Ka eL Be

Tujuan berpolitik adalah tiga: untuk mempertahankan kekuasaan, untuk menambah kekuasaan, dan untuk menunjukkan kekuasaan.

Senin, 8 Maret 2021 | 08:08 WIB
0
166
Ka eL Be
Kudeta Myanmar (Foto: Kompas.com)

I

Politikik riil adalah pertarungan kekuatan. Pertarungan kekuatan untuk memperoleh kekuasaan. Maka itu,  dalam praktik, tidak jarang bahwa kekuasaan diperoleh lewat kekerasan. Kemudian, hukum akan melegitimasi sesudahnya. Namun legitimasi tersebut berpengaruh terhadap ketulusan dukungan warga negara.

Contoh paling mutakhir adalah kudeta militer di Mynmar. Tanggal 1 Februari silam, militer di bawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing mengambilalih kekuasaan dari pemerintahan sipil. Tindakan militer itu ditentang rakyat yang hingga kini terus melakukan perlawanan.

Tahun 2013, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi menyingkirkan Presiden Mohamad Morsi, presiden yang dipilih secara demokratis. Tindakan Al-Sisi—ini yang beda dengan yang terjadi di Myanmar—didukung oleh rakyat, partai-partai politik yang menentang pemerintahan Morsi. Tahun 1999, pemimpin militer Pakistan Jenderal Pervez Musharraf mendepak pemerintahan sipil pimpinan PM Nawaz Sharif, lewat kudeta.

Meskipun Nawaz Sharif digulingkan dengan cara yang tidak demokratis, tidak ada perlawanan terhadap kudeta Musharraf. Orang-orang yang kecewa tidak mau repot-repot turun ke jalan baik untuk mendukung demokrasi atau sekadar menentang pengambilalihan militer. Sebelumnya, Jenderal Zia ul-Haq mengkudeta Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto, lalu memberlakukan undang-undang darurat.

II

Dalam dunia politik, perebutan kekuasaan adalah sesuatu yang wajar. Sebab, bila dilihat dari motif berpolitik, menurut Hans Joachim Morgenthau seorang ilmuwan politik Jerman-Amerika (1904-1980), pada dasarnya tujuan berpolitik adalah tiga: untuk mempertahankan kekuasaan, untuk menambah kekuasaan, dan untuk menunjukkan kekuasaan.

Tetapi, sebelum ketiga hal tersebut, hal pertama yang harus dilakukan adalah merebut, meraih kekuasaan. Bagaimana memperoleh kekuasaan? “Lakukanlah segala cara!” Begitu pesan Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Karena itu, menurut Machiavelli, kekuasaan harus dilepaskan dari moral dan teologi. Kekuasaan dan etika politik adalah dua dunia yang berbeda. Filsafat politik dan etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang keras itu. Jadi, Machiavelli berkeyakinan bahwa tidak ada hukum yang bisa memaksakan, kecuali kekuasaan. Karena itu, kekuasaan atau memiliki kekuasaan menjadi tujuan utama dan diraih dengan segala cara. Itulah tujuan politik kekuasaan.

Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa orang yang sifatnya murni politik akan menjadi binatang buas. Sebab seperti pepatah lama, Mater saeva Cupidinum yang secara bebas dapat diartikan, nafsu itu bisa menjadi sangat kejam. Apalagi nafsu berkuasa.

Nafsu berkuasa yang berlebih itu seringkali membuat seseorang buta atau menjadi tidak rasional dan bodoh. Tidak mampu mengukur dirinya; baik dari sisi kompetensi maupun akseptabilitasnya. Bahkan lebih dari itu, tidak jarang dia akan berbuat segala sesuatu yang melanggar etika dan moral guna menjatuhkan lawannya demi meraih kemenangan, seperti dikatakan Machiavelli.

Baca Juga: Moeldoko di Ujung Tanduk

Jika demikian, maka politik tidak bisa lagi disebut sebagai seni, seperti definisi selama ini. Paling tidak menurut Otto von Bismarck (1815-1898) Perdana Menteri Prussia, politik adalah seni kemungkinan, yang bisa dicapai-seni terbaik berikutnya. Politik disebut seni, karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, bukan pula kebohongan, dan bukan melalui kekerasan (Haryatmoko: 2003), ancaman, teror, fitnah, berita hoax, memutar-balikan fakta, pengerahan massa dan sebagainya.

