Pertanggungjawaban Caleg Gagal Terpilih terhadap Rakyat Pemilih

Sejak awal rakyat pemilih harus berwawasan dan kritis agar surat suara yang dicoblosnya atau aspirasi yang dititipkannya tidak terbuang percuma.

Jumat, 17 Mei 2019 | 23:58 WIB
0
433
Pertanggungjawaban Caleg Gagal Terpilih terhadap Rakyat Pemilih
Sumber gambar ; detiknews.com

Ketika fotonya dicoblos di bilik suara, saat itulah Caleg tersenyum manis. Aaaw!

Senyum si Caleg akan lebih lepas lagi kalau banyak gambar dirinya tercoblos itu mampu mengantarkan dia ke kursi parlemen. Lalu, bagaimana bila tidak berhasil?

Banyak caleg yang mendapatkan suara pemilih sah yang jumlahnya spektakuler, namun mereka tak bisa duduk di parlemen. Jumlah pemilihnya bahkan jauh daripada suara kompetitornya dari partai lain dalam satu Dapil (daerah pemilihan), namun si Kompetitor itu bisa mendapatkan kursi di parlemen.

Ini bukan soal kecurangan. Semua proses berjalan fair dan sah menurut aturan hukum, dari proses pencoblosan di bilik suara hingga perhitungan resmi di KPU. Namun sistem pemilu lah yang membuatnya harus gigit jari dan tersipu malu.

Hal tersebut terjadi karena partai tempat dia bergabung tidak lolosparliamentary threshold (ambang batas parlemen) karena jumlah total suara pemilih partai tidak mencukupi syarat minimal untuk mendapatkan kursi di parlemen.

Bisa juga karena jumlah suara si Caleg masih kalah dengan kompetitornya satu partai dan satu Dapil. Ketika dilakukan perhitungan dengan bilangan pembagi, suaranya juga dengan kalah dengan kompetitor partai lain dalam satu Dapil.

Dapil 1 Jawa Barat yang meliputi Kota Bandung dan Cimahi, pesohor Giring Ganesha (penyanyi) dan Choky Sitohang (presenter tv) mendapatkan suara sangat signifikan, masing-masing 47 ribu dan 20 ribu suara, namun gagal mendapatkan kursi karena partainya (PSI) tidak lolosparliamentary threshold. Hal serupa terjadi pada banyak pesohor di wilayah lain.  Pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawaban para Caleg gagal kepada para pemilih yang sudah menitipkan aspirasi? 

Bila seorang Caleg gagal duduk di parlemen, namun partainya mendapatkan kursi di dapil tersebut, maka caleg tersebut bisa menitipkan aspirasi para pemilihnya kepada rekan satu partai dan satu dapil yang beruntung bisa duduk untuk pekerjaan lima tahun ke depan.

Baca Juga: Caleg Turun ke Masjid, Politisasi Agama?

Aspirasi tersebut bisa dalam bentuk program pembangunan fisik dan nonfisik. Temannya bisa mendapatkan nama, sementara si Caleg gagal berhasil menyampaikan aspirasi pemilihnya. Beban "moral politiknya" kepada para pemilihnya jadi jauh berkurang.

Lalu, bagaimana dengan Caleg gagal yang partainya tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) ? Kalau memang niat, si Caleg masih bisa memenuhi aspirasi pemilihnya. Dengan pengaruhnya yang besar, dia tetap bisa membantu rakyat di dapilnya misalnya melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan di luar parlemen yang melibatkan berbagai pihak. Soal dana itu urusan si Caleg gagal dengan kelembagaan politik dan nonpolitik yang gaetnya.

Namun seringkali juga terjadi, si Caleg gagal kemudian hilang bagai ditelan bumi. Dia kembali ke habitat aslinya, baik itu sebagai pengusaha, artis, olahragawan, dan lain sebagainya, tanpa pernah "menyapa" rakyat di dapilnya. Janji politik dan pesta demokrasi yang usai menjadi tinggal kenangan saja.

Padahal pada pesta demokrasi yang panjang itu, dia membawakan banyak harapan dari para pemilihnya. Jumlah suara yang signifikan, bisa puluhan ribu dan ratusan ribu bukanlah hal yang sepele. Didalamnya memuat hajat hidup orang banyak yang berdimensi moralitas.

Sejatinya, harus ada perjajian tertulis atau tidak tertulis antara rakyat pemilih dan Caleg pada suatu Dapil, baik ketika terpilih atau tidak terpilih. Namun relatif sangat sulit mengingat bahwa model perjanjian seperti itu memiliki konsekuensi yang berat bagi si Caleg bila gagal terpilih, dan dalam perjalannya habis duit dan pamor surut. 

Baca Juga: Kalau Gak Kenal Caleg, Pilih Saja Partainya

Yang bisa dilakukan oleh rakyat pemilih adalah kemampuan membaca niat si Caleg sejak awal dari kiprah sosialnya sebelum menjadi Caleg. Orang yang selalu aktif di ranah sosial, ketika tidak terpilih pun akan tetap suka beraktivitas sosial kemasyarakatan.

Namun bila hal itu tidak pernah dilakukan sebelumnya, maka kecil harapan bagi rakyat pemilih mendapatkan sentuhan sosial si Caleg gagal, sehebat dan terkenal apapun si Caleg. Dia hanya datang ketika butuh suara, dan pergi ketika pesta demokrasi tak membuatnya bisa tersenyum lepas.

Disinilah, sejak awal rakyat pemilih harus berwawasan dan kritis agar surat suara yang dicoblosnya atau aspirasi yang dititipkannya tidak terbuang percuma. Ini merupakan bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat. Lalu, siapa pendidiknya?

***