Jokowi Adalah SBY dengan Revisi Sana-Sini [2] Belenggu Oligarki yang (Makin) Tak Termaafkan

Belalah Jokowi secara wajar, karena itulah cara menghormati sebaik-baiknya. Hingga kita bisa memberi kesempatan siapa pun penggantinya kelak melanjutkan dan menyempurnakan apa yang telah dimulainya!

Kamis, 11 November 2021 | 07:23 WIB
0
157
Jokowi Adalah SBY dengan Revisi Sana-Sini [2] Belenggu Oligarki yang (Makin) Tak Termaafkan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo (Foto: Kompas.com)

Menuliskan lanjutan serial ini, di masa ketika Jokowi sedang dalam puncak "kejayaan"-nya. sungguh tak mudah. Media dalam dan luar negeri mengapresiasinya secara luar biasa. Tak kurang Emmanuel Macron, Sang Presiden Perancis mendadak bisa bahasa Indonesia. Bahasa tubuh para pemimpin negaara G-20, tak bisa dipungkiri menunjukkan rasa hormat yang tak dibuat-buat untuk Jokowi.

Mungkin inilah yang disebut "mestakung", semesta mendukung. Sebagaimana fenomena lain yang selalu menyertai Jokowi. Kok ya ndilalah Asian Games 2018 lalu, kita bisa balik ke empat besar di Asia. Tahun ini Thomas Cup tiba-tiba bisa balik lagi setelah sekian belas tahun. Tak ada satu pun yang berani bersikap kritis secara jujur. Bahwa terpilihnya Jokowi sebagai Ketua KTT G-20 adalah suatu pergiliran belaka.

Pertanyaannya, jika tiba-tiba Jokowi berhalangan tetap apakah Pak Tua yang menggantikannya itu akan memperoleh sambutan yang sama? Mau kasih jawaban saja, kita pasti tak tega to.

Di sisi lain, situasi ironik terjadi. SBY justru tiba-tiba mengabarkan dirinya terdiagnosa kanker prostat. Ia justru malah ngeriwehi Jokowi, karena harus telpon dan pamit. Berobatnya pun tak sebagaimana ia memperlakukan istrinya, yang menderita sejenis penyakit yang sama. Tapi hanya berobat ke Singapura, sedangkan dia sendiri memilih pergi Ke Amerika. Di sebuah rumah sakit yang barangkali paling populer di dunia yang dinamakan Mayo Clinics.

Kok di situ? Kenapa dulu Bu Ani tak dibawa ke tempat perawatan kanker terbaik di dunia? Saya bisa bercerita banyak tentang teks ini, tapi sudahlah anggap saja wajar. Dia kan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat USA Cabang Indonesia...

Tapi adakah yang menelisik betapa di luar Sri Mulyani dan Retno Marsudi, anggota delegasi Indonesia ke KTT G20 yang lainnya kelihatan sekali lebay dan celelekan-nya. Lihat tingkah polah Ketua Partai Golkar yang malah sibuk selfa-selfi dengan kepala negara anggota Kelompok G20, yang saya yakin tak mengenalnya. Partai ini dan anak turunnyalah yang perilaku oligarkisnya tak berubah. Ia tak pernah lagi berkuasa, tapi tingkah polahnya menunjukkan mereka ini adalah benalu, yang hanya bisa hidup dari ndompleng pada siapa pun yang berkuasa.

Mereka yang pandai memanfaatkan semua celah kesempatan, bahkan dalam kesempitan sekali pun. Dan di masa pandemi, hal tersebut makin menjadi-jadi.

Contoh paling menjijikkan buat saya adalah fenomena gunung es, saat seorang artis bernama Rachel Vanya yang kabur dari karantina. Dan kita hanya peduli pada pelanggaran yang dia lakukan! Bukan pada dalam teks dan konteks apa, ia pergi ke luar negeri. Kita tak peduli bahwa ia ada dalam program absurd yang diinisiasi oleh menteri milenial, yang kemarin gagal jadi wakil presiden itu.

Si artis ini berada dalam rombongan besar mereka yang dianggap duta Indonesia yang diberangkatkan ke Amerika atas biaya negara, dari uang yang diambil dari pajak rakyat. Hanya untuk menjadi cheer leader, penggembira dalam acara peluncuran figur-figur artis Indonesia dalam sebuah penayangan video di billboard di kota New York.

Apa yang dimana pun, hal tersebut lazimnya dilakukan oleh perusahaan swasta yang merasa artisnya memang pantas dibiayai publikasinya. Lah ini, tiba-tiba negara tiba-tiba ikut berkepentingan mempromosikan artis-artis yang barangkali "salah masuk pasar".

Ini sungguh negara gila, dimana artis-artis yang bahkan tak memiliki prestasi dan reputasi apa-apa, tiba-tiba diajak jalan-jalan ke luar negeri. Hanya untuk bersorak-sorai, berhaha-hihi. Dibiayai tinggal di hotel mahal, diberi perdiem dan ongkos yang pasti sangat banyak. Dan bagian tersialnya, ketika mereka pulang dibiayai untuk karantina di hotel berbintang yang mahalnya minta ampun itu. Dan mereka kabur juga untuk urusan pesta-pesti di Bali. Di mana moralitas semua orang yang ada dalam lingkaran proyek ini? Di saat pandemi seperti ini!

Mau bukti lain? Betapa pembiaran kelakukan para oligarkis ini sudah sedemikian keterlaluan.

