Pers abad ini, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Entah berkait jumlah tiras atau pembaca, juga iklan. Karena dunia berubah, karakter dan bentuk medianya juga.
Berbekal pemahaman hasil Pilpres 2019, di mana Jokowi dipilih sekian persen pemilik hak suara, dan lawan Jokowi sekian persen (dengan selisih tak jauh-jauh amat), seorang pendaku ahli pemasaran akan melihat; Ada ceruk pasar dengan dua warna berbeda.
Dengan dalil konvensional itu, seorang oportunis akan memanfaatkan salah satunya, untuk mendapat dukungan bagi gerakan-gerakannya. Para lawan Jokowi, dengan segera melihat ada potensi pasar sekian persen, untuk diraih dukungannya. Dengan cara sebagai oposan.
Jika bicara soal kualitas demokratisasi, para oposan lebih menunjukkan adab yang receh. Terbatas memainkan sentimen publik atau potensi pasar itu. Namun apakah jika yang mendaku oposan Jokowi, dengan sendirinya akan mendapat dukungan dari yang tak memilih Jokowi? Tidak sesederhana itu.
Proses demokratisasi bersifat temporer, tidak ajeg. Mereka yang mendaku konsultan marketing politic, bisa salah hitung. Apalagi sifat dan sikap masyarakat terhadap hal itu, sangat dinamis. Persentase yang didapat Jokowi, juga lawannya, bisa bertambah dan berkurang. Seiring waktu, tergantung pada centhelan.
Apa centhelannya? Tentu situasi-situasi, kondisi-kondisi, dan toleransi-toleransi (dalam kata lain kompromi-kompromi) yang terjadi. Jangan tiga hal tersebut dijadikan akronim. Kurangi kecenderungan itu, yang dulu jaman Orbasoe banyak dipakai tentara.
Lagi pula, tak dengan sendirinya, atau serta merta, yang tidak memilih A akan memilih B. Apalagi kalau ada C, D, dan lainnya. Karena bagaimana pun mereka juga harus dinilai. Tak ada teori tunggal. Tak ada konfigurasi yang bersifat matematis dan tepat.
Apakah gerakan Kamidin yang diinisiasi Dien Syamsuddin cum-suis akan didukung sebanyak yang tak memilih Jokowi, sebagai sasaran tembak Kamidin? Dengan segera bisa dijawab tidak.
Yang pertama, Kamidin bukan representasi dari yang mendapat suara dari Pilpres 2019. Mungkin saja ada faktor beberapa kesamaan, namun bukan dominan. Kecuali, secara kualitatif Kamidin bisa menggantikan sosok lawan Jokowi.
Sayangnya, dari sisi reputasi dan moral politik, kelompok Kamidin tak representatif. Dari sejak awal, melihat cara-cara yang dipakai, tidak sangat meyakinkan. Jangankan melawan Jokowi, melawan netizen saja, gerakan Kamidin tidak mempunyai daya tawar memadai.
Belum-belum sudah playing victim, sebagai tanda mereka hanya berangkat dengan sentimen negatif. Namun tak mampu mengolah menjadikan sentimen positif bagi dirinya. Pernyataan-pernyataan mereka, membuka topeng dan bobroknya sendiri.
Yang menyedihkan, oportunisme juga muncul di media. Menghitung jumlah yang tidak memilih Jokowi sebagai ceruk pasar baru. Tentunya tetap dengan jargon yang gencar disampaikan, memperjuangan kebebasan pers. Padal, di jaman digital ini, menghadap-hadapkan kebebasan pers dengan kekuasaan (pemerintahan, politik), menunjukkan ketidakmampuan melihat masalah. Atau mencoba mengaburkan masalah sebenarnya.
Pers abad ini, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Entah berkait jumlah tiras atau pembaca, juga iklan. Karena dunia berubah, karakter dan bentuk medianya juga.
Ketika media dipakai untuk kepentingannya sendiri, termasuk kepentingan owner, investor, omong kosong dengan jargon kebebasan pers. Sejak dulu, buruk muka pers dibelah, tapi bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh orientasi institusi pers itu sendiri, dan atau kepentingan para pemiliknya.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews