Bintang Mahaputera, Tradisi Formalitas yang Memerlukan Revolusi

Harus ada perubahan mendasar terkait aturan dan kriteria penerima penghargaan agar negara tak terkesan mengobral bintang penghargaan dan tentunya menegakkan azas keadilan bagi publik

Senin, 7 September 2020 | 22:44 WIB
0
317
Bintang Mahaputera, Tradisi Formalitas yang Memerlukan Revolusi
Fadli Zon dan Fahri Hamzah (Foto: terbaiknews.net)

Disebutnya Fahri Hamzah dan Fadli Zon sebagai calon penerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya memicu kontroversi. Keduanya memang kerap bersikap kontroversial dengan ucapan yang memicu "keributan" terutama di media sosial. Mahfud MD menjelaskan bahwa posisi mereka sebagai pimpinan lembaga tinggi negara membuat mereka mendapatkan penghargaan tersebut.

Ini seolah mengamini tradisi sejak lama dimana seorang pejabat negara menjadi langganan penerima penghargaan ini. Menurut UU no.20/2009, ada syarat umum dan khusus untuk bisa menerima penghargaan tersebut.

Syarat umum sangat standar, seperti WNI, berkelakuan baik, tidak pernah dipidana dlsb. Sementara syarat khususnya pun normatif dan klise seperti berjasa luar biasa di berbagai bidang, pengabdian dan pengorbanannya di berbagai bidang atau darmabakti dan jasanya diakui nasional dan internasional.

Bintang Mahaputera sendiri mempunyai 5 kelas;

1. Bintang Mahaputera Adipurna
2. Bintang Mahaputera Adipradana
3. Bintang Mahaputera Utama
4. Bintang Mahaputera Pratama
5. Bintang Mahaputera Nararya

Adipurna adalah kelas tertinggi di Mahaputera. Beberapa penerimanya sebut saja seperti Soekarno, BJ. Soedirman, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, Ki Hajar Dewantara dll.

Duo F dianggap memenuhi kriteria UU di atas dan memang jika melihat daftar penerimanya, penghargaan Bintang Mahaputera banyak diisi oleh tokoh lembaga negara. Contohnya, pada 2014 lalu, Presiden SBY bahkan memberi penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana pada pimpinan DPR dan sejumlah menteri kabinetnya. Bintang ini menempati kelas 2, di bawah Adipurna dalam hierarki Bintang Mahaputera.

Sebut saja Ketua DPR Marzuki Alie dan 4 Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Pramono Anung, Taufik Kurniawan dan Muh Sohibul Iman. Tak hanya mereka, sejumlah menteri juga mendapatkannya seperti Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Menkominfo Tifatul Sembiring.

Ya, kalau ditanya, saya sendiri juga bingung kenapa Zulkifli Hasan yang disebut sebagai menteri terbanyak pemberi izin perkebunan kepada korporasi yang sempat "dimarahi" Harisson Ford atau "Bapak Internet Cepat Buat Apa" Tifatul Sembiring bisa disebut memenuhi syarat berjasa luar biasa tersebut? Apa sebetulnya kriteria luar biasa itu?

Tapi itulah faktanya. Jadi kalau sekelas Tifatul saja bisa mendapat Mahaputera Adipradana, maka sebetulnya tak heran juga kalau Duo F pimpinan DPR ini bisa mendapat Mahaputera Nararya terlepas dari kinerja buruk DPR 2014-2019 yang hanya mampu menyelesaikan 30% dari target keseluruhan.

Yang juga perlu dipertanyakan adalah pihak pemberi usulan, baik itu lembaga negara, kementerian, pemda, organisasi atau masyarakat. Sekaligus para anggota Dewan Gelar, yaitu mereka yang ditugaskan sebagai pihak yang memverifikasi dan mempertimbangkan usulan. Kenapa nama yang penuh kontroversi baik dari perilaku dan kinerja bisa lolos? Saya pikir masih banyak tokoh lain yang memang terjun langsung dan berkecimpung di bidangnya atau kepala daerah yang terbukti memajukan daerahnya lebih layak mendapat gelar tersebut.

Tentu saja bukan berarti DPR atau menteri jadi tidak layak, tapi kriteria dan kinerjanya tentu harus dilihat serius baik di dalam dan luar lapangan. Harus ada perubahan mendasar terkait aturan dan kriteria penerima penghargaan agar negara tak terkesan mengobral bintang penghargaan dan tentunya menegakkan azas keadilan bagi publik. Tidak bisa hanya sekedar karena jabatan yang disandang lalu setelahnya 'auto bintang'.

Ojol saja harus berjuang keras dulu sebelum mendapat bintang, ga gampang, apalagi kalo ketemu customer kaya Sis... *miiiiiip* yang huruf belakangnya banyak, apa ga panas dingin coba?

***