Kursi Wagub Hanya Pelipur Lara; PKS Tetap Bisa Dikacangin Gerindra!

Sabtu, 1 Desember 2018 | 18:16 WIB
0
235
Kursi Wagub Hanya Pelipur Lara; PKS Tetap Bisa Dikacangin Gerindra!
Sohibul imam (Foto: Dakta.com)

Rupanya, rengekan PKS yang keukeuh meminta jatah kursi Cagub DKI usai ditikung Sandi Uno di menit-menit akhir bursa cawapres Prabowo beberapa waktu lalu, pun terkabul. Melalui drama panjang dan sejumlah intrik "ancam-mengancam" ala ABG puber, Gerindra akhirnya mau berbagi jatah kuasa kepada PKS di Ibu Kota.

Namun, benarkah ini pemberian mandat kuasa atau hanya pelipur lara lantaran iba dengan PKS yang kini tengah goyah dalam internal partai, sekaligus merupakan salah satu langkah strategis pengamanan si "bocah angel" dalam koalisi Gerindra.

Kalau melihat rekam jejak koalisi Gerindra-PKS yang terjalin sejak 2014 lalu, PKS memang kerap kali bermanuver menaikkan posisi tawar dengan menyodorkan nama capres, lalu turun jadi cawapres dan akhirnya mentok bersikukuh meminta kursi DKI II.

Padahal, seharusnya PKS yang menyabet 6 kemenangan dalam Pilkada serentak 2018 ini, bisa meminta jatah lebih lantaran Gerindra sendiri sebenarnya termasuk medioker dalam pilkada serentak.

Tapi nyatanya, Gerindra yang hanya mengantongi 3 kemenangan tersebut, malah nampak powerful dan masih mungkin mengontrol PKS, terlebih dengan rontoknya konsolidasi internal PKS akibat 4 masalah besar ini:

Pertama, Lemahnya kohesivitas PKS. Tidak adanya tokoh sentral pemersatu, membuat PKS diambang konflik internal yang barangkali bisa berujung senjakala partai berasas Islam ini. Bagaimana tidak, partai yang akronimnya pernah tenar diplesetkan menjadi "Partai Korupsi Sapi" lantaran tertangkapnya sang mantan presiden Luthfi Hasan Ishaaq akibat terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait impor daging sapi pada 2013 silam ini, mulai kehilangan sosok pemersatu.

Begitupun kalau kita melompat ke gelanggang konstestasi politik jelang pilpres 2019, keretakan internal PKS terendus publik dengan munculnya isu bahwa loyalis mantan presiden PKS Anis Matta melakukan perlawanan karena PKS dituding ingin melakukan "pembersihan" loyalis sang mantan. Keputusan itu pun diambil karena beredar kabar Anis Matta merencanakan G30S PKS (Gerakan 30 Syaikh Pemimpin Kelompok Sebelah) untuk merebut PKS pada 2020 mendatang.

Rupanya, hulu keretakan PKS adalah sikap saling mensyuudzoni satu sama lain yang berujung chaos internal. Tuding-menuding ini, sebenarnya bisa dibaca dari tidak solidnya pemimpin PKS tuk menjadi tokoh kohesif alias pemersatu bagi para pengurus partai juga konstituen. Kalau sudah begini, bisakah PKS memainkan posisi tawar lebih? Saya tidak yakin. Ruang kendali DKI akan tetap dalam kuasa Gerindra. Sedangkan PKS, barangkali hanya mengikuti ritme permainan Gerindra ke depannya.

Kedua, Terpaan kasus korupsi. Tahun 2018 ini saja, beberapa politisi PKS terjaring kasus korupsi dan berakhir vonis "menginap" di rumah tahanan (rutan). Di awal tahun ini, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana Adia dituntut 9 tahun penjara oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap proyek di Kementerian PUPR.

Diselingi beberapa kisruh PKS lainnya, jelang akhir tahun, tepatnya Agustus lalu, Polresta Depok menetapkan bekas Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail yang juga kader PKS ini sebagai tersangka korupsi proyek pengadaan lahan untuk pelebaran Jalan Nangka, Tapos, Depok.

Malangnya dari kasus korupsi ini, para kader dan politisi PKS tersebut terlihat berjuang seorang diri untuk meloloskan diri dari jerat hukum. PKS sendiri malah terlihat cuci tangan dan amat kentara mengeluarkan pernyataan diplomatis yang akrab kita dengar seperti ini, "kami menyerahkan kasus ini pada proses hukum".

Hal ini pun disesali Fahri Hamzah yang bercuit di twitter bahwa PKS tak mencerminkan kebersamaan. Kalau ini dibiarkan, friksi internal PKS akan makin meluas dengan menjamurnya kader sakit hati yang merasa ditinggal sang induk ketika mereka bermasalah. Gawat iki!

Ketiga, Keretakan dalam kepengurusan partai. Nah, di penghujung Oktober kemarin, muncul kekisruhan internal PKS yang tengah santer diperbincangkan publik. Lah, bagaimana tidak viral,  para kader dan pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) Bali ramai-ramai menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan maupun sebagai kader partai.

Pernyataan itu bahkan dilakukan dengan cara beramai-ramai mendatangi kantor PKS di Jalan Tukad Ho, Renon, Kota Denpasar, sambil membentangkan spanduk bertuliskan "Seluruh Kader dan Pengurus PKS se-Bali Mengundurkan Diri".

Menurut Ketua Demisioner DPW PKS Bali Mudjiono, seluruh pengurus dan kader PKS mengundurkan diri karena kecewa terhadap keputusan DPP PKS yang dinilai tidak demokratis. Alasannya yang dilansir kompascom: 

Pertama, penggantian kepengurusan adalah bentuk otoritarianisme DPP PKS dengan menabrak AD/ART dan persekusi terhadap kader yang dituduh tidak loyal. Kedua, DPP PKS antidemokrasi, pimpinan PKS menutup pintu dialog dan perbedaan pandangan. Ketiga, sikap dan tindakan pimpinan PKS berbeda jauh dengan nilai-nilai Islam yang menjadi identitas PKS selama ini. Keempat, pembelahan pimpinan PKS sejak 2016 secara sistematis, konflik dan pemecatan di dalam tubuh PKS yang membuat PKS kehilangan kekuatannya, khususnya menghadapi Pemilu 2019.

Jika ditelisik lebih jauh, akar permasalahan bukan hanya menyoal sikap keliru para pemimpin PKS yang justru merobek kerekatan para kader tapi kesadarannya sudah sampai pada level penyimpangan terhadap ideologi partai. Mujiono pun mengklaim, ada sekitar 4.600 kader dan pengurus PKS di Bali yang mengundurkan diri dari partai. Lalu, ia pun mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Bali, khususnya atas dukungannya selama ini. Dia mohon maaf harus menempuh cara ini karena sudah tidak efektif lagi berjuang lewat PKS. Duh, Bang Mudjiono sudah lelah berjuang dengan PKS?

Keempat, Faksi dalam PKS. Kalau kita menyimak pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah belakangan ini, rasanya kita bisa setuju bahwa menurutnya Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) menjadi tanda akhir dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurutnya Garbi lahir dari ketidak harmonisan "rumah tangga" PKS, dimana banyak anak-anak muda kader partai yang sudah merasa tak sejalan lagi, bahkan banyak kader yang ngambek karena suara mereka tak dihiraukan PKS.

Di sisi lain, secara naratif, bisa jadi Fahri ingin membangun sebuah jalan cerita untuk menggaet para barisan sakit hati PKS yang merasa terdzolimi. Mengapa begitu? Kita sama-sama tahu kalau seorang Fahri pun termasuk barisan politikus PKS yang disingkirkan oleh kelompok Sohibul Iman, Presiden PKS saat ini, yang berimbas ia tak lagi diajukan sebagai calon anggota legislatif pada 2019. "Sakitnya, tuh, di sini" begitu kata pedangdut cantik nan imut Cita Citata.

Tak hanya itu, seperti yang disinggung di awal tulisan, gejolak internal PKS terendus publik dengan munculnya isu bahwa loyalis mantan presiden PKS Anis Matta melakukan perlawanan karena PKS dituding ingin melakukan "pembersihan" loyalis sang mantan. Keputusna itu pun diambil karena beredar kabar Anis Matta merencanakan G30S PKS (Gerakan 30 Syaikh Pemimpin Kelompok Sebelah) untuk merebut PKS pada 2020 mendatang.

Kalau sudah sebegini rapuhnya partai besutan Sohibul Iman, tak menutup kemungkinan PKS akan terus mengalami turbulensi politik yang ujung-ujungnya boleh jadi akan mendapat lambaian tangan "sayonara" dari masyarakat. Kalau tak jeli melakukan langkah prioritas tuk menyeimbangkan posisi terbang PKS saat ini, para awak kabin dan penumpang (konstituen dan kader) terancam dalam bahaya.

 Lantas, mampukah PKS selamat dari turbulensi ini? Kita tunggu saja bagaimana strategi manajemen konflik yang dijalankan partai berlambang bulan sabit emas dan untaian padi tersebut. Jangan sampai, Gerindra leluasa mengocek langkah politik PKS ke depan.

***