Jokowi Belajar dari Hillary, Menyerang untuk Menangkis

Kamis, 21 Februari 2019 | 21:42 WIB
0
470
Jokowi Belajar dari Hillary, Menyerang untuk Menangkis
Hillary Clinton (Foto: Tribunnews.com)

Usai debat kemarin, Wapres JK mengatakan, kalau sekarang Jokowi mengubah pola pendekatan di dalam bersikap politik. Belajar dari pengalaman Hilarry Clinton yang hanya bertahan dari serangan Donald Trump. Hal ini ternyata pengulangan dari pernyataan JK akhir tahun lalu. Satu yang sama, bagaimana ini adalah sikap demi kemenangan Jokowi.

Akhir tahun lalu, JK menasihati timses JK-KHMA untuk tidak terbuai dengan hasil survey dan merasa di atas angin dan terlena. Pengalaman pemilu di USA dan pilkada DKI tentu menjadi pelajaran berharga, bahwa survey jelas bukan kemenangan yang sesungguhnya. Masih dalam taraf asumsi dan perkiraan, jelas hasilnya belum sepenuhnya demikian itu.

Dalam konteks pilkada DKI, JK menyiyalir jika pemilih banyak yang tidak datang dan kemenangan ala survey itu tidak terbukti. Konteks berbeda, namun bahwa nasihat ini perlu menjadi perhatian yang serius karena kondisi lapangan bisa saja terjadi. Terutama pemilih  untuk tetap datang dan menggunakan hak pilihnya dengan penuh tanggung jawab.

Pernyataan kedua jauh lebih tepat dan mengena, ketika JK menyatakan pertahanan terbaik itu menyerang. Ada beberapa hal yang layak menjadi bahan ulasan mengenai hal ini.

Sebelum masuk  masa puncak kampanye seperti  hari-hari ini, beberapa kali pernyataan Jokowi cukup memanaskan  kancah perpolitikan. Istilah gendruwo dan sontoloyo, cukup  membuat politikus yang selama ini merasa di atas angin dengan perilaku seenaknya, kaget. Ingat sepanjang prapilpres 2014 hingga awal 2018, mereka bisa melakukan banyak hal yang sering di luas batas kepantasan.

Sikap tegas dan keras, meskipun dengan nada yang normatif, telah membuat politikus yang berseberangan tetap kaget dan merasa ada sikap yang cukup berbeda, dan itu perlu cara lain. Mirisnya mereka ternyata terlalu asyik memandang sebelah mata Jokowi yang akan dinilai sama dengan pilpres kemarin.

Kondisi yang cukup berbeda dengan 2014. Mengapa demikian? Posisi  Jokowi dulu adalah sama-sama calon dengan capres lain. Sikap apapun itu tidak penting dan berpengaruh bagi keberadaan calon presiden. mengambil sikap diam, mengalah, dan membiarkan hal yang tidak penting, dengan mengatakan, aku ra papa. Hal yang justru menjadi daya tarik luar biasa.

Pilpres 2019 jelas berbeda dengan kedudukan Jokowi sebagai incumbent, yang harus menjaga wibawa sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam arti tertentu toh penegak hukum dengan segala perangkatnya bisa dan boleh berupaya menegakan hukum dan itu dilindungi perundang-undangan yang sah. Dan hal ini yang abai disadari kelompok yang mengaku diri sebagai oposisi dan hanya mampu mendendangkan kriminalisasi, padahal mereka salah sendiri.

Politik itu jelas mencari kemenangan. Menang yang elegan, berkelas, dan berkualitas itu yang menjadi pembeda. Menyerang itu tidak salah dan melanggar hukum, ketika memang itu berdasarkan fakta, bukan fitnah, hoax, dan asal menjatuhkan rival.  Beberapa kali menusuk dengan pernyataan yang dianggap sebagai serangan personal.

Mengenai kegagapan capres 02 menjawab soal unicorn, bagaimana dianggap sebagai menjebak dan membuat capres mereka menjadi bahan tertawaan. Lebih mengerikan mana dengan narasi sekarang yang dikembangkan mengenai kemampuan bahasa Inggris yang rendah. Atau mereka sudah lupa kalau pernah meminta menantang debat dengan bahasa Inggris? Lebih memalukan dan merendahkan mana coba?

