Jokowi dan Perppu

Dalam kultur Jawa, Raja dituntut berperan sebagai penjaga keselarasan untuk mencapai tatatentreming praja. Namun bukan berarti Jokowi menolerir keberadaan matahari kembar.

Jumat, 8 November 2019 | 21:17 WIB
0
393
Jokowi dan Perppu
Presiden Joko Widodo (Foto: Facebook Presiden RI)

Pernyataan Jokowi yang tidak akan menerbitkan Perppu di saat uji materi hasil revisi UU KPK sedang bergulir di MK direspon keras Bivitri Susanti. Bagi Bivitri, alasan menghormati proses hukum yang sementara berlangsung hanya excuse bagi Jokowi yang sejatinya memang tidak menginginkan terbitnya Perppu. Argumentasi Bivitri ada benarnya, hanya saja menyimpulkan seakan sikap Jokowi sudah final terkait Perppu mengabaikan genre politik Jokowi yang selalu menunggu momentum yang tepat sebelum menentukan sikap.

Menyangkut Perppu semua mafhum, Jokowi terjepit. Dukungan banyak pihak terhadap hasil revisi UU KPK, terutama DPR yang dengan sangat baik direpresentasikan oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon membuat Jokowi harus ekstra hati-hati. Mengabaikan suara mayoritas orang partai berpotensi menghadang rencana strategisnya di parlemen, pasalnya kebutuhan investasi infrastruktur dalam RPJMN 2020-2024 sebesar Rp6.400 triliun mengalami peningkatan signifikan dibanding 2015-2019 sebesar Rp5.452 triliun.

Sementara desakan publik lewat demonstrasi menuntut Perppu membuat Jokowi harus mewaspadai potensi caos yang bisa terjadi setiap saat. Situasi dilematis ini yang membuat Jokowi kembali merapal mantra kuno, "makan bubur panas-panas mulai dari pinggir". Strategi mendayung di antara dua jebakan ini yang oleh Bivitri Susanti dibaca sebagai wujud keengganan Jokowi menerbitkan Perppu.

Apakah Jokowi tidak pro pemberantasan korupsi, lantas bermaksud melemahkan KPK dengan tidak segera menerbitkan Perppu?

Jokowi menyadari korupsi menggerogoti anggaran pembangunan sehingga tidak pernah ngotot mempertahankan menterinya yang sudah berstatus tersangka misalnya. Hanya saja Jokowi menunggu yang bersangkutan sendiri yang mengajukan penguduran diri. Jejak berpolitik Jokowi yang selalu memilih bermain aman tidak lepas dari karakternya sebagai penghayat budaya Jawa, "Lamun siro sekti ojo mateni, lamun siro banter ojo ndhisiki, lamun siro pinter ojo minteri," adalah filosofi Jawa yang diunggah Jokowi di akun media sosialnya.

Dalam kultur Jawa, seorang raja dituntut berperan sebagai penjaga keselarasan untuk mencapai tatatentreming praja. Namun bukan berarti Jokowi menolerir keberadaan matahari kembar dalam pemerintahannya. Jokowi selalu mengingatkan, terutama pada pembantunya bahwa tidak ada visi menteri, tugas menteri hanya mensukseskan visi presiden.

Jokowi melihat negara seperti keluarga besar yang harus selalu rukun, harmonis dan tanpa konflik, serupa dengan konsep negara integralistik yang diperkenalkan Soepomo yang ide dasarnya digagas Spinoza, Adam Muller dan Hegel. [Mengenai pandangan negara integralistik dibahas dengan sangat bagus dalam buku Marsillam Simanjuntak].

Namun muara dari semuanya, Jokowi ingin memuluskan Proyek Strategis Nasional-nya yang hingga akhir masa jabatannya baru rampung 46%. Perspektif ini yang bisa menjelaskan mengapa Susi Pudjiastuti yang walaupun memiliki reputasi mondial takkan mampu bertahan di kabinet Jokowi jilid 2 karena dianggap tidak tertib dalam menjalankan visi presiden. Susi Pudjiastuti terlalu kontroversial dan selalu bikin rusuh. Kebijakannya soal moratorium penggunaan cantrang, terutama kebiasaan menenggelamkan kapal asing pelaku illegal fishing tidak senada dengan karakter Jokowi yang tidak menyukai kegaduhan.

Strategi merangkul lawan politiknya dengan mengajak Prabowo dalam kabinet setarikan nafas dengan upayanya mempertahankan perahu Koalisi Indonesia Kerja yang mulai retak oleh tingkah Surya Paloh yang main mata dengan PKS. Keberadaan institusi wakil menteri juga bisa dibaca dalam konteks politik akomodatif.

Meraba ke arah mana kebijakan Jokowi terkait Perppu tidak bisa dilihat semata problem hukum, atau direduksi sebagai pro-kontra masalah penyadapan. Isu Perppu terkait secara integral dengan isu yang lebih besar, visi-misi pembangunan Jokowi 5 tahun ke depan. Memahami agenda ekonomi dengan prioritas pembangunam infrastruktur strategis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang dicanankan sejak periode pertama pemerintahannya memudahkan publik menebak sikap Jokowi terhadap isu krusial seperti Perppu.

Hal yang sama berlaku terhadap isu penegakan HAM masa lalu, tuntutan permohonan maaf negara terhadap korban tragedi 65, isu HRZ dan belakangan cadar dan celana cingkrang. Terhadap kasus yang berpotensi mengganjal laju pembangunan, Jokowi selalu memilih 'menunggu' sembari berharap isu tenggelam oleh kehadiran isu baru. Atau pada akhirnya memilih akomodatif pada kekuatan politik yang berpotensi menciptakan turbulensi serta distabilitas sosial maupun politik.

Isu kedekatan Jokowi dan posisi dominan China sebagai investor lebih mudah dimengerti sebagai variabel penting pendukung ideologi developmentalisme tinimbang lewat pendekatan politik identitas.

Kebijakan ekonomi Jokowi tak berbeda dari para pendahulunya pasca Soekarno. Developmentalisme mensyaratkan stablitas sosial dan politik untuk berjalan efektif. Soeharto menjalankannya dengan tangan besi, membungkam lawan politiknya, melakukan kanalisasi terhadap elemen masyarakat sipil dan menolak oposisi. Sementara Jokowi hidup di era reformasi dengan meknisme kontrol yang luar biasa dari publik, terutama media sosial dengan sosok Prabowo sebagai icon perlawanan.

Akibatnya, Jokowi harus memutar otak untuk memperoleh dukungan publik. Keterbelahan publik akibat Pilpres memaksa Jokowi melakukan politik akomodatif untuk memuluskan visinya. Problem utamanya, Jokowi dan nyaris semua pihak masih melihat developmentalisme sebagai panasea memberantas ketertinggalan, keterbelakangan serta kemiskinan. Padahal jejak developmentalism di masa orde baru meninggalkan kerusakan lingkungan serta kehancuran demokrasi. Model big push dengan teori trickle down effect yang dioperasikan dengan efektif Soeharto justru terbukti menciptakan jurang yang menganga di tengah masyarakat.

Politik akomodatif yang sedang dipertontonkan mengingatkan pada watak kekuasaan yang memiliki kecendrungan korup dan bersifat ekspansif hingga dibutuhkan oposisi yang tangguh. Pembelotan yang dilakukan Prabowo sebagai icon oposisi akan berakibat pada makin melemahnya check and balances terhadap kekuasaan. Sebaliknya kita tidak bisa menyerahkan peran oposisi pada mereka yang mengedepankan politik identitas sebagai jalan keluar setiap masalah. Demokrasi kita sepertinya kembali merapuh.

***