Jualan Agama untuk Politik, Kapokmu Kapan?

Kamis, 3 Januari 2019 | 07:20 WIB
0
601
Jualan Agama untuk Politik, Kapokmu Kapan?
Ikatan Da'i Aceh (Foto: Liputanaceh.com)

Kelompok Dai di Aceh menyodok dengan rencananya: tes baca Alquran untuk Capres dan Cawapres. Isunya ramai, kayak petasan tahun baru. Sambut menyambut.

Saya sendiri gak merasa usulan itu penting. Bagi Indonesia yang berpancasila usulan itu gak perlu. Presiden dan Wakil Presiden adalah representasi Indonesia yang plural dan majemuk. Jadi gak perlulah dites untuk satu agama saja.

Tapi, saya rasa orang Aceh punya alasan sendiri. Pasalnya Aceh adalah wilayah otonom yang menerapkan qanun, semacam hukum agama. Bahkan ada aturan di sana yang mengharuskan calon Pimpinan Daerah dites baca Alquran.

Apakah usulan bahwa Capres tes baca Alquran itu salah?

Jika tes itu sebagai acuan buat seluruh rakyat Indonesia bisa jadi salah. Tapi kalau tes itu dikhususkan buat pemilih Aceh, agar mereka bisa menimbang-nimbang jagoannya, ya gak ada salahnya diikuti. Meskipun tidak bisa dipaksakan juga, karena tidak ada aturan untuk Capres mengikuti tes baca Alquran.

Pengakuan pada usulan itu, sama seperti negara mengakui 'qanun' diterapkan di Aceh. Warga Aceh berhak mengusulkan sesuai dengan hukum wilayahnya. Soal diterima atau tidak, memang bukan kewajiban Capres dan KPU pusat.

Yang mengherankan, mereka paling keras menolak usulan dai Aceh itu justru tim kampanye Prabowo. Memang aneh, kenapa penolakan mereka begitu keras. Padahal sejak awal merekalah yang ngotot bawa-bawa agama dalam Pemilu.

Lihat saja. Ada Ijtima Ulama. Ada aksi reuni bela Islam 212, ada isu kriminalisasi ulama, ada isu musuh agama yang selalu mereka mainkan. Bahkan ada isu Indonesia bersyariat yang mereka luncurkan. Tokoh-tokoh pendukung Prabowo juga gak segan bawa-bawa isu agama.

Neno Warisman mengajak jihad untuk minta sumbangan buat kampanye Prabowo Sandi. Amien Rais membelah partai menjadi dua : parpol koalisi Prabowo sebagai Partai Allah dan lawannya sebagai partai setan.

Prabowo juga gak canggung tampil mengenakan bendera HTI di topinya, bertuliskan kalimat syahadat. Demo membela Uighur jadi slogan ganti Presiden. Kalau nau disebutkan satu-satu, gak cukup waktu.

Bahkan kelompok yang sama adalah mereka yang paling keras teriak-teriak soal Almaidah 51 saat Pilkada DKI yang brutal itu. Mengerahkan masjid dan mushola untuk kampanye.

Maksudnya, mereka menjajakan Prabowo dengan memakai isu agama. Sekarang ada usulan dari Aceh agar Capres dites baca Alquran. Kenapa mereka menolak keras?

Sebetulnya simpel. Bilang saja Prabowo gak bisa baca Alquran. Itu klir. Demikian juga, akui saja kemarin Prabowo merayakan Natal bersama kekuarganya.

Kalau kelompok mereka sebagian mengecam ucapan selamat Natal apalagi merayakannya, sementara Prabowo malah ikut merayaka, gak usah bingung. Karena memang Prabowo bukan representasi tokoh Islam. Keluarga Prabowo adalah non-muslim. Malah bagus toh, agar ke depan siapapun bisa jadi Presiden Indonesia. Apapun latar bekakang agamanya.

Begitu kan enak.

Mereka gak perlu keluar urat untuk menipu pemilih muslim. Mereka gak perlu mengotori Alquran dengan kepentingan politik. Mereka gak perlu mengasong agama untuk sesuatu yang gak ada hubungannya dengan Islam.

Sementara menanggapi usulan itu, Cawapres Kyai Makruf Amin santai. "Ya, kami siap saja" katanya. Padahal selama ini, jurus kampanye Jokowi gak membawa-bawa simbol agama.

Nah, kalau memang begitu kondisinya, sudah seharusnya mereka berhenti menjajakan agama ini untuk politik. Wong, Capresnya sendiri saja gak bisa dikatakan ngerti agama.

Atau sebetulnya begini. Mereka yang sering memanipulasi agama untuk politik memang gak peduli dengan kualitas keagamaan Capres yang diusungnya. Bagi mereka yang penting menyulut emosi umat. Menyulut hal yang paling sensitif di Indonesia. Agar umat yang emosional ini bisa digiring kesana-kemari sesuai dengan kepentingan para politisi pengasong agama itu.

Tujuannya, agar umat Islam ini selalu dalam kondisi 'on' penuh kemarahan. Makanya kosa kata yang sering digunakan, cukup luar biasa. 'Jihad', 'Partai Allah', 'Kriminalisasi Ulama', 'Musuh Umat', atau 'Bela Agama'

Saya sendiri gak setuju dengan usulan dai Aceh itu. Tapi karena Indonesia sudah mengakui otonomi Aceh sebagai daerah khusus, maka kita harus maklum mereka punya usul sendiri yang berbeda. Ya, gak apa-apa. Maklum bukan berarti setuju, lho.

"Kalau Jokowi, dulu naik motor terbang pakai stuntman. Kenapa Pak Prabowo gak usul saja, tes baca Qurannya boleh pakai stuntman," usul Abu Kumkum.

"Gak bisa pakai stuntman, Kum."

"Kalau lypsinc, boleh, mas?"

Wong gendheng!