Baru sekitar dua menit Bu Risma mengungkapkan kejengkelannyi ke RS dr. Soetomo, dia berdiri lagi. Maju ke depan lagi. Sujud lagi. Ndelosor lagi. Untuk yang kedua kalinya.
Anda sudah tahu: Bu Risma (Tri Rismaharini) sampai sujud-sujud. Di depan para dokter. Senin kemarin.
Hasilnya nyata: diketahuilah kenapa rumah-rumah sakit di Surabaya terlalu penuh penderita Covid-19.
Setelah adegan heboh itu jalan keluar pun ditemukan.
Penyebab utama lubernya rumah sakit itu bisa diketahui. Jumlah penderita Covid-19 masih naik. Tapi ada penyebab lain: pasien Covid-19 terlalu lama berada di rumah sakit.
Mengapa?
Karena yang sudah negatif tidak boleh pulang. Harus menunggu hasil tes swab yang kedua. Padahal jarak tes pertama dan kedua itu bisa lima sampai enam hari.
Prosedur yang seperti itu sesuai dengan peraturan yang tidak bisa dilanggar. Itulah peraturan Kementerian Kesehatan.
Bagaimana kalau dilanggar?
Akibatnya bisa fatal: biaya perawatan tidak ditanggung BPJS.
Wali kota Surabaya pun ternyata bisa menerima masukan itu. Setelah tenang Bu Risma pun mengambil keputusan: pasien negatif harus cepat dipulangkan. Biar pun itu baru hasil tes swab pertama.
Bagaimana kalau BPJS tidak mau mengganti biayanya?
Di sinilah hebatnya Bu Risma: ”Pemda Surabaya yang akan mengganti,” katanyi di forum itu.
Peserta rapat pun lega. Ada jalan keluar. Rapat bisa selesai dengan baik.
Padahal rapat itu sempat menegangkan. Terutama setelah berlangsung setengah jam. Tiba-tiba Bu Risma berdiri dari tempat duduknyi. Dia maju ke depan meja pimpinan. Dia bersujud di lantai. Sampai ndelosor.
Yang hadir di rapat itu pun tertegun. Sebagian nimbrung ke tempat Bu Risma ndelosor di aspal. Termasuk moderator rapat itu, Ketua IDI Surabaya, dr Brahmana.
Mereka memapah Bu Risma agar bangkit dari ndelosornyi. Bu Risma kembali ke kursinyi.
Yang mengadakan rapat itu: wali kota Surabaya sendiri. Yang diundang: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Surabaya, pimpinan rumah-rumah sakit, relawan Covid-19, dan gugus tugas wabah itu.
Rapatnya diadakan di halaman depan kantor wali kota. Di seberang kantor Harian DI’s Way.
Bu Risma, sejak tiga bulan lalu, memang berkantor di halaman. Di bawah tenda. Lantainya aspal.
Ke halaman itulah meja kerjanyi dipindah. Di halaman itu pula rapat-rapat dengan wali kota dilangsungkan.
”Saya sendiri sudah tiga-empat kali diajak beliau rapat di tempat terbuka itu,” ujar Dokter Brahmana.
Senin kemarin pun dr. Brahmana yang diminta memimpin rapat. Acara pertamanya pidato pengantar dari wali kota. Bu Risma berpidato kira-kira setengah jam.
Setelah itu giliran para pimpinan rumah sakit yang berbicara.
Drama itu sendiri terjadi ketika dokter Sudarsono tengah memberikan paparan. Ia adalah Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSUD dr. Soetomo Surabaya, milik Provinsi Jatim.
Dokter Sudarsono lagi menceritakan keadaan rumah sakit yang ia pimpin. Tiba-tiba, itu tadi. Bu Risma ndelosor di lantai --yang tak lain adalah aspal yang biasa untuk tempat berhenti mobil.
Begitu lama Bu Risma ndelosor. Beberapa orang sampai ikut merayu untuk mengakhiri adegan itu.
Bu Risma pun kembali duduk di kursinyi.
Setelah kembali duduk dia pun mengungkapkan kejengkelannyi pada RSUD dr. Soetomo. Yang, katanyi, sulit diajak koordinasi. Dari ucapannyi itu, terkesan, pasien Covid-19 dari Surabaya tidak bisa masuk ke situ. Kesan lainnya lagi: Pemprov, sebagai pemilik RS itu, tidak mendukung program Covid-19 wali kota.
Kesan, di zaman medsos ini, bisa lebih dominan dari data. Menurut data, pasien RS Dr Soetomo kebanyakan adalah warga Surabaya.
Kalau pun ada pasien Surabaya yang ditolak itu karena rumah sakitnya lagi penuh. Bukan karena wali kota Surabaya lagi bertengkar dengan gubernur Jatim.
Jatim memang lagi punya gubernur dan wali kota yang sama-sama wanitanya. Hanya beda partainya.
Baru sekitar dua menit Bu Risma mengungkapkan kejengkelannyi ke RS dr. Soetomo, dia berdiri lagi. Maju ke depan lagi. Sujud lagi. Ndelosor lagi. Untuk yang kedua kalinya.
IDI Surabaya pun mengusulkan terobosan. Rapat setuju. Tinggal menunggu persetujuan. Juga menunggu anggaran.
Usul Dokter Brahmana adalah: agar setiap Puskesmas di Surabaya disediakan alat pengukur oksigen. Banyak pasien yang tidak ada gejala Covid-19 tapi kekurangan oksigen.
Menurut Brahmana, pasien yang oksigennya sudah merosot harus segera dibawa ke rumah sakit.
Itu bisa mengurangi risiko kematian. Juga bisa mengurangi beban rumah sakit.
”Alatnya murah kok. Hanya kisaran ratusan ribu rupiah,” ujar dr. Brahmana.
Alat itu disebut ”pulse oximeter fingertip”, alat pengukur kadar oksigen.
Begitulah. Semoga drama Senin lalu itu yang terakhir kali.
Saya pun harus meralat tulisan DI’s Way kemarin. Yang menyimpulkan bahwa berita terbesar minggu ini adalah marah besarnya Presiden Jokowi.
Ternyata di kampung saya sendiri ada berita yang lebih besar lagi. Gajah di pelupuk memang bisa membuat mata tertutup.
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews