Siasat Marketing Oportunis

Pers abad ini, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Entah berkait jumlah tiras atau pembaca, juga iklan. Karena dunia berubah, karakter dan bentuk medianya juga.

Senin, 7 September 2020 | 21:52 WIB
0
272
Siasat Marketing Oportunis
Ilustrasi (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Berbekal pemahaman hasil Pilpres 2019, di mana Jokowi dipilih sekian persen pemilik hak suara, dan lawan Jokowi sekian persen (dengan selisih tak jauh-jauh amat), seorang pendaku ahli pemasaran akan melihat; Ada ceruk pasar dengan dua warna berbeda.

Dengan dalil konvensional itu, seorang oportunis akan memanfaatkan salah satunya, untuk mendapat dukungan bagi gerakan-gerakannya. Para lawan Jokowi, dengan segera melihat ada potensi pasar sekian persen, untuk diraih dukungannya. Dengan cara sebagai oposan.

Jika bicara soal kualitas demokratisasi, para oposan lebih menunjukkan adab yang receh. Terbatas memainkan sentimen publik atau potensi pasar itu. Namun apakah jika yang mendaku oposan Jokowi, dengan sendirinya akan mendapat dukungan dari yang tak memilih Jokowi? Tidak sesederhana itu.

Proses demokratisasi bersifat temporer, tidak ajeg. Mereka yang mendaku konsultan marketing politic, bisa salah hitung. Apalagi sifat dan sikap masyarakat terhadap hal itu, sangat dinamis. Persentase yang didapat Jokowi, juga lawannya, bisa bertambah dan berkurang. Seiring waktu, tergantung pada centhelan.

Apa centhelannya? Tentu situasi-situasi, kondisi-kondisi, dan toleransi-toleransi (dalam kata lain kompromi-kompromi) yang terjadi. Jangan tiga hal tersebut dijadikan akronim. Kurangi kecenderungan itu, yang dulu jaman Orbasoe banyak dipakai tentara.

Lagi pula, tak dengan sendirinya, atau serta merta, yang tidak memilih A akan memilih B. Apalagi kalau ada C, D, dan lainnya. Karena bagaimana pun mereka juga harus dinilai. Tak ada teori tunggal. Tak ada konfigurasi yang bersifat matematis dan tepat.

Apakah gerakan Kamidin yang diinisiasi Dien Syamsuddin cum-suis akan didukung sebanyak yang tak memilih Jokowi, sebagai sasaran tembak Kamidin? Dengan segera bisa dijawab tidak.

Yang pertama, Kamidin bukan representasi dari yang mendapat suara dari Pilpres 2019. Mungkin saja ada faktor beberapa kesamaan, namun bukan dominan. Kecuali, secara kualitatif Kamidin bisa menggantikan sosok lawan Jokowi.

Sayangnya, dari sisi reputasi dan moral politik, kelompok Kamidin tak representatif. Dari sejak awal, melihat cara-cara yang dipakai, tidak sangat meyakinkan. Jangankan melawan Jokowi, melawan netizen saja, gerakan Kamidin tidak mempunyai daya tawar memadai.

Belum-belum sudah playing victim, sebagai tanda mereka hanya berangkat dengan sentimen negatif. Namun tak mampu mengolah menjadikan sentimen positif bagi dirinya. Pernyataan-pernyataan mereka, membuka topeng dan bobroknya sendiri.

Yang menyedihkan, oportunisme juga muncul di media. Menghitung jumlah yang tidak memilih Jokowi sebagai ceruk pasar baru. Tentunya tetap dengan jargon yang gencar disampaikan, memperjuangan kebebasan pers. Padal, di jaman digital ini, menghadap-hadapkan kebebasan pers dengan kekuasaan (pemerintahan, politik), menunjukkan ketidakmampuan melihat masalah. Atau mencoba mengaburkan masalah sebenarnya.

Pers abad ini, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Entah berkait jumlah tiras atau pembaca, juga iklan. Karena dunia berubah, karakter dan bentuk medianya juga.

Ketika media dipakai untuk kepentingannya sendiri, termasuk kepentingan owner, investor, omong kosong dengan jargon kebebasan pers. Sejak dulu, buruk muka pers dibelah, tapi bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh orientasi institusi pers itu sendiri, dan atau kepentingan para pemiliknya.

@sunardianwirodono