Tio Oen Bik, Tionghoa Indonesia yang Jadi Sosok Perdamaian Dunia

Pengabdian tanpa kenal lelah dan tulus dilakukan oleh Tio Oen Bik kepada masyarakat Bojonegoro. Tanpa pandang ras dan agama dirinya mau menolong siapa pun yang sedang membutuhkan.

Jumat, 11 September 2020 | 06:22 WIB
0
246
Tio Oen Bik, Tionghoa Indonesia yang Jadi Sosok Perdamaian Dunia
Tio Oen Bik

Perang Sipil Spanyol yang berlangsung sejak 1936-1939 memang tak berkaitan langsung dengan Indonesia. Apalagi mengingat peristiwa itu merupakan konflik yang dipicu oleh kudeta militer Jenderal Franco terhadap pemerintahan demokratik yang sah di bawah Presiden Manuel Azana.

Kendati demikian, siapa sangka ada sesosok tokoh Tionghoa asal Indonesia yang turut mengambil bagian dari peristiwa dalam sejarah dunia itu. Ya, dia adalah Tio Oen Bik.

Keikutsertaannya ini berawal pada 1929, yakni ketika Tio menempuh pendidikan lanjutan di bidang kedokteran di Unversiteit van Amsterdam (UVA), Belanda.

Di Belanda, Tio dikenal aktif dalam gerakan politik pembebasan nasional Indonesia. Dirinya bahkan mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia (SPTI). Disamping kuliah dan kepeduliannya terhadap Indonesia, Tio juga aktif dalam gerakan internasional.

Tio Oen Bik berjuang melakukan diplomasi agar bisa mendapat dukungan internasional untuk upaya membantu kemerdekaan Indonesia. Dirinya dikenal sebagai tokoh cinta damai yang menolak peperangan karena bisa membuat dunia menderita.

ia berpartisipasi dalam kongres Anti-Perang Sedunia di Amsterdam. Ia juga diketahui membantu para pelaut Asia yang kesulitan pulang ke kampung halaman karena depresi ekonomi sepanjang 1930-an.

Tak hanya upaya perdamaian, Tio Oen Bik juga berjuang melawan rezim fasis di Eropa. Dirinya turut membantu korban perang fasis di Spanyol dengan bertugas sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit rehabilitasi korban perang di kota Mahora, provinsi Albacete, sebelah tenggara Madrid selama setahun.

Usai berjuang di Spanyol, Tio Oen Bik kembali ke tanah air pada tahun 1953. Kemudian ia memutuskan untuk mengabdikan diri dengan bekerja di pusat penanganan penyakit lepra. Beberapa tahun setelahnya, ia pindah ke Surabaya dan pada 1960 di Ambon.

Selama bertugas di Ambon dirinya dikenal sebagai sosok dokter yang ramah serta dekat dengan masyarakat sekitar. Tio Oen Bik sering datang ke rumah-rumah warga terutama lansia yang membutuhkan pengobatan.

Sewaktu di Ambon, ia diketahui pernah menikah dengan seorang perawat. Sayangnya pernikahan tersebut tak bertahan lama.

Selanjutnya Tio kembali ke kampung halamannya di Bojonegoro, Jawa Timur. Disana ia menjadi dokter dan tak pernah memungut bayaran sepeser pun dari rakyat kecil.

Kehadiran Tio Oen Bik membuat persepsi warga Bojonegoro akan keterunan Tionghoa berubah. Sosoknya yang rendah hati membawa sang dokter menjadi kesayangan bagi daerah kelahirannya tersebut.

Pengabdian tanpa kenal lelah dan tulus dilakukan oleh Tio Oen Bik kepada masyarakat Bojonegoro. Tanpa pandang ras dan agama dirinya mau menolong siapa pun yang sedang membutuhkan terutama akan kebutuhan medis karena profesinya sebagai dokter.

Tio pun meninggal pada 1966 dalam usia 60 tahun. Meski begitu, Rolf Becker selaku sahabat Tio di Jerman, ia diperkirakan meninggal akibat pembantaian massal yang terjadi pada 1965-1966. Namun menurut saksi lain menyebut bahwa Tio meninggal lantaran sakit.

Oleh: Sony Kusumo