Mengapa Presiden Jokowi Harus Hati-hati Mainkan Diplomasi Luar Negeri?

Apabila ini bio-warfare, kita bersyukur tidak diarahkan ke Indonesia, artinya kita masih dianggap penting dan berharga, ada yang menjaga Indonesia agar tidak babak belur.

Kamis, 12 Maret 2020 | 07:43 WIB
0
360
Mengapa Presiden Jokowi Harus Hati-hati Mainkan Diplomasi Luar Negeri?
Presiden Jokowi (Foto: Detik.com)

Saat acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan, Yayasan Suluh Nusantara Bakti dan FKPPI, dengan judul "Aktualisasi Menggalang Ketahanan Nasional Demi Kelangsungan Hidup Bangsa" di Hotel Sultan hari Sabtu ( 7/2 /2020 ), menjadi menarik saat salah satu narasumber (Laksda Pur Bob Mangindaan) memaparkan ancaman terhadap Indonesia. 

Beliau ini teman diskusi, karena pintarnya kita panggil Profesor.

Salah satu pengertian politik saat penulis kuliah menurut dosen, adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan. Presiden RI, Jokowi yang terpilih sebagai presiden Indonesia untuk periode 2019-2024, juga harus mempertahankan kekuasaannya, kata lainnya menjaga amanah dari ATHG, khususnya ancaman dalam dan luar negeri agar bisa menyelesaikan kepemimpinan nasional hingga 2024.

Disampaikannya, ancaman dari dalam dan luar negeri terhadap Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Jokowi ditinjau dari persepsi intelijen pada 2020- 2024, yaitu Krisis identitas, Krisis nasionalisme, Pembangkangan, Radikalisme, Terorisme, Negara Khilafah, Pemisahan-Separatisme, Korupsi, Narkoba, Cyber Attack Informational Warfare, Trade War, Currency war, Proxies, Bio-warfare.

Indonesia Aktor Global

Sejak Amerika memindahkan wilayah kepentingannya dengan teori rebalancing, dari kawasan Timur Tengah ke Asia Pasifik, ditinjau dari sisi geopolitik dan geostrategis, Indonesia menjadi negara yang sangat penting dan semakin menonjol sebagai bagian dari aktor global.

Penegasan AS disampaikan oleh Presiden Obama di Jepang tahun 2009, menyatakan selain punya sekutu di kawasan Asia Pasifik, Jepang, Australia, juga India, Amerika menginginkan dua negara yaitu Malaysia dan Indonesia menjadi mitranya.

PM Najib menolak karena China adalah partner dagang utama. Melalui beberapa indikasi adanya ops inyelijen, Najib akhirnya jatuh, setelah terjadi serangan klandestin terhadap MH370 dan MH17, serta diungkapnya kasus korupsinta di 1MDP.

Kini diberitakan pada awal tahun 2020, AS melakukan penilaian posisi politik dan kebijakan LN (resetting) empat negara yaitu India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia. India cerdik, dukung AS, beberapa waktu lalu Presiden Trump berkunjung ke India.

Amerika di satu sisi merasa terancam dengan ulah China yang menggunakan instrumen ekonomi menciptakan "depth trap" di kawasan Asia dan meluaskan wilayah hegemoni melalui OBOR. Terjadi trade war antara AS dengan China.

 AS menegaskan musuh utamanya adalah China dan Rusia, tertuang dalam dokumen 'National Security Strategy' dan 'National Defense Strategy ' (2017). 

Sebagai musuh utama, keduanya harus dipangkas ruang geraknya dibatasi, diciptakan kompartmentasi dengan negara-negara lain, baik sisi intelstrat ekonomi, sosial, dan pertahanan.

Masalah Krusial Pembelian Sukhoi-35 untuk TNI AU

Setelah diangkat menjadi Menhan RI pada 23 Oktober 2019, Prabowo telah mengunjungi delapan negara, Malaysia, Thailand, Turki, China, Jepang, Filipina, dan Prancis dan Rusia.

Pada tanggal 28 Januari 2020 saat mengunjungi Rusia, Prabowo bertemu dengan Menhan Rusia Sergey Shoygu di kantor Kemhan Rusia, Moskow. Beragam dibicarakan dalam rangka diplomasi pertahanan kedua negara.

Salah satu poin penting dalam pembicaraan itu adalah rencana Prabowo membeli 11 jet tempur Sukhoi Su-35 senilai US$ 1,14 miliar (Rp 15,57 triliun dengan asumsi kurs Rp 13,658.26).

Demikian diungkapkan oleh Duta Besar RI untuk Rusia Wahid Supriyadi seperti dilaporkan cnnindonesia. com, Rabu (29/1/2020). Rencana Indonesia membeli 11 Su-35 ini sudah berlangsung dalam dua tahun terakhir. Tetapi kontrak belum juga dapat terealisasi.

Rusia tak menampik salah satu hambatan pembelian Sukhoi ini adalah bayang-bayang sanksi Amerika Serikat. Meski begitu, Prabowo menegaskan Indonesia adalah negara berdaulat sehingga keputusan apa pun tidak bisa diintervensi apalagi diancam negara lain.

Dalam pertemuan, kedua pihak mengutarakan keinginan untuk meningkatkan kerja sama bilateral, termasuk dari sisi militer. Shoygu pun berharap penandatanganan kemitraan strategis antara Rusia dan Indonesia dapat ditanda tangani tahun ini.

"Kami memandang Indonesia sebagai salah satu partner penting Rusia di kawasan Asia Pasifik. Interaksi antara kedua negara dibangun berdasarkan persahabatan dan saling percaya. Kami mencatat hal itu merupakan prasyarat untuk membawa hubungan bilateral kedua negara ke level kemitraan strategis," kata Shoygu.

Prabowo mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan Shoygu. Ia pun menyebut Indonesia ingin terus meningkatkan hubungan dengan Rusia.

"Kami di Indonesia melihat Rusia sebagai salah satu negara terkuat di dunia. Rusia, atau sebelumnya Uni Soviet, selalu menolong Indonesia di masa-masa sulit, selalu di sisi kami," kata Prabowo.

UU CAATSA Amerika Bisa Membidik Prabowo dan Jokowi

 Pada 27 Oktober 2017, AS mengeluarkan kebijakan yang disebut Countering America's Adversaries Through Sanctions (UU CAATSA). Kebijakan tersebut disahkan oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, sebagai instrument AS di bidang intelijen dan pertahanan.

UU CAATSA lahir sebagai upaya counter berupa upaya kompartmentasi atas ulah Rusia dalam apa yang dikenal sebagai hybrid war, yaitu operasi clandestine Rusia yang dilanjutkan dengan invasi ke Krimea dan Ukraina. UU CAATSA ini merupakan bentuk tekanan politik melalui skema CAATSA.

Sebelum pengesahan UU CAATSA itu diberlakukan, pada tanggal 29 September 2017, Presiden AS, Donald Trump mendelegasikan wewenang untuk melaksanakan bagian 231 itu kepada kementerian luar negeri AS. 

Bagian 231 intinya mensyaratkan pengenaan sangsi tertentu terhadap orang-orang yang terlibat secara sengaja dalam transaksi signifikan, pada atau setelah tanggal UU CAATSA itu diundangkan, dengan atau atas nama seseorang yang merupakan bagian atau operasi untuk atau atas nama sektor pertahanan atau intelijen pemerintah Rusia, AS akan memberikan sangsi

Penjatuhan sanksi CAATSA akan berlaku untuk waktu yang tak terbatas dan apabila sanksi tersebut telah dikenakan, jelas akan sulit untuk ditarik kembali

Pada tanggal 15 Februari 2018, pimpinan delegasi Kementerian Luar Negeri AS, Undersecretary International Security for Weapon Non Proliferation, Ms Ann Ganzer, telah menyampaikan kepada delegasi Kementerian Pertahanan RI di Jakarta, bahwa Kongres AS telah mengeluarkan UU CAATSA untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan negara-negara yang melakukan kerjasama pengadaan alutsista Rusia yang terkait dengan bidang pertahanan dan intelijen.

Apabila dikaitkan dengan UU CAATSA tersebut, Indonesia yang telah melakukan transaksi kontrak pengadaan/akuisisi Su-35 senilai US$16 miliar itu, sudah termasuk dalam kriteria negara yang bisa dikenakan sanksi CAATSA.

Analisis

Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, dari persepsi intelijen, Presiden Jokowi sebaiknya lebih waspada terkait dengan persepsi ancaman yang mungkin muncul.

