Lockdown Ibu Kota

Lockdown Jakarta ini harus menghasilkan perubahan besar dalam struktur masyarakat kita. Kalau 50 rumah dianggap terlalu kecil bikinlah 100. Atau berapa saja.

Minggu, 12 April 2020 | 06:55 WIB
0
344
Lockdown Ibu Kota
Lockdown Jakarta (Foto: Disway.id)

Pasti banyak orang sudah menerima kiriman humor ini:

Sejak harus tinggal di rumah saja, alhamdulillah, istri ada peningkatan. Hari pertama bisa jualan kalung. Hari kedua jualan kulkas. Hari ketiga jualan TV. Hari keempat bingung: gak ada lagi yang bisa dijual.

Lucu. Meski terlalu didramatisasi.

Istri yang sudah punya kalung, kulkas dan TV, biasanya punya tipe suami yang ingin membahagiakan istri.

Suami seperti itu, biasanya, otaknya jalan. Di-PHK di satu perusahaan segera cari pekerjaan lain. Tidak dapat pekerjaan pengganti berpikir lain lagi: jual jasa.

Yang sulit itu yang harus di rumah saja sambil tidak ada perabotan apa pun yang bisa dijual.

Suami di rumah seperti itu biasanya sulit berpikir. Tidak bisa melihat peluang --apalagi membuatnya. Yang ia lihat hanya apa yang di depan mata.

Mereka ini tidak pernah berlatih mencari pilihan-pilihan untuk hidup. Biasanya juga kurang ringan kaki. Itu bukan salah mereka.

Lingkunganlah yang menciptakan begitu.

Yang seperti itulah yang harus dibantu secara menyeluruh. Agar tetap bisa hidup --sambil menunggu generasi anak mereka. Atau sambil menunggu krisis berlalu.

Hanya ekonomi makro yang bergairah yang bisa membuat mereka hidup sendiri. Begitu ada krisis mereka hanya pasrah. Bersandar pada nasib. Tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Makro ekonomi yang bagus yang bisa menyelesaikan persoalan mereka --bukan bagi-bagi bingkisan.

Ups... Maaf. DI's Way hari ini khusus untuk pembaca di Jakarta. Yang sejak Jumat malam lalu menjalani hidup lockdown. Orang Jakarta tidak boleh keluar rumah.

Bagi pembaca di luar Jakarta, berhentilah membaca. Tidak ada manfaatnya.

Di Jakarta, bagi yang masih punya kalung, kulkas, dan TV jangan keburu dijual dulu. Harganya lagi jatuh.

Kalau benar-benar memang tidak ada lagi pekerjaan, masih akan ada pilihan. Kalau benar-benar tidak ada pilihan cobalah yang satu ini:

Datangilah 50 rumah di sekitar rumah Anda. Boleh juga dihubungi lewat telepon. Atau WA. Perkenalkan diri Anda baik-baik: siapa Anda, yang mana rumah Anda.

Lalu bertanyalah apa saja keperluan yang harus mereka beli dalam seminggu ke depan.

Kalau mereka sudah telanjur belanja, tanyakan kebutuhan minggu depannya lagi.

Maka Anda akan mendapat daftar keperluan 50 rumah di sekitar Anda.

Anda jangan berniat berdagang. Jangan berniat bisnis. Jangan berniat cari keuntungan. Jangan mengail di air keruh.

Ikhlas. Ikhlas. Ikhlas.

Niatnya adalah mengatasi persoalan bersama. Mencari jalan keluar bersama. Menjalin kerukunan. Jangan pedulikan agama mereka atau suku mereka.

Anda jangan kulakan sendiri. Anda tidak boleh ke mana-mana. Semua orang kan tidak boleh keluar rumah.

Kerjakan dari rumah. Carilah vendor untuk semua keperluan tadi lewat online. Carilah tukang sayur, tukang kelontong, tukang sembako.

Bentuklah grup WA untuk 50 rumah itu. Maka jadilah 50 rumah tersebut menjadi satu tetangga yang saling terhubung. Menjadi seperti di desa dulu.

Suami yang istrinya punya kalung, kulkas, dan TV pasti mampu melakukan itu. Kalau toh merasa tidak mampu hanya karena belum pernah mau mencoba saja.

Cobalah kali ini. Pasti bisa. Situasi saat ini lagi ada kebutuhan bersama.

Jangan bentuk organisasi. Jangan bicara struktur. Langsung masuk ke persoalan. Langsung atasi kebutuhan.

Yang suka membentuk organisasi biasanya tidak bisa mengisi. Yang pandai mengisi akan mendapat sendiri organisasi.

Istri yang punya kalung, kulkas, dan TV pasti mampu membantu suami untuk menyukseskan pekerjaan rintisan itu.

Anda jangan pernah minta uang dari tetangga itu. Biarlah masing-masing membayar sendiri. Jangan sok menjadi koordinator. Lalu minta mereka membayar ke Anda.

Itu akan menjadi bencana. Ibarat sebuah rumah, bangunannya sudah roboh sebelum didirikan.

Kenapa bukan pak/bu RT saja yang melakukan itu?

Baik juga kalau Pak/Bu RT melakukannya. Tapi tidak harus. Siapa tahu pak/bu RT-nya orang sibuk.

Akan lebih baik kalau berada di luar struktur apa pun. Mandiri, independen, natural.

Lockdown Jakarta ini harus menghasilkan perubahan besar dalam struktur masyarakat kita. Kalau 50 rumah dianggap terlalu kecil bikinlah 100. Atau berapa saja. Tapi jangan lebih dari 100. Nanti akan terjerat persoalan rentang kendali.

Kalau bukan untuk bisnis dari mana dapat uang? Agar kalung, kulkas, dan TV tidak perlu dijual?

Percayalah bisnis akan datang sendiri. Mungkin tidak hari itu. Tapi tidak akan lama. Ada rahasia bisnis di balik keikhlasan, ringan kaki, dan pribadi yang bisa dipercaya.

Itu kita bicarakan lain kali.

Sekali ini, please, semua komentar ditiadakan. Kolom komentar hari ini hanya untuk pembaca yang punya ide: apa yang bisa dikerjakan selama orang Jakarta tidak bisa keluar rumah.

Boleh saja menyempurnakan ide saya itu. Atau ide baru yang beda sama sekali.

Harap cebonger dan kampreter puasa komentar negatif sehari ini.

Mereka itu pada dasarnya orang yang kreatif dan penuh antusias. Kalau tidak antusias bagaimana bisa terus berjuang bertahun-tahun --bahkan sampai yang dibela sudah berpelukan.

Hanya orang kreatif dan antusias seperti cebonger dan kampreter yang punya potensi untuk maju. Antusias. Antusias. Kunci kemajuan. Kunci perkembangan.

Saya rela mengoreksi ide itu kalau ada yang lebih baik. Saya begitu bersandar pada mereka yang bisa menjadi salah satu suami yang bisa membelikan istri kalung, kulkas dan TV.

Dahlan Iskan

***