Jokowi Adalah SBY dengan Revisi Sana-sini [1] Darimana Datangnya Kekuasaan Itu?

Jadi salah besar kalau hal itu kita pahami adu baliho itu untuk menjaring minat rakyat, atau meiningkatkan elektabilitas. Mereka-mereka ini sedang menjaring minat para cukong.

Sabtu, 30 Oktober 2021 | 13:47 WIB
0
214
Jokowi Adalah SBY dengan Revisi Sana-sini [1] Darimana Datangnya Kekuasaan Itu?
Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: detik.com)

Walau berasal dari latar belakang yang berbeda, SBY dibesarkan dari lingkungan militer sedang Jokowi dari kalangan bisnis. Keduanya mewakili apa yang dipahami secara kasar sebagai kaum nasionalis. Bahwa kemudian, menjadi beda jalan, karena SBY mendaku sebagai nasionalis-relijius, sedangkan Jokowi sesuai garis partainya adalah nasionalis-kerakyatan. Bagi saya nasionalisme keduanya hanya retorika belaka, nyaris tak ada nilainya sama sekali.

Nasionalisme, jauh sebelum era milenialisme datang. Jauh sebelum globalisasi tiba, sudah lama jadi bahan ejekan di kalangan para pemikir. Ia dianggap diperlukan, tapi tak betul-betul dibutuhkan. Ia telah lama dipersiapkan untuk dibunuh secara perlahan-lahan. Karena itulah, kemudian Barat mengutus (atau lebih tepatnya menyuruh) Arab Saudi sebagai pelopor untuk menyebarkan paham Wahabisme sebagai alat untuk mula-mula meruntuhkan prinsip-prinsip internasionalisme yang dikumandangkan kaum komunis. Hingga kemudian menyingkirkan kaidah nasionalisme dalam konteks sosialisme.

Singkat kata, wahabisme sesungguhnya adalah tangan yang dipinjam oleh Barat (terutama Amerika) untuk di satu sisi melanggengkan imperialisme. Dengan tentu saja di sisi yang lain tidak lagi memberi tempat nasionalisme. Dalam era seperti itulah, kemudian reformasi datang dengan sejuta harapan baik. Namun kemudian SBY justru malah membajaknya.

Mula-mula bagai kentut tak terasa, caranya halus sekali. Bahkan kita mengangkatnya untuk satu periode selanjutnya. Hingga akhirnya bau busuknya tercium dan kita merasa tertipu.

Dan ketika kita sadar, di tahun kedua periode keduanya sudah sangat terlambat. Kerusakan masif sudah terjadi di sana-sini. Dalam konteks ini, pembatasan dua periode memang menyelamatkan bangsa ini. Namun, yang patut disimak dari keduanya adalah persamaan sesungghunya keduanya secara ideologis. Bahwa sesungguhnya keduanya sesungguhnya sangat tidak ideologis. Kalau tak mau dikatakan bahwa keduanya "sama sekali tidak memiliki ideologi".

Realitasnya, pasca masa Reformasi dan makin ke sini makin menjadi. Sebagai ganti ideologi, yang lebih menonjol adalah "imogologi". Ilmu yang tujuannya pada pembentukan image atau citra. Sehingga Megawati, sering melecehkannya dengan apa yang dia sebut sebagai "pencitraan".

Sialnya, Jokowi pun sesungguhnya naik dengan jalan yang sama, walau dengan cara yang berbeda. Walau tentu harus saya catatkan dengan revisi di sana-sini....

SBY sebagaimana kita tahu, bisa naik dengan dengan metode playing-victim. Ia adalah aktor yang sangat menguasai cara tersebut, dan hal tersebut sudah dikuasainya sejak dari muda. Carnya mencari istri, mencari jabatan, mencuri kesempatan. Dengan bermain sebagai korban. Artinya, itu bukan melulu kesalahan Megawati yang menyingkirkannya karena kelakuan dan berbagai manuver politiknya yang culas. Tapi memang demikianlah watak dasar jahatnya.

Saya bisa bercerita panjang lebar bahwa SBY itu tak lebih seorang "Dewa Pembohong" dalam manuskrip buku Orde Los Stang. Tapi apa menariknya bikin buku dengan isi daftar kebohongan? Buat apa? Realitasnya dengan segenap kebohongannya itu, dia bisa dua kali berkuasa tanpa diberhentikan memangku kursi presiden. Karena itu ada baiknya, kita uraikan dulu bagaimana SBY bisa naik. Bahwa semua itu berkat dukungan "triad", tiga kekuatan yang bersatu membela (atau tepatnya membutuhkan jasa) dirinya.

Pertama, Keluarga Cendana dan kroninya. Kroni disini tentu maknanya luas sekali. Mereka-mereka yang senasib, yang kehilangan kekuasaan politik maupun ekonomi di satu sisi, dan di si lain justru dituntut mengembalikan kekayaan mereka yang diperoleh melalui cara korupsi. Mereka ini dipersatukan oleh kucuran BLBI yang merampok uang rakyat. Tentu ini mimpi buruk. Buktinya hingga 10 tahun SBY berkuasa, nyaris mereka tak tersentuh sama sekali.

Kedua, aliran duit Arab dengan jalur penyebarluasan Gerakan Wahabisme. Tentu, alurnya dengan tidak sekedarnya menggerakkan mereka yang terafilisiasi untuk mendukungnya dalam dua kali pilpres. Realitasnya, gerakan ini tak bisa dipungkiri sukses besar. Kurikulum sekolah negeri dari pendidikan dasar hinggan perguruan tinggi, nyaris terjangkiti efeknya. Lingkaran ASN, BUMN, bahkan dalam batas-batas tertentu militer terjangkiti paham ini. Sehingga sejak itu wajah Indonesia tak lagi sama.

