Kelompok Dai di Aceh menyodok dengan rencananya: tes baca Alquran untuk Capres dan Cawapres. Isunya ramai, kayak petasan tahun baru. Sambut menyambut.
Saya sendiri gak merasa usulan itu penting. Bagi Indonesia yang berpancasila usulan itu gak perlu. Presiden dan Wakil Presiden adalah representasi Indonesia yang plural dan majemuk. Jadi gak perlulah dites untuk satu agama saja.
Tapi, saya rasa orang Aceh punya alasan sendiri. Pasalnya Aceh adalah wilayah otonom yang menerapkan qanun, semacam hukum agama. Bahkan ada aturan di sana yang mengharuskan calon Pimpinan Daerah dites baca Alquran.
Apakah usulan bahwa Capres tes baca Alquran itu salah?
Jika tes itu sebagai acuan buat seluruh rakyat Indonesia bisa jadi salah. Tapi kalau tes itu dikhususkan buat pemilih Aceh, agar mereka bisa menimbang-nimbang jagoannya, ya gak ada salahnya diikuti. Meskipun tidak bisa dipaksakan juga, karena tidak ada aturan untuk Capres mengikuti tes baca Alquran.
Pengakuan pada usulan itu, sama seperti negara mengakui 'qanun' diterapkan di Aceh. Warga Aceh berhak mengusulkan sesuai dengan hukum wilayahnya. Soal diterima atau tidak, memang bukan kewajiban Capres dan KPU pusat.
Yang mengherankan, mereka paling keras menolak usulan dai Aceh itu justru tim kampanye Prabowo. Memang aneh, kenapa penolakan mereka begitu keras. Padahal sejak awal merekalah yang ngotot bawa-bawa agama dalam Pemilu.
Lihat saja. Ada Ijtima Ulama. Ada aksi reuni bela Islam 212, ada isu kriminalisasi ulama, ada isu musuh agama yang selalu mereka mainkan. Bahkan ada isu Indonesia bersyariat yang mereka luncurkan. Tokoh-tokoh pendukung Prabowo juga gak segan bawa-bawa isu agama.
Neno Warisman mengajak jihad untuk minta sumbangan buat kampanye Prabowo Sandi. Amien Rais membelah partai menjadi dua : parpol koalisi Prabowo sebagai Partai Allah dan lawannya sebagai partai setan.
Prabowo juga gak canggung tampil mengenakan bendera HTI di topinya, bertuliskan kalimat syahadat. Demo membela Uighur jadi slogan ganti Presiden. Kalau nau disebutkan satu-satu, gak cukup waktu.
Bahkan kelompok yang sama adalah mereka yang paling keras teriak-teriak soal Almaidah 51 saat Pilkada DKI yang brutal itu. Mengerahkan masjid dan mushola untuk kampanye.
Maksudnya, mereka menjajakan Prabowo dengan memakai isu agama. Sekarang ada usulan dari Aceh agar Capres dites baca Alquran. Kenapa mereka menolak keras?
Sebetulnya simpel. Bilang saja Prabowo gak bisa baca Alquran. Itu klir. Demikian juga, akui saja kemarin Prabowo merayakan Natal bersama kekuarganya.
Kalau kelompok mereka sebagian mengecam ucapan selamat Natal apalagi merayakannya, sementara Prabowo malah ikut merayaka, gak usah bingung. Karena memang Prabowo bukan representasi tokoh Islam. Keluarga Prabowo adalah non-muslim. Malah bagus toh, agar ke depan siapapun bisa jadi Presiden Indonesia. Apapun latar bekakang agamanya.
Begitu kan enak.
Mereka gak perlu keluar urat untuk menipu pemilih muslim. Mereka gak perlu mengotori Alquran dengan kepentingan politik. Mereka gak perlu mengasong agama untuk sesuatu yang gak ada hubungannya dengan Islam.
Sementara menanggapi usulan itu, Cawapres Kyai Makruf Amin santai. "Ya, kami siap saja" katanya. Padahal selama ini, jurus kampanye Jokowi gak membawa-bawa simbol agama.
Nah, kalau memang begitu kondisinya, sudah seharusnya mereka berhenti menjajakan agama ini untuk politik. Wong, Capresnya sendiri saja gak bisa dikatakan ngerti agama.
Atau sebetulnya begini. Mereka yang sering memanipulasi agama untuk politik memang gak peduli dengan kualitas keagamaan Capres yang diusungnya. Bagi mereka yang penting menyulut emosi umat. Menyulut hal yang paling sensitif di Indonesia. Agar umat yang emosional ini bisa digiring kesana-kemari sesuai dengan kepentingan para politisi pengasong agama itu.
Tujuannya, agar umat Islam ini selalu dalam kondisi 'on' penuh kemarahan. Makanya kosa kata yang sering digunakan, cukup luar biasa. 'Jihad', 'Partai Allah', 'Kriminalisasi Ulama', 'Musuh Umat', atau 'Bela Agama'
Saya sendiri gak setuju dengan usulan dai Aceh itu. Tapi karena Indonesia sudah mengakui otonomi Aceh sebagai daerah khusus, maka kita harus maklum mereka punya usul sendiri yang berbeda. Ya, gak apa-apa. Maklum bukan berarti setuju, lho.
"Kalau Jokowi, dulu naik motor terbang pakai stuntman. Kenapa Pak Prabowo gak usul saja, tes baca Qurannya boleh pakai stuntman," usul Abu Kumkum.
"Gak bisa pakai stuntman, Kum."
"Kalau lypsinc, boleh, mas?"
Wong gendheng!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews