ketika senjata itu diserbut lawan. Kedua ketika lawan memiliki senjata yang sejenis dan pengetahuan tentang pemanfaatannya secara lebih baik. Ketiga, ketika pemegang senjata mengalami blunder internal dan halusinasi sehingga menembak atau melukai diri sendiri padahal tadinya mau melumpuhkan lawan.

Pada posisi manakah filosofi senjata Prabowo ketika muncul pertanyaan publik #Prabowo Salat Jum'at Dimana"? Publik tentu bisa menjawabnya secara relatif.

Fenomena keislaman Prabowo telah memunculkan aksi dan reaksi dari politik keislaman yang mengobok-obok emosi rakyat, menguras energi dan waktu publik di tengah realitas Indonesia yang prular, dan relatifnya interpretasi teks kitab suci terhadap aksi politik yang didominasi kepentingan duniawi para elit politiknya.

Namun bila kita ingin melihat politik Indonesia yang sehat dimasa depan, sejatinya fenomena ini bisa menjadi pelajaran berharga.  

Sejatinya pula, hal seperti itu tak perlu lagi terulang karena hanya akan menjebak masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke pada perdebatan yang tak berkesudahan terhadap teks-demi teks politik keislaman.

Jangan sampai situasi itu berkepanjangan. Disaat waktu dan energi terkuras secara bersamaan, rakyat awam dan elemen bangsa tanpa sadar mengesampingkan konteks yang memuat gagasan kehidupan masa kini (dan masa depan) bangsa dan negara Indonesia diantara bangsa-bangsa lain di dunia mampu mensejahterakan rakyatnya secara damai, tanpa pengkotak-kotakan politik identitas keagamaan.

Jangan sampai dinamika politik keislaman yang masif di negara kita saat ini menjadi ironi politik itu sendiri, dan membuat bangsa Indonesia berhalusinasi--seolah heroik melakukan langkah maju, padahal nyatanya mundur. 

Negara lain yang melihatnya mungkin diam-diam "kepengen tertawa", tapi takut digeruduk elemen masa Indonesia  yang baperan.

Eeeh!

***