Iklim Politik Keislaman Menjadi Bumerang Prabowo

Jumat, 8 Maret 2019 | 08:05 WIB
0
304
Iklim Politik Keislaman Menjadi Bumerang Prabowo
sumber gambar : detik.com

Prabowo salat subuh bareng Amien Rais dan Sudrajat (Foto: Facebook Prabowo Subianto). Sumber gambar detik.com

Iklim perpolitikan masa kini di negeri ini sangat kental dengan politik identitas. Agama yang dulunya "haram" kalau dijadikan alat politik, kini "halal" digunakan dengan berbagai kemasan meyakinkan umat demi sebuah ambisi politik.

Prabowo memulai perjalanan pencapresan 2019 dengan langkah-langkah mengusung simbol agama Islam sebagai basis kekuatannya. Latar belakang keluarganya Kristen  sebenarnya sangat riskan meraih simpati publik Islam tapi ternyata berhasil dia tutupi dengan cara menggaet partai Islam beserta tokoh-tokoh penting dunia Islam di Indonesia.

Secara politis saat ini Prabowo menjadi "representasi" tokoh Islam. Dalam pilpres 2019  Prabowo dianggap menjadi pembela Islam bila kelak menjadi Presiden RI.

Tentunya, semua itu sudah melalui perhitungan dari pemikiran tertentu dari seorang Prabowo sebagai empunya hajat dan ambisi menduduki kursi RI-1.

Koalisi lamanya yang setia ; yakni PAN dan PKS yang berbasiskan masa Islam masih jadi gerbong utama. Maka sempurnalah Prabowo yang berlatar belakang keluarga besar Kristen menjalankan politik identitas berbasiskan agama Islam.

 

sumber gambar ; tribunnews.com

Melihat hasil Pilpres 2014 Jokowi/JK memperoleh 70.997.833 suara atau 53,13 persen. Sementara Prabowo-Hatta 62.576.444 suara atau 46,84 persen. Kekalahan yang dialami Prabowo relatif tipis sekitar 8.421.389 suara dari 133.574. 277 suara pemilih.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa basis Islam yang mendukung Prabowo telah mampu menjadikan dirinya kandidat sangat kuat untuk merebut kursi Presiden RI.

Penggiringan Massa Keislaman
Melihat hasil terdahulu, massa Islam relatif mudah digiring dengan sentimen keagamaan yang kuat. Narasi surga-neraka. Narasi pribumi Islam terzolimi, narasi PKI, narasi penjajahan ekonomi oleh China dan dunia barat, dll merupakan contoh isu yang mampu membakar spirit keislaman publik  yang wawasannya relatif rendah atau terbatas.

Dan ketika pencapresan 2019 akan mulai maka isu dan simbol keislaman tersebut dieksplore secara lebih masif dibandingkan masa lalu. Tujuannya adalah untuk mempertahankan basis massa Islam yang sudah ada sejak Pilpres 2014. Selanjutnya menambah kekurangan yang ada sekitar lebih dari 8,5  juta suara.

Basis massa Islam tersebut perlu dijaga militansinya dengan menampilkan simbol-simbol keislaman secara lebih mencolok dibandingkan Pilpres 2014.

Terbukti hal tersebut berhasil. Pada masa Pilpres 2019 ini iklim politik identitas berbasiskan keislaman jauh lebih kuat dan panas dibandingkan Pilpres 2014. Berbagai macam aksi massa Islam di ruang publik yang diikuti ratusan ribu orang kerapkali diadakan dengan istilah penomoran unik dari kalender atau demo berjilid-jilid.

Demikian juga tampilnya organisasi massa Islam radikal dan konservatif di belakang kubu Prabowo menjadi penanda keberhasilan Prabowo menjaga amunisi politiknya.

Potensi Konflik Sosial dan Budaya
Persoalan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia  (perpecahan negara dan bangsa)  akibat strategi politik identitas keislaman tersebut tentu sudah diantisipasi. Dengan latarbelakang karier militernya, Prabowo punya cara khusus menanganinya bila kelak berhasil meraih. kursi RI-1.

