Aa Boxer

Anak-anak, akan senang dan bangga kalau ayahnya diperlakukan dengan hormat, meskipun mereka tidak melihatnya.

Selasa, 25 Agustus 2020 | 08:13 WIB
0
424
Aa Boxer
Aa Boxer (Foto: Facebook/Yus Husni Thamrin)

Dini hari, ketika sedang menulis, tiba-tiba saya teringat pada satu sosok tangguh yang sangat saya hormati, sebagai orangtua juga sebagai tokoh: H. Achmad Drajat. Ia yang lebih dikenal dengan nama Aa Boxer, adalah pencipta sekaligus Guru Besar bela diri Tarung Derajat dengan murid tidak kurang dari 12 juta orang yang tersebar di berbagai belahan dunia.

September 2011, ketika bekerja untuk majalah Forbes Indonesia, saya diminta menulis tentang beberapa tokoh yang memiliki karya besar yang mendunia. Waktu itu Forbes Indonesia akan menampilkan The Native of Indonesia. Salah satu tokoh yang saya tulis adalah Aa Boxer.

Saya bisa kontak dengan Aa dengan rekomendasi dari Kang Ari S. Hudaya (Bumi Resources). Saya meneleponnya, memperkenalkan diri. Aa agak kaget, ada wartawan majalah asal Amerika menghubunginya memakai Basa Sunda.

Nada bicara dan kata-kata yang dipilihnya sangat lembut dan sopan. Itu menghapus bayangan saya tentang Aa Boxer: guru bela diri, mantan petarung jalanan, pasti karakternya keras. Dari interaksi yang baru beberapa menit itu saya merasakan kehangatan orangtua dari cara dia memperlakukan saya.

Lalu kami janjian. Dua hari kemudian saya menemuinya di rumahnya, di Jl. Buah Batu, Bandung untuk wawancara. Saat bertemu, saya seperti menemukan sosok orangtua pengganti ayah saya yang meninggal tujuh tahun sebelumnya (19 Junia 2004). Saat bersalaman, saya dirangkul, pundak saya diusap-usap. Nyaman sekali rasanya. Sambil memegang pundak saya, Aa berjalan ke ruang tamu.

Di rumahnya yang juga sering dipakai sebagai tempat mengajar Tarung Derajat, waktu itu ada Tim Tarung Derajat dari Myanmar yang sedang latihan untuk menghadapi SEA Games ke-26 di Jakarta, November 2011.

Di ajang itu Tarung Derajat dipertandingkan sebagai cabang olahraga eksebisi. Saya memperhatikan bagaimana Aa melatih. Tegas, namun sangat telaten.

Lalu kami duduk di teras, sambil ngopi, ngudud. Mengakhiri wawancara, saya sampaikan satu pertanyaan iseng, “Apa yang akan Aa lakukan jika ada seseorang yang mengajak berkelahi?”

“Aa tidak akan melayaninya. Lain halnya kalau dia tiba-tiba menyerang. Kalau Aa tahu ada orang yang akan mencegat Aa di jalan, Aa akan menghindarinya. Tapi kalau ada orang yang mengajak ‘duduluran’ (menyambung persaudaraan), Aa akan datangi, akan Aa rangkul.”

Wawancara selesai dilanjutkan dengan ngobrol tentang banyak hal. Ada yang saya rasakan agak mengganjal: Aa selalu menyebut saya ‘Pak Yus’. Akhirnya saya bilang, “Aa gak usah memanggil saya ‘Pak Yus’, cukup panggil nama saya saja.”

Jawabannya di luar dugaan. Aa mengatakan, “Kita berinteraksi dengan seorang dewasa, sejatinya kita sedang berinteraksi, tidak hanya dengan orang yang kita hadapi saja, melainkan juga dengan keluarganya, anak-anaknya.

Anak-anak, akan senang dan bangga kalau ayahnya diperlakukan dengan hormat, meskipun mereka tidak melihatnya. Jadi, Aa memanggil ‘Pak Yus’ tuh bukan hanya menghormati Pak Yus, tapi Aa juga ingin menghormati dan menjaga perasaan anak-anak Pak Yus.”

Saya terpana. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Seorang Jawara tersohor yang baru kenal kurang dari dua jam, memanggil saya ‘Pak Yus’ dengan maksud ingin menghormati saya, ingin menghormati anak-anak saya yang ia belum pernah lihat. Saya yakin, begitulah Aa memperlakukan setiap orang, penuh hormat. Bagi saya, Aa adalah Jawara dan Ksatria sejati.

Ketika berpamitan untuk pulang, saya tak kuasa untuk tidak memeluk dan mencium tangannya. Aa pun mengusap-usap punggung dan kepala saya. Saya benar-benar menemukan sosok orangtua yang hangat dan lembut pada diri Aa Boxer. Mugi Aa sing salawasna sehat, panjang yuswa, berkah salamet. Amin yRa.

***