Mengapa Megawati Tak Menaruh Dendam pada Soeharto?

Rabu, 9 Januari 2019 | 18:55 WIB
2
5075
Mengapa Megawati Tak Menaruh Dendam pada Soeharto?
Soekarno dan Soeharto (Foto: Tribunnews.com)

Salah satu revolusi mental yang ditawarkan pemerintahan kali ini adalah tumbuh-kembang karakter positif. Dalam salah satu acara Presiden mengatakan, tulislah dan khabarkan atau wartakan hal-hal yang positif.

Ada pemikiran positif yang perlu ditumbuhkembangkan. Senada adalah ketika Presiden juga bertanya mengapa ketika sukses tidak ada demo ke Istana. Hal yang seolah sepele, remeh, dan tidak penting.

Cukup menarik sebenarnya bagaimana kita sebagai bangsa lebih sering berkutat pada hal yang negatif, pusat penilaian yang kurang baik dan buruk semata. Seolah di dalam kertas putih yang ada noda itu menjadi yang utama. Kertas putih bernoda, bukan noda di kertas putih yang sepatutnya dilakukan.

Hal yang identik juga terjadi di dalam pemerintahan berbangsa ini, bagaimana presiden yang sudah usai jabatannya ada sebutan mantan, bekas, kesan yang sudah usang, menjadi lebih kuat. Pola-pola ini yang harus menjadi perhatian, sehingga tidak hanya melihat yang jelek saja di dalam diri pejabat lama. Kebaikan dan puja-puji hanya dalam seremoni, ucapan pisah sambut saja.

Mematikan atau membunuh karakter memang sangat mudah di tengah kehidupan bersama kita. Apalagi dengan marak dan murahnya media sosial. Menyerang orang bukan pada tulisan, jika berbicara pada tulisan, memakin, menjelek-jelekan melebihi proporsi, dan melihat perbedaan sebagai bekal permusuhan jelas menjadi bukti pembunuhan karakter dalam arti sempit.

Salah satu pembunuhan karakter terbesar dan paling hebat adalah yang berkaitan dengan Sukarno di era Orde Baru. Bagaimana tidak, berbicara mengenai pemikiran Sukarno saja sudah akan mendapatkan label komunis. Berbicara nama Sukarno saja bisa berkepanjangan urusannya.

Era Orde Baru Pancasila sedemian sakralnya, namun penggali dan perumus Pancasila itu sama sekali tidak boleh dibicarakan, karena bisa terkena stempel subversi, perongrong Pancasila, dan sebagainya. Dan itu cukup lama.

Itu bagi rakyat kebanyakan, lha apalagi keluarga Sukarno. Dalam sebuah wawancara di acara televisi Megawati pernah berkisah, sambil menahan antara haru dan sedih ia menceritakan pernah naik kereta bareng dengan penjual ayam. Hal yang tidak akan pernah dialami oleh para anak presiden siapapun di Indonesia.  Mengapa harus demikian? Karena perlakuan presiden pengganti bapaknya.

Kuliah pun harus dihentikan di tengah jalan, mau jadi ini dan itu dilarang atau atas restu Soeharto baru boleh, tentu tidak terus terang, namun bisa terjadi tiba-tiba batal dan sebagainya. Pembunuhan karakter yang cukup jelas dan benar-benar terjadi.

Sejarah ternyata berbalik, usai Soeharto jatuh, dan nama yang cukup santer ternyata salah satu anak Sukarno, yaitu Megawati. Sangat mudah sebenarnya untuk melakukan hal yang sama, bagaimana Megawati yang memenangkan pemilu melakukan hal yang identik kepada Soeharto. Kondisi memang jauh berbeda perpolitikan antara Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke era reformasi, namun jika mau, Mega bisa berbuat yang sama dengan terhadap Soeharto.

Alasan digulingkannya Soeharto itu jelas adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme di mana-mana. Jelas ada perilaku kriminal di antara anak-anak Soeharto. Toh penegakan hukum dengan cara tangan besi dipilih untuk tidak dilakukan. Cukup banyak alasan dipakai untuk membenarkan pilihan politis, toh tidak itu yang dilakukan.

Dalam sebuah pernyataan bahkan Megawati mengatakan jangan hujat Soeharto. Hal yang patut disimak sebagai seorang negarawati di atas politikus yang hanya demi kursi sehingga saling hujat semata, kadang tidak berdasar sama sekali malah. Pilihan baik di tengah tabiat buruk.

Sikap balas dendam tidak akan ada habis-habisnya, negara justru akan kehilangan banyak potensi  yang terbuang hanya karena kebencian dan kepentingan pribadi dan kelompok. Hal positif dan baik yang patut mendapatkan apresiasi. Alasan itu tersedia, toh dipilih untuk tidak dibesar-besarkan dan bisa menjadi kekuatan jika berbicara untuk memperoleh kekuasaan semata.

Pembelajaran sakit hati yang ia terima itu tidak ditularkan bagi bangsa dan negara secara keseluruhan. Pengalaman buruk yang ia jadikan bahan untuk menjadi politikus berkarakter, ini dibuktikan di dalam bernegara. Pimpinan oposisi yang bermartabat meskipun menang pemilu diperlakukan dengan tidak adil juga bersikap normatif, tidak melakukan boikot dengan kekuatan jumlah kursi dan sejenisnya.

Dalam sebuah tayangan media, Sekjend PDI-P, Hasto mengatakan, mau menang atau kalah pemilu itu lima tahun, menang lima tahun, kalah juga lima tahun. Semua ada periodenya, semua ada waktunya, dan semuanya terbatas. Mengapa menghabiskan energi yang seolah-olah itu kekal dan akan tak terbatas.  Ini jelas representasi kematangan di dalam berpolitik, di mana di tengah gempuran politik yang menggunakan segala cara, dan fokus hanya pada kursi dan kekuasaan semata.

Menumbuhkan dan menghidupkan karakter menjadi sebentuk upaya baik di antara pembunuhan karakter yang tidak ada habis-habisnya. Kampanye mengandalkan kebohongan, menebar fitnah, mengubah persepsi dengan data yang diselewengkan, dan aneka pilihan buruk lainnya.

Pemilu mengandalkan sentimen SARA yang penting menang dan melupakan esensi pesta dalam demokrasi. Perang dan pertempuran sebagai wacana dalam pemilu adalah jelas mengerdilkan karakter bangsa yang sedang menapaki dunia demokrasi yang seharusnya menggembirakan, menyenangkan, dan memberikan harapan.

Ada pilihan di depan mata, bagaimana mau memilih menumbuhkan atau membunuh karakter anak bangsa? Itu semua ada di tangan kita.

Salam.

***