Berpolitik seperti itu, mengingkari mission sacre tugas suci politik yakni tanda dan sarana keselamatan; membawa kebajikan untuk banyak orang, bukan hanya untuk pribadi, keluarga, golongan, kelompoknya atau segelintir orang, namun untuk seluruh lapisan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya. Kesalehan politik adalah kesalehan yang amat tinggi sebab ia mencakup kesalehan pribadi, kesalehan sosial, kesalehan lingkungan, dan kepedulian terhadap segenap bangsa dan kemanusiaan.

III

Di negeri kita, sejarah mengisahkan banyak cerita tentang bagaimana seseorang merebut kekuasaan. Kisah Ken Arok (yang merebut kekuasaan dari Akuwu Tumapel Tunggul Ametung) berbeda dengan kisah Joko Tingkir membangun jalan untuk memperoleh kekuasaan (dengan melakukan rekayasa “pemberontakan”); juga berbeda dengan kisah Kisah Sutawijaya (menyingkirkan Adipati Jipang Arya Penangsang menjadi pintu memperoleh kekuasaan).

Lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta contoh lain dari perebutan kekekuasaan. Bermula dari perselisihan di antara anggota Keluarga Kasunanan Surakarta—Pangeran Mangkubumi, Susuhanan Pakubuwana III, dan Raden Mas Said—berujung ke perang saudara dan keterlibatan penjajah Belanda melalui VOC. Akhir dari perang saudara itu, lahirlah Kasultanan Ngayogyakarta (Perjanjian Giyanti 1755), kemudian Kadipaten Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757), dan di waktu lain, lahir Kadipaten Pakualaman (1812, setelah Geger Spei).

Cara lain untuk merebut kekuasaan dilakukan oleh sekelompok Senator dengan membunuh Julius Caesar, zaman Romawi.

Di antara para Senator yang kerap disebut sebagai pembunuh Caesar adalah Brutus. Selain Brutus, yang lain adalah Decimus Junius dan Gaius Cassius Longinus. Meskipun pada akhirnya mereka tidak menikmati kekuasaan. Mereka dibunuh. Cara ini disebut sebagai cara seorang pengecut: menusuk dari belakang.

Yang dilakukan Ken Arok, misalnya, tindakan anti-moralitas yakni meraih, merebut kekuasaan dengan membunuh pemegang dan pemilik kekuasaan. Menurut Bertrand Russel (1946) anti-moralitas dalam mencapai kekuasaan merupakan inti dari pemikiran Machiavelli. Itu yang dilakukan Ken Arok.  Kekuasaan, memang, telah membutakan mata dan mata hati Ken Arok.

Lalu bagaimana dengan Ka El Be? Kongres Luar Biasa? Di jagat politik Indonesia hal semacam itu—yang namanya bisa berbeda-beda misalnya KLB, Munaslub, atau yang lain—yang biasanya dikatakan sebagai bagian dari “dinamika politik”,  bukan hal langka dan baru. Hanya cara yang dipilih berbeda: cara Ken Arok, cara Jaka Tingkir, cara Sutawijaya, cara Pangeran Mangkubumi dan Mas Said atau cara Brutus atau cara yang lain lagi.

Kisruh partai politik yang berujung pada lahirnya partai baru, juga tidak sekali terjadi. Sebab, sebenarnya, perebutan kekuasaan adalah universal dalam ruang dan waktu dan merupakan fakta pengalaman yang tidak bisa dibendung. Mengapa? Sebab, politik selalu kembali ke sifat manusia, atau “dorongan bio-psikologis” untuk hidup, berkembang biak, dan mendominasi.

Baca Juga: Sibolangit dan Moeldoko Ginting

Apalagi, kekuasaan selalu dikatakan tremendum (kata latin tremendum berarti: mendahsyatkan atau menggentarkan) dan fascinosum (kata latin fascinans berarti mengasyikkan atau menggemarkan). Karena itu, Machiavelli berkesimpulan betapa mustahilnya membangun kekuasaan atas dasar moral. Baginya, politik dan moral merupakan dua bidang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya.

Bahkan, menurut Machiavelli, dalam urusan politik perhatian terhadap norma-norma moral tidak pada tempatnya. Yang diperhitungkan hanyalah sukses. Meskipun demikian, Machiavelli berkeyakinan bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya.

Maka adalah wajar kalau ada pertanyaan, adakah politik sekarang ini demi merayakan kemanusiaan? Artinya, tujuan berpolitik bukan demi kekuasaan pada dirinya sendiri, melainkan demi merayakan kemanusiaan, terutama kelompok massa yang dimarginalisasikan oleh kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan diskriminasi.

Harus diakui bahwa dalam praktiknya selama ini tidaklah demikian. Tujuan politik adalah untuk memenuhi nafsu, memuaskan nafsu kekuasaan belaka. Maka, terjadilah perebutan kekuasaan.

***