Ketiga, tentu saja sangat jelas terlihat dari pemilihan nama partai yang mengusungnya: Demokrat. Ia terafiliasi dengan jaringan kepentingan ekonomi-politik Amerika yang memang berkepntingan terus mempertahankan hegemoninya di wilayah ini. Dengan point terpenting Freeport sebagai tambang cadangan emas terbesar negara ini. Terbukti, demikian alotnya perundingan antara kedua institusi ini untuk sedikit saja memberi keuntungan bagi Indonesia sebagai pemilik wilayah.

Dengan himpitan ketiga kaki ini, hebatnya SBY bisa terus melangkah sampai dua periode. Padahal, kalau kita simak betul, ia tak lebih "bapak-nya". Yang suka menggunakan jurus subsidi yang diperoleh dari berhutang untuk meninabobokkan rakyatnya. Jadi, jika watak "pengeluh, peminta, pengemis" dari bangsa ini di hari ini itulah legacy terbesar dari presiden ini.

Sedang Jokowi, juga menggunakan jalan pedang imogologi. Bedanya memakai metode "blusukan" untuk menarik minat pemilihnya. Blusukan tentu saja bukan barang baru, ia sudah dikenal sejak lama di negeri ini. Dulu semasa Orde Lama dikenal Program Turba atau Turun Ke Bawah, yang diinisiasi oleh gerakan sosialis-komunis. Blusukan, hanya sebuah pembaruan istilah untuk menunjukkan bahwa ia seolah tak terprogram, lebih impulsif dan penuh improvisasi. Suatu hal yang tak mungkin dilakukan oleh SBY.

Namun apakah hal tersebut dapat dianggap faktor kecukupan? Tentu tidak! Tanpa dukungan dana yang melimpah, hal tersebut tak akan berguna. Di sinilah, peran apa yang disebut sebagai "Sembilan Naga". Kongsi pengusaha Tionghoa yang berada di belakang Jokowi. Sebuah beban yang tak pernah lekang ditiupkan musuh politiknya kepadanya. Nyaris sampai besok jabatannya berakhir, bahkan mungkin lama setelahnya. Sebuah penyederhanaan yang aneh, ketika ia dipelintir sebagai antek komunis atau berdarah Cina. Sesuatu yang ngawur dan jelas melantur....

Itulah cara mengenang yang aneh dari para pembenci Jokowi. Lalu kemana berpaling Si Triad itu? Ya tentu saja, kepada rival Jokowi yaitu Prabowo Subianto. Jadi agak aneh juga, bahwa nyaris kedua-dua mereka, SBY dan Prabowo itu tak pernah bisa akur. Padahal kan cukongnya sama. Dan yang lebih ajaib lagi, di periode keduanya PS dirangkul masuk ke dalam jajaran kabinet Jokowi. Itu sungguh sekedar mempermalukan SBY sesungguhnya.

Apa moral dari bagian pertama tulisan ini. Bahwa walau pun, keduanya pada akhirnya sama-sama jadi naik jadi presiden, tak terlalu salah keduanya sekedar dianggap "Petugas". SBY lebih banyak tugasnya: petugas keluarga besarnya yang onoh, petugas menghidayahkan Indonesia, dan tentu saja petugas Partai Demokrat Amerika Cabang Indonesia. Sedang, Jokowi lebih sederhana ia hanya Petugas Partai PDI-P. Bahwa ada konglomerasi hitam di belakangnya, ya itu urusannya Si Ibu itu saja....

Jokowi, sebenarnya merevisi betul beban-beban yang terlampau banyak itu. Sebagian bebannya itu, diatur dan ditanggung oleh Megawati. Sesuatu yang harus ia bayar mahal bahwa ia dianggap sebagai Petugas Partai.

Beda dengan SBY, ia menyederhanakan cara memandang kekuasaannya. Tampak tak terlalu butuh, merasa lebih bebas di era keduanya. Tapi anehnya justru komprominya jatuhnya terlalu banyak. Dari sisi lain, harusnya kita mudah memahami kenapa SBY jadi lebih mudah jatuh "prihatin", karena memang beban tanggungannya lebih banyak.

Jokowi dan SBY itu sesungguhnya jalan naiknya sama saja! Bekalnya imogologi, pencitraan. Jadi kalau banyak juga program yang lebih elementer dibutuhkan malah tak jalan, salah satu yang terpenting adalah Revolusi Mental. Ya wajar saja! Kalau pilihannya adalah pembangunan kontruksi dimana-mana, ya wajar juga,. Itu yang paling gampang diberitakan dan disorot kamera.

Imogologi adalah sesuatu yang sekarang ditiru habis oleh mereka yang berambisi menggantikannya. Bukan dengan cara yang lebih mulia dan elok, tapi sekedar pasang baliho di mana-mana. Itulah mungkin makna: guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Apakah mereka tak sadar sedang kecing berlari? Sesekali tanyalah pada mereka itu, kemana larinya duit yang mereka korupsi. Jawabannya adalah belanja citra.

Jadi salah besar kalau hal itu kita pahami adu baliho itu untuk menjaring minat rakyat, atau meiningkatkan elektabilitas. Mereka-mereka ini sedang menjaring minat para cukong. Cukong yang pasti kebingungan memilih satu dari mereka yang sama sekali tak ada yang valuable itu!

Pokoke aja gelem diapusi! Jangan mau ketipu lagi....

(Bersambung)

***