Pemerintah Pusat Telat Ambil Alih Penanganan Banjir

Ucapan harus bisa dibuktikan dengan sebuah tindakan, tidak ada persoalan yang bisa diatasi hanya sekadar dengan ucapan.

Jumat, 3 Januari 2020 | 07:43 WIB
0
597
Pemerintah Pusat Telat Ambil Alih Penanganan Banjir
Foto: Tribunews.com

Penangan banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya akhirnya diambil alih pemerintah pusat, ini adalah tindakan yang tepat agar penanganan banjir bisa diatasi lebih cepat. Sangat perlu pemerintah pusat turun tangan untuk penanganan banjir, karena kerugian dan korban jiwa yang diakibatkan banjir sudah membuat kita prihatin.

Skala prioritas dalam pembangunan memang harus mengacu pada urgensi dan kebutuhan yang paling mendesak. Ketika hal seperti ini diabaikan, maka akibatnya apa yang ingin dicapai malah tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Pembangunan pada hakikatnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang paling mendesak.

Penanganan dan pengelolaan banjir, bagi DKI Jakarta adalah masuk dalam skala prioritas yang harus lebih diutamakan ketimbang hal lainnya. Dan itu sudah harus diantisipasi sebelum musim hujan tiba, namun rupanya monitoring pemerintah pusat terhadap hal ini kurang dicermati, apakah pemerintah DKI Jakarta sudah melaksanakan instruksi atau belum.

Ternyata pengendalian banjir terkendala sejak tahun 2017, kenapa hal ini baru diketahui pemerintah pusat.? Monitoring terhadap kesiapan penanganan banjir tidak berjalan. Target proyek normalisasi Sungai Ciliwung baru berjalan sepanjang 16 kilometer dari 33 kilometer yang direncanakan.

Kendala ini terjadi lebih kepada macetnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemprov DKI Jakarta. Perbedaan persepsi dalam penanganan banjir tidak cepat diatasi, sehingga menjadi kendala yang berlarut-larut, akibatnya ketika banjir melanda maka saling lempar kesalahan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, beranggapan penanganan banjir bukan pada persoalan normalisasi, tapi lebih kepada penanganan di hulunya. Sementara, pemerintah pusat pun sudah turun tangan untuk menangani persoalan di hulunya, dengan membangun dua waduk Ciawi dan Sukamahi, yang direncanakan selesai akhir 2020.

Kalaupun di hulunya sudah diantisipasi, tapi di hilirnya tidak dilakukan apa-apa untuk mengatasi banjir, tetap saja banjir akan terus melanda Jakarta. Inilah perlunya sinergisitas antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta. Mengatasi banjir tidak bisa cuma dengan retorika, karena sudah terbukti retorika tidak menyelesaikan masalah.

Persoalan penanganan banjir di DKI Jakarta tampaknya bukanlah termasuk skala prioritas pemprov DKI Jakarta, dan itu terbukti dengan dipotongnya anggapan penanganan banjir sebesar Rp 500 miliar, dan dialihkan untuk pelaksanaan Formula E 1, yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Padahal ketika musim kemarau berakhir, maka DKI Jakarta akan menghadapi banjir yang sudah menjadi persoalan musiman DKI Jakarta. Namun pemrov DKI Jakarta tidak terlalu perlu memperhatikan hal itu, karena sudah menganggap penanganan banjir bisa diatasi pemerintah pusat.

Ini semua buntut dari perbedaan persepsi dari penanganan banjir yang tidak pernah terselesaikan sejak tahun 2017. Harusnya pemerintah pusat sudah mengambil alih penanganan banjir ini sejak tahun 2017, bukan baru sekarang dipersoalkan, karena sudah ada tanda-tanda perbedaan persepsi dalam soal penanganan banjir.

Anies menunggu langkah pemerintah pusat dalam penanganan banjir, karena dia tetap bersikukuh bahwa penanganan banjir adalah persoalan penanganan di hulunya, bukan soal normalisasi. Sudah terbukti menurut dia, bahwa adanya normalisasi kali di kampung pulo, namun banjir tetap melanda masyarakat di sekitarnya.

Perdebatan panjang persoalan ini harus segera dihentikan. Pemerintah pusat harus bisa membuktikan bahwa normalisasi kali ciliwung dan kali lainnya sangat dibutuhkan untuk mengatasi banjir, disamping juga mengatasi persoalan di hulunya. Kedua hal ini harus dijalankan secara serentak, tidak perlu lagi ada perdebatan jika pemerintah pusat sudah ambil alih penanganan banjir Jakarta dan sekitarnya.

Ucapan harus bisa dibuktikan dengan sebuah tindakan, tidak ada persoalan yang bisa diatasi hanya sekadar dengan ucapan. Seorang eksekutor akan lebih mengutamakan tindakan dari pada ucapan, karena tindakan adalah realisasi dari ucapan. Ucapan tanpa ada tindakan dan tidak bisa direalisasikan hanya akan menjadi omong kosong.

***