Dukungan besar dari berbagai kelompok mengatasnamakan Islam menjadikan politik identitas keislaman saat ini begitu hidup "mengobok-obok" keyakinan, emosi, kewarasan atau  logika politik-sosial-budaya sebagian masyarakat Indonesia yang multi kultural dan religi.

Tindakan Represif Demi Negara?
Namun demikian, dibalik strategi politik keislaman Prabowo itu--disadari atau tidak--bisa menjadi bumerang bila kelak Prabowo berkuasa. Pemanfaatan politik keislaman secara militan ibarat memelihara ular berbisa di dalam rumah secara bebas.

Indonesia merupakan negara multikulural sejak dahulu. Munculnya sentimen keislaman dalam relasi sosial dan budaya mulai menguat di pilpres 2019 ini yang didominasi pendukung Prabowo. Keislaman itu kini perlahan menggerus relasi sosial dan budaya masyarakat.

 

sumber gambar ;wow.tribunnews.com

Prabowo selaku pemimpin bangsa  di satu sisi harus mampu menjaga keutuhan NKRI, sementara di sisi lain harus "memberi ruang sosial dan budaya keislaman" sebagai konsesi sosial politik dirinya kepada para pendukung utamanya.

Bila Prabowo menang, maka ruang gerak  massa Islam akan lebih leluasa berkiprah demi agama dan kehidupan akherat, namun disisi lain mengerus secara terus menerus keunikan ruang sosial dan budaya Indonesia untuk digantikan dengan model relasi sosial budaya keislaman. 

Mereka merasa berhak melakukanya karena punya jasa mendudukkan Prabowo di kursi kepresidenan.

Bumerang Politik, Ular Makan Tuannya

Bukan tidak mungkin kelak, ketika ruang sosial dan budaya itu semakin besar dikuasai gaya masa keislaman, maka giliran berikutnya adalah menggerus kursi kepresiden Prabowo. Terlebih, secara latarbelakang, keluarga besar Prabowo bukanlah muslim. Akar religi keislaman Prabowo tidak kuat untuk meraih simpati publik Islam.

Dalam rentang waktu penggerusan tersebut, kejatuhan pemerintahan Prabowo hanya menunggu waktu saja. Jatuh atau tidaknya tergantung siapa cepat bertindak,  Prabowo atau masa keislaman tadi.

Kalau Prabowo lebih cepat, maka tidak ada pilihan baginya selain melakukan tindakan tegas, otoriter, represif, yang kalau perlu diluar koridor HAM-- dengan argumentasi demi menyelamatkan bangsa dan negara (NKRI).

Kalau perlu melibatkan asing, dalam hal ini Amerika, yang secara historis relatif dekat dengan keluarga Prabowo. Bisa jadi, tindakan Prabowo mirip yang dilakukan Soeharto ketika menggulung militansi PKI pada masa awal berkuasa.

Konsesi sosial budaya kepada kelompok masa keislaman konservatif dan radikal jauh lebih sulit dibandingkan konsesi ekonomi dan politik (kekuasaan/jabatan).

Kalau konsesi ekonomi, Prabowo tinggal memberikan organisasi keislaman itu (para tokoh dan lingkarannya) sejumlah kapling-kapling usaha di berbagai wilayah Indonesia, khususnya pengolahan SDA atas nama "untuk anak negeri"--daripada dikuasai asing. 

Bila kapling konsesi ekonomi dibagikan maka riak-riak masa keislaman bisa relatif diredam secara sel per sel, tergantung para tokohnya yang dimakmurkan konsesi tersebut.

Sementara konsesi sosial dan budaya berpotensi terjadi resistensi di setiap wilayah Indonesia yang unik. Contohnya Bali, ketika ada wacana "Wisata Halal".

Penguasaan ruang sosial dan budaya berbenturan resistensi lokalistik bisa menjadikan negara kacau sepanjang rezim Prabowo berkuasa. Dan kalau tidak ditindak tegas, ibarat ular di dalam rumah, setelah memporakporandakan isi rumah maka selanjutknya tuan rumah sendirilah yang dililit kemudian  ditelan.

***