Atau soal mengungkap capres mereka sebagai pengusaha yang memiliki penguasaan lahan ratusan ribu hektar itu? Apakah mereka lupa atau amnesia, ketika mereka mengatakan Jokowi komunis, anggota PKI, dan meminta test DNA segala? Coba bayangkan nalarnya di mana? Komunis dengan test DNA kemudian malah kini ketika dalam konteks resmi, dalam koridor tema malah ngambeg dan melebar ke mana-mana.

Ternyata tidak cukup hanya sampai di sana. Tim dan lingkaran utama mereka masih saja nyinyir dan berteriak-teriak, Jokowi berbohong dan memberikan ilustrasi maaf bodoh.  Pena yang jadi tersangka dan memfitnah sarung, peci, dan seterusnya.

Apa yang dinamai menyerang ini, sebenarnya  cara yang berbeda di dalam menghadapi sikap yang tidak berubah dari rival yang sama. Koalisi 02 lupa, bahwa kali ini cukup berbeda dalam banyak hal.

Jokowi itu sama orangnya, namun berbeda kondisi dan posisi. Mereka masih merasa sama, Jokowi yang tidak berbeda di 2014. Kesalahan mereka yang memang tidak pernah belajar, di lihat dari sikap mereka yang ugal-ugalan, sembrono, dan grusa-grusu. Perilaku ini justru menguntungkan Jokowi.

Sikap mereka yang tidak pernah belajar, termasuk respek pada rival justru membuat mereka pada posisi yang makin sulit. Kesalahan mereka yang tidak diperbaiki, namun malah menyalahkan terus pihak lain, menunjukkan mereka kekanak-kanakan.

Aku rapapa, bukan menjadi cara yang baik kini, di mana serangan kubu sebelah semakin tidak karu-karuan. Konteks yang berbeda. Ternyata cara Jokowi membuat mereka kaget. Dan ini menunjukkan bahwa koalisi 02 tidak siap dengan banyak cara dan rencana.

Satu saja cara mereka, menebar kekacauan dan ketakutan semata. Di sinilah pembeda Jokowi yang mampu menyiapkan banyak cara dan strategi di dalam  menghadapi pihak lain, termasuk dengan calon yang sama sekalipun.

Sikap yang keras, tegas, dan terutama terukur membuat pemilih makin yakin bahwa Jokowi memiliki cara dan perencanaan yang baik bagi masalah yang masih meruyak di negeri ini. Apa yang dilakukan baik dalam debat dan juga dalam bersikap masih cukup wajar. Masih ada sikap respek dan menghormati rival sebagai rekan yang pantas dihormati.

Menangkis dan termasuk menyerang jelas masih boleh. Bagaimana bisa ketika debat tidak boleh menyerang, lha klompencapir saja ada babak rebutan, saling mengalahkan kog. Ini level debat calon presiden. Ingat,  level calon presiden, memang satunya adalah presiden. Di dalam panggung itu semuanya capres. Dan di sanalah kesempatan untuk memaparkan kemampuannya, ide, gagasan, dan rencana kerjanya untuk lima tahun ke depan.

Susah diterima nalar waras ketika usai debat masih riuh rendah dengan tuduhan yang malah jauh dari esensi debat sendiri. Masih bisa diterima akal sehat ketika mengatakan menang ini dan itu. Ketika malah melakukan klarifikasi yang jauh dari  apa yang dibicarakan, ya buat apa?

Sederhana saja sebenarnya, mereka itu mampu meyakinkan publik apa yang hendak dilakukan itu lebih baik dari apa yang sudah dilakukan Jokowi. Jangan kemudian ngamuk dan meradang ketika apa yang sudah diucapkan itu dibuktikan hanya omong kosong. Apa salah ketika menuding kekayaan hanya dikuasai 1% saja, dan ada fakta bahwa yang menyatakan itu ternyata memiliki harta tersebut.

Mengatakan Jokowi hanya plonga-plongo, ternyata calon mereka yang langsung plonga-plongo hanya karena istilah yang tidak diketahui. Nah ternyata menangkis ini dianggap menyerang. Pada dasarnya mereka hanya malu menghadapi kenyataan yang ada di dalam diri mereka sendiri.

Apa yang mereka terima itu adalah apa yang selama ini dilakukan pada Jokowi. Apa yang dilakukan dengan kasar itu kini dialami mereka, dalam kondisi yang lebih bermartabat dan lebih santun. Dalam forum yang resmi.

Sekali lagi, Jokowi lagi, satu periode lagi Jokowi, buat apa beralih pada pilihan yang kekanak-kanakan, tidak siap dengan cara yang berbeda, dan hanya mengandalkan sikap arogan semata.

Salam...

***