Ketika masyarakat mulai bernafas lega, pandemi teratasi. Tapi tiba-tiba diwajibkan Test PCR yang biayanya sangat mahal itu! Betul memang sudah semakin dimurahkan, tapi bukankah hal tersebut justru mengungkapkan fenomena gunung es yang lain. Bahwa harga test tersebut tidaklah semahal yang selama ini di-price list-kan. Bahwa siapa pun yang berada di lingkaran bisnis kesehatan itu jahat, tanpa pandemi pun semua orang juga sudah tahu.

Tapi ketidakberdayaan semua pihak, hanya menguatkan tuduhan bahwa sesungguhnya yang berkuasa adalah kaum oligarki itu.

Dalam konteks ini, saya yakin Jokowi sudah berusaha sekuat tenaga mengatasinya. Tapi bukankah, justru mereka-mereka inilah yang diperlukan Jokowi untuk menjalankan pemerintahannya. Semua perihal ini, bisa terjadi karena Jokowi gagal memenuhi janjinya sendiri untuk "memimpin tanpa beban". Tampak sekali, ia justru makin terbebani dengan segenap prestasi yang dicapainya. Yang sesungguhnya sebuah kewajaran belaka bagi orang yang mau bekerja secara wajar.

Ia sesungguhnya adalah orang wajar di tengah ketidakwajaran. Orang biasa dalam masyarakat yang tidak pernah bisa jadi biasa lagi! Itulah kenpa ia adalah paradoks sepanjang masa kekuasaannya!

Persoalan terbesarnya selalu saja sama: Kepala Negara selalu memimpikan dan menjanjikan kemajuan, sedangkan figur-figur di sekitarnya hanya terobsesi pada kekuasannya. Bahwa hanya dengan pedang kekuasaan yang bisa membuka banyak jalan. Mereka akan selalu membolak-balik kemajuan dan kekuasaan, seolah-olah keduanya ibarat ayam dengan telurnya. Siapa yang lebih penting dihadirkan. Tampak ribet, tapi sesungguhnya bukan di situ persoalannya, yang tetap adalah sikap imperialistik dan fatalistik mereka.

Kemajuan boleh asal menguntungkan, pun mereka akan menetapkan harga yang sama saat terjadi kemunduran. Bahasa sederhananya, kanan kiri, maju mundur, depan belakang ilmunya untung!

Dalam konteks ini, saya ingin mengkoreksi latah yang kaprah bahwa yang abadi adalah perubahan. Tak sepenuhnya salah, tapi yang lebih tepat dalam konteks Indonesia yang abadi adalah siklus. Apa yang dipahami sebagai roda berputar atau cakra manggilingan.

Jokowi bisa hadir, terutama karena periode kedua SBY itu jelek sekali. Sedemikian jeleknya, tapi masih tetap bisa bertahan sampai selesai. Jadi tak ada sedikit pun kekhawatiran yang sama bahwa Jokowi bisa dijatuhkan dengan dalih apa pun. Apalagi hanya oleh parlemen jalanan yang berisi dan diinisiasi segerombolan orang sakit. Sudah tak relevan lagi, kita menanggapi cebong-kampret, kadrun, taliban, atau apapun itu. Mereka telah lama tiarap, bukan oleh perlawanan kita. Tapi terutama akan kebodohan dan kesombongan mereka sendiri.

Tugas kita justru melakukan oto-kritik kepada Jokowi, agar ia tak terjebak pada situasi yang tampak terlalu sempurna. Kita juga harus menyadari kekurangannya. Agar, siapa pun penggantinya bisa berbuat lebih baik lagi!
Lah ini, malah dipuja-puji tanpa henti, kekurangannya disembunyikan, dimaafkan, bahkan dibelai secara ngawur.

Jokowi tak butuh, apalagi negeri ini! Mereka yang bermimpi Jokowi tiga periode itu justru sama jahatnya (atau minimal sama dungunya) dengan kaum oligarkis yang telengas itu. Mereka tak akan pernah peduli pada korupsi, manipulasi, mereka ini orang yang dalam konteks budaya Jawa ora eling lan waspada. Dan himpunannya makin makin besar dan terus membesar,,,,

Silahkan ninabobokkan negeri ini dengan puja-puji dan personalisasi yang berlebihan. Saya haqul yakin itu justru mendorong kita pada perputaran roda ke bawah pada siapa pun besok yang akan menggantikan Jokowi....

Belalah Jokowi secara wajar, karena itulah cara menghormati sebaik-baiknya. Hingga kita bisa memberi kesempatan siapa pun penggantinya kelak melanjutkan dan menyempurnakan apa yang telah dimulainya!

(Berssambung)

NB: Kaum oligarki yang korup itu, saat ini bagi saya persis lagunya Marzuki Muhammad ini. Lagu yang pernah jadi soundtrack film Ada Apa Dengan Cinta 2 Ora Minggir Tabrak. Tiba-tiba para pendukung Jokowi sudah sedemikian jumawa, mereka berperilaku tak lebih seekor celeng. Mereka lupa dari titik mana ia berangkat: kebersamaan, kesederhanaan, dan kerendahan hati.

Apa yang dalam lagu di atas disebut sebagai "laku, lakon, dilakoni kanthi semeleh". Semua dijalani dengan jujur dan berserah diri. Bukannya malah jadi oligarkis yang rakus yang "obah mamah, mingset nggeget, nyikut nggrawut, ngglethak penak". Menangan, tak pedulian, ingin serba enak, intinya lupa diri.

Mbok ya aja! Mbok sing eling!

Tulisan sebelumnya:

Jokowi Adalah SBY dengan Revisi Sana-sini [1] Darimana Datangnya Kekuasaan Itu?