Nanik S Deyang kepada Jokowi, yang Kini Tak Lagi Memuji!

Minggu, 14 Oktober 2018 | 14:41 WIB
0
1119
Nanik S Deyang kepada Jokowi, yang Kini Tak Lagi Memuji!

Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, atau dalam narasi Arabnya kalau saya  tidak salah mengutip berbunyi "Al Insaan mahalul Khatha' wan Nisyaan". Sebuah pepatah lama yang selalu disandarkan pada diri manusia. 

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, namun tak ada manusia yang sempurna. Manusia punya kelebihan, juga tak lepas dari kekurangan. Karena itu, antara manusia yang satu dengan manusia lainnya haruslah saling melengkapi dan saling bekerja sama, bukan sebaliknya.

Adalah sosok Nanik S Deyang, atau lengkapnya Nanik Sudaryati Deyang (NSD). Nama yang belakangan hari ini dikaitkan dengan kebohongan yang dilakukan seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Ratna Sarumpaet. Setidaknya, menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono, NSD ialah orang yang memberitahukan adanya penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet, yang kemudian diakui Ratna bahwa semua itu kebohongan.

NSD memang dekat dengan bakal calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto. Kedekatannya sudah cukup lama. Bahkan, sejak Partai Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusung Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilkada 2012 lalu. 

Saat itu, hampir tak ada gejolak politik, seperti yang terjadi saat ini. Boleh dibilang, Peran NSD memperkenalkan Jokowi dari Solo ke Jakarta tidak bisa dianggap kecil. 

NSD adalah mantan jurnalis Tabloid Bangkit (Kelompok Kompas-Gramedia), yang kemudian bersama Budi Purnomo Karjodihardjo (BPK)  mendirikan Kelompok Media Peluang (KMP) yang menerbitkan Tabloid Peluang Usaha, Peluang Kerja, Info Kuliner, Info Waralaba, Info Kecantikan, Femme, dan Tabloid The Politic, di masanya begitu menghiasi loper-loper koran dan majalah di ibukota.

 

Untuk memperkuat branding Jokowi di Jakarta,  belum lama menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah diganjar penghargaan dalam kategori Anak Bangsa yang Layak Memimpin Bangsa dari Kelompok Media Peluang (KMP) yang dimiliki NSD.

Namun, semuanya berubah ketika PDIP "bercerai" dengan Gerindra, karena PDIP mengusung Jokowi di Pilpres 2014 lalu. Sedangkan Prabowo memiliki hasrat cukup besar mengikuti kontestasi Pilpres tersebut. Sejarah sudah mencatat, Jokowi dan Prabowo saling berhadapan di Pilpres 2014, dan kemenangan pun diraih Jokowi bersama Jusuf Kalla (JK).

Terhitung sejak persaingan antara Jokowi dan Prabowo, tak ada lagi pujian dan sanjungan kepada Jokowi yang keluar dari NSD. Semuanya berubah menjadi cacian dan berita-berita miring yang sangat merugikan Jokowi. Apapun hal baik yang dilakukan Pemerintahan Jokowi, tak ada menjadi baik di mata NSD.  NSD dalah mantan wartawan, tentunya  memiliki jejaring yang cukup luas soal pemberitaan.

NSD dan BPK tetap setia bersama Prabowo. Keduanya terus mengikuti perjalanan politik Prabowo, baik di Pilkada DKI 2017 maupun di Pilpres 2019. Keduanya begitu diandalkan dalam hal pemberitaan, khususnya pemberitaan yang mendukung sosok idolanya itu. 

Dalam menghadapi Pilpres 2019, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Uno menempakan Nanik S Deyang  sebagai Wakil Ketua,  sedangkan BPK sebagai Wakil Direktur Komunikasi dan  Media.

 

Keterkaitan hoax yang membawa seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet berurusan dengan Kepolisian, tentu tak bisa dilepaskan dari sosok NSD. Karena itu, pihak Polda Metro Jaya pun akan memeriksa NSD.

Sekali lagi, sebelum saya akhiri tulisan singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa benar bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari makhluk-makhluk lain yang diciptakan Tuhan. Jangan karena sudah berbeda pilihan, jangan lantas kita hujat habis-habisan, bahkan dicari-cari segala kelemahan yang ada, hingga akhirnya harus menggali hal yang mengada-ada. 

Semuanya untuk menjatuhkan. Semuanya untuk kekuasaan yang sementara. Hubungan yang dahulu manis, kenapa harus diakhiri dengan kepahitan, karena pilihan politik yang sudah lagi tak sejalan. Silahkan Anda menelusuri jejak digital dari NSD, baik ketika masih mendukung Jokowi maupun setelah berseberangan dengan Jokowi. 

Kalau begitu adanya, bukankah kita justru mewarisi "rasa dendam" untuk generasi selanjutnya?

***