Posisi Indonesia sebagai aktor global justru menempatkan Indonesia pada posisi rawan. Dalam teori intelijen, kerawanan bia diekspliitir lawan akan menyebabkan kelumpuhan, bahkan permanen.

Keliru sedikit saja Presiden Jokowi memutuskan kebijakan politik dan diplomasi Luar Negeri, maka upayanya dalam mempertahankan kekuasaannya akan makin kecil. Posisi politik di dalam negeri masih dapat dipertahankan dengan dukungan publik dan konstitusi.

 Para aktor politik yang walaupun mulai bermimpi dan merancang kekuasaan pada 2024, tetap berpikir hati-hati walau mulai terlihat adanya kolaborasi yang jelas tapi semu (tidak terpercaya dengan habit pragmatis).

Bagian ancaman terhadap Indonesia yang sering dipelekan, karena kita berada di wilayah konflik antara AS versus China dan Rusia, dua musuh utamanya. Banyak yang berpegang kepada politik bebas aktif, yang katanya harus yakin jangan didikte oleh negara lain.

Kini, dengan langkah Menhan ke Rusia dan dengan gagah berani menegaskan akan melanjutkan pembelian Alutsista Rusia (Sukhoi 35), Prabowo bisa terkena UU CAATSA.

Apakah cukup sampai di situ? Jelas Presiden Jokowi dan Indonesia juga akan terkena UU tersebut, presiden dan menhan dinilai sebagai satu paket. Rusia jelas akan mati-matian menjual produknya, walau tahu sejak 2017 dihambat Amerika. Rusia tidak peduli tentang UU CAATSA itu. Mereka faham atau mengerti ada yang gagal paham di Indonesia.

Nah, kini pasti AS sudah membidik Prabowo dan presiden Jokowi. Bagi Prabowo persoalan lama (HAM) saja belum selesai, kini bisa terkena UU CAATSA. Demikian juga bagi presiden, sebagai decesion maker, bila kontrak dilanjutkan, sangsi Amerika hanyalah soal waktu.

Sebagai purnawirawan TNI AU, Sukhoi-35 memang pilihan terbaik dalam melanjutkan program Su-27/30, tetapi dari sisi pertimbangan intelijen fungsi pengamanan, disarankan sebaiknya ditunda/ dibatalkan.

Baca Juga: Selamat Datang Pesawat Tempur Supercanggih Sukhoi SU-35!

Bagi Prabowo bila terkena CAATSA akan rugi besar kalau masih ingin maju pada pilpres 2024. Pelanduk bisa terjepit diantara gajah. 

Bagi pak Jokowi, ada bahaya atau ancaman serius, yang tersembunyi, Najib lengser, Sadam Husein dihabisi, Afghanistan diserbu, Syria berantakan, Iran sedang repot dan kini China ikut berantakan dengan virus Corona baru (COVID-19).

Operasi intelijen tidak pernah terungkap, mereka bisa menggunakan instrumen yang dimiliki untuk menyerang, umumnya sukses karena didukung teknologi tinggi.

UUK Intelijen dan Saran

Apakah badan intelijen yang ada sebagai pelindung Presiden Jokowi dinilai sudah mampu mengatasi ancaman seperti yang disampaikan Prof. Bob? Tolong dijawab. Sudah mampukah kita mengatasi Cyber Attack, Informational Warfare, Trade War, Currency war, Proxies, Bio-warfare?

Xie-Jin Ping yang dinilai sebagai manusia setengah Dewa oleh WN China (RRT) saja kini tiap hari migrain menghadapi serangan Covid-19. Kini tercipta kompartmentasi, hampir semua negara alergi kedatangan tamu dari negara China dan semua menolak ke China. Mission accomplished, kesimpulan penulis seperti itu.

Apabila ini bio-warfare, kita bersyukur tidak diarahkan ke Indonesia, artinya kita masih dianggap penting dan berharga, ada yang menjaga Indonesia agar tidak babak belur.

Pendidikan dan disiplin masyarakat di sini masih rendah dan mudah panic, tapi ya mestinya kita, khususnya para pemimpin harus awas, cerdik, paham dan bijak.

Sepertinya pak Jokowi perlu mendengar presentasi, penjelasan teman Pray itu Prof. Bob Mangindaan tentang masalah geopolitik dan geostrategi itu (maaf sekadar saran dari Old Soldier). Semoga bermanfaat. 

Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodijojo Ramelan, Pengamat Intelijen

****