Mewaspadai Skenario 1965, 1998 dan 2019

Siapa yang menang dalam pilpres, bagi Sang Dalang tidak masalah. Yang penting siapapun yang berkuasa harus semakin tergantung kepada Sang Dalang.

Senin, 20 Mei 2019 | 22:30 WIB
0
1238
Mewaspadai Skenario 1965, 1998 dan 2019
Massa di tahun 1965 (Foto: Gelora News)

Menjelang pengumuman hasil Pilpres tanggal 22 Mei 2019, suhu politik Indonesia kian pengap, sumuk, panas layaknya mendekam di bawah tenda kanopi  yang ditutup rapat. Isu people power yang akan ditandai berkumpulnya massa di Jakarta mengingatkan jargon politik tahun 1965: Jakarta hamil tua!

Bagi penganut teori konspirasi atau perdalangan, jargon politik 1965 itu memiliki titik kemiripan  dengan konstelasi politik sekarang. Dua kekuatan sedang siaga pada front yang berhadapan. Yaitu kubu pro Prabowo yang melabelkan nama Kedaulatan Rakyat berhadap-hadapan dengan rejim Jokowi.

Ibarat pertandingan tinju pro, kedua petinju sudah berada di sudut masing-masing dengan telanjang dada, butiran keringat mulai menyembul, tinggal menunggu gong tanda pertarungan dimulai.

Jargon politik ini pula yang bergaung pada tahun 1998 ketika kelompok gerakan reformasi berada pada front yang berpendelik-pendelikan dengan front rejim status quo Soeharto. Di tahun 1965, dua front yang berhadapan adalah PKI versus militer, khususnya TNI Angkatan Darat.

Pada geger 1965 bukan lagi layaknya pertarungan dua petinju, tetapi sudah seperti perang Baratayuda. Militer  merangkul umat Islam untuk melibas PKI dengan memanfaatkan sentimen ideologis. Juga mengompori mahasiswa dengan memanfaatkan darah mudanya. Merasa keteter dalam pertarungan, PKI berlindung di balik Bung Karno. Sebagai negarawan  yang mencoba ngemong semua elemen bangsa dengan menjadi penengah, Bung Karno akhirnya harus jadi korban.

Tidak berhenti sampai di situ. Warga PNI yang setia kepada Bung Karno juga dimasukkan sebagai PNI Asu yang pro PKI sehingga harus diberangus. RRC, negara yang dekat dengan Bung Karno dalam aliansi antineokolonialisme dan imperialisme, dituduh terlibat makar bersama PKI.

Baca Juga: Menepis Tuduhan PKI

Hasil dari geger 1965 itu persis seperti yang dikehendaki Sang Dalang. Bung Karno jatuh tragis.  Bung Karno memilih legowo lengser demi menjaga agar pertumparah darah sesama anak bangsa tidak semakin berkobar. Seandainya Bung Karno melawan, pasukan Amerika hanya butuh waktu sekitar 4 jam untuk menduduki Jakarta mendukung militer.

Istilah Shaikh Imran Hosein, pakar ekstalogi Islam, maupun pengamat politik ROG Anderson, Bung Karno memang di target operasi (TO) jatuh karena menjadi palang pintu lajunya neokolonialisme dan kapitalisme (nekolim) atau The New World Order (NWO).  Akibat lain, PKI diharamkan hidup lagi. Hubungan dengan RRC putus.

Soeharto bersama militer berkuasa selama 32 tahun. Teknokrat berlatar belakang sosialis dan nonmuslim menguasai denyut birokrasi. Konglomerat merajalela. Jadilah fenomena rejim oligarkis: Politik despotisme (tirani), kapitalisme serakah, dan teknokrat oportunis.

Di mana umat Islam yang berjasa sangat besar menumbangkan PKI, menjatuhkan Bung Karno, mengamini pengusiran RRC? Tetap berada di pinggiran. Ibaratnya hanya menjadi tukang dorong mobil mogok, setelah mobil jalan ditinggal begitu saja bahkan konyolnya masih sempat diludahi.

Sudah seperti kehendak alam, pinggiran itu layaknya pantai tempat laut membuang sampah dan kotorannya. Pantai tidak mendapat ikan dan mutiara. Istilah pengamat politik Islam BJ Boland dalam buku Pergumulan Muslim di Indonesia, umat Islam kembali menuai kekecewaan baru.

Wayang Seksi

Rejim Orde Baru bisa menjadi wayang yang seksi  sesuai kehendak Sang Dalang. Membuka selebar-lebarnya bagi kapitalisme untuk semakin merajalela. Mempersilakan sumber daya alam Indonesia yang berlimpah ruah dikeruk oleh Sang Dalang. Seolah mendukung perjuangan rakyat Palestina tapi diam-diam melakukan kontak dagang pembelian senjata dengan Israel.

Setelah sekitar 30 tahun berkuasa, Soeharto dinilai mulai berulah. Menyambung hubungan diplomatik dengan RRC. Mempererat hubungan dengan Rusia dan Iran. Merangkul umat Islam setelah mencium dirinya mau dijatuhkan dengan isu dirinya kejawen anti-Islam. Ini bahaya bagi Sang Dalang. Untuk itu harus dilengserkan.

Dimulailah dengan pengembangan isu Soeharto raja korupsi. Biang kerok kolusi dengan konglomerat keturunan China. Membangun nepotisme. Ditekan dengan krisis moneter sejak tahun 1997.

Baca Juga: Tuan Tanah Komplotan Orde baru

Walhasil yang terjadi Jakarta kobong. Warga keturunan China jadi sasaran amuk. Aset konglomerat dibakar. Sebagai negarawan Soeharto bersikap legowo memilih mundur untuk mencegah korban lebih besar. Seandainya Soeharto melawan dengan mengerahkan militer, dalam waktu 4 jam tentara Amerika yang sudah siaga di perairan Selat Sunda akan merengsek masuk Jakarta.

Bagaimana umat Islam yang ikut andil pergantian rejim Orde Baru ke reformasi? Memang sempat senang dengan tampilnya BJ Habibie karena dianggap representasi santri modern (Ketua Umum ICMI). Tapi kemudian kecewa karena Habibie dicegah melanjutkan kekuasaanya dengan cara laporan pertanggung jawabannya ke MPR ditolak. Habibie bukanlah sosok yang dikehendaki Sang Dalang.

Kekecewaan umat Islam terobati dengan tampilnya Gus Dur sebagai presiden. Gus Dur representasi dari partai-partai Islam plus atau Poros Tengah. Tapi Sang Dalang tidak senang kelompok Islam berkuasa, maka Gus Dur harus dilengserkan di tengah jalan.

 The Killing Fields

Sang Dalang tidak mau lengah sedikitpun memainkan skenarionya untuk Indonesia. Indonesia negara besar dan kaya raya. Merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Sangat bernilai dari segi geopolitik, geoekonomik, geostrategik. Maka dalam Pilpres 2019 ini Sang Dalang tetap memainkan skenarionya.

Lantas apa kira-kira arah dan tujuan Sang Dalang? Apakah pergantian rejim seperti 1965 dan 1998? Kemungkinan bukan itu tujuanya. Tujuan utamanya memperlemah Indonesia. Bangunan nation-state Indonesia harus dirapuhkan dan dicabik-cabik. Pelemahan itu bisa melalui pertumpahan darah sesama anak bangsa, konflik sosial yang berkepanjangan, karut marut ekonomi yang kian mencekam.

Lihat saja fabrikasi isu  yang digaungkan, diagitasi-propagandakan sekarang  adalah sensivitas  Islam-kafir, pribumi - nonpribumi, sentimen mazhab dalam Islam, bahkan isu nostalgia bekas daerah Islam radikal versus bukan daerah eks radikal yang dilontarkan secara ngawur.

Salah satu kekuatan penyangga Indonesia adalah umat Islam. Untuk itu harus diperlemah. Caranya, dibuat umat Islam berfriksi-friksi dan berfaksi--faksi. Perbenturan antarkelompok Islam. Maka fabrikasi isu yang digaungkan sejak beberapa tahun terakhir adalah khilafah, radikalisme, intoleransi, terorisme dll.

Diserpih-serpih dengan kelompok-kelompok yang tidak jelas defisinya seperti wahabi, Aswaja, Syiah, Salafi, Islam Liberal, Islam moderat, ISIS, Alqaeda dsb. Dibangun isu-isu yang memprovokasi  sesama umat Islam berbenturan. Wadah ukhuwah Islamiyah saat ini seperti adonan jenang di tong besar yang mendidih.

Jargon Islam  dipompakan terus menerus menjelang 22 Mei. Sayangnya jargon itu dikemas dalam suasana agitasi-propaganda yang menggelorakan nafsu. Misalnya, Jihad dimanipulasi sebegitu rupa menjadi perlawanan. Padahal jihad terbesar adalah mengalahkan hawa nafsu.

Baca Juga: Pemilu 2019 di Ambang Kerusuhan, Apa Aksi Kita?

Jargon-jargon atau kaidah-kaidah Islam dalam rangka menjaga kohesi sosial cenderung diabaikan. Perselisihan seharusnya diselesaikan dengan hikmah. Wajaldilhum bilati hiya ahsan (Dan berdebatlah dengan cara yang terbaik). Wasyawirhum bil amr (bermusyawarahlah dalam pelbagai urusan).

Umat Islam dijejali isu-isu panas, subhat (remang-temang) yang deras tanpa sempat  dikonfirmasi (tabayun). Padahal isu, info yang   tidak dikonfirmasi akan menjadi pemantik hancurnya sebuah bangsa. Begitu penegasan Quran surah Al Hujurat ayat 6.  Sekarang setiap isu ditelan mentah-mentah diyakini sebagai kebenaran. Dan sebagian umat Islam kini dimasukkan mesin kamuflase seolah sedang pergi ke Badar, padahal jangan-jangan justru sedang digiring ke The Killing Fields.

Sang Dalang juga bertujuan membenturkan RRC dengan rakyat Indonesia. Mengurangi peran RRC di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.  RRC merupakan batu sandungan skenario global Sang Dalang. RRC merupakan kekuatan dunia baru. Maka isu yang digaungkan dengan utang maut (utang yang membuat Indonesia dikuasai RRC), banjir tenaga kerja asing asal RRC, penduduk imigran gelap asal RRC.

Siapa yang menang dalam pilpres, bagi Sang Dalang tidak masalah. Yang penting siapapun yang berkuasa harus semakin tergantung kepada Sang Dalang.

Dan Indonesia yang harus kian lemah, rapuh, sehingga akan mudah bagi Sang Dalang menguasainya sebagai bagian dari skenario  menguasai dunia. Peluang RRC sebagai kompetitor Sang Dalang masuk ke Indonesia semakin sulit karena sudah tertanam sentimen di hati rakyat Indonesia.

Pertanyaannya siapa Sang Dalang tersebut? Bukan Trump maupun Amerika. Bukan Putin maupun Rusia. Tapi Sang Dalang itu eksistensial. Seperti dalam sebuah pertunjukan wayang wong atau ketoprak, Sang Dalang berada di balik panggung yang tidak terlihat. Allahu a'lam bisshawab.

 Anwar Hudijono, wartawan senior.

***