Berharap Amien Rais Kembali Jadi Guru Bangsa

Rasanya belum terlambat juga jika kembali berharap ia dapat kembali berperan sebagai guru bangsa.

Minggu, 26 Mei 2019 | 20:16 WIB
0
544
Berharap Amien Rais Kembali Jadi Guru Bangsa
Amien Rais (Foto: Detik.com)

Berpendidikan tinggi, pernah dipandang sebagai guru bangsa, dan memiliki banyak pengagum. Ketiga kelebihan itu tak terpisahkan dari sosok Amien Rais. Tampaknya, hal itu telah menjadi masa lalu, karena belakangan ia lebih gemar menampilkan sisi lain, yang berbeda dari sebelumnya.

Di masa lalu, bagi yang rajin mengikuti pemikiran-pemikirannya seputar kebangsaan dan keindonesiaan, pikiran-pikiran Amien sangat meneduhkan. Buku-buku yang ia tulis pun banyak yang terbilang masterpiece dalam konteks semangat berbangsa. 

Sebab, ia pernah tampil dengan wajah teduh dan pikiran yang memang bergizi. Ia mengalirkan itu setiap kali berjumpa dengan pers, atau ketika ia mengalirkan pikirannya ke dalam tulisan berbentuk opini di koran-koran, atau dalam bentuk buku.

Dalam bentuk buku, ada pemikiran-pemikiran menarik darinya, misalnya dalam karya yang dirilis pada 1998 berlabel Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan. Selain itu, juga terdapat buku-buku bagusnya seperti Menyembuhkan Bangsa yang Sakit (1999), Ijtihad dan Terobosan: Esai-esai Reformasi (1999), atau Kearifan dalam Ketegasan: Renungan Indonesia Baru (1999).

Itu hanya beberapa judul dari banyak buku yang sudah lahir dari sosok Amien Rais. Setidaknya, buku-buku itu hampir bisa dipastikan ada di rak-rak buku para intelektual ternama. Sebab, di sanalah ia mengalirkan banyak pikirannya seputar keindonesiaan dan kemasyarakatan. 

Ringkasnya, jika mengacu kepada pemikirannya di masa lalu, Amien Rais memang pantas dikatakan sebagai seorang tokoh yang pantas untuk dikagumi.

Sayangnya, itu hanyalah cerita masa lalu. Setelah di masa lalu pernah melejit, belakangan ini kian terkesan berbelit-belit, karena tak terlihat ketegasan jelas atas apa yang sebenarnya yang ia inginkan dan ia perjuangkan.

Jika di masa lalu pikiran-pikirannya cenderung beraroma bagaimana memastikan kesejahteraan rakyat dan membangun sebuah bangsa yang acap "dicibir" sebagai penghuni dunia ketiga, dan menghargai perbedaan, belakangan sangat bertolak belakang.

Amien dulu bukanlah Amien sekarang. Tampaknya inilah yang pantas diungkapkan tiap berbicara tentang sosok doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, tersebut. 

Sosok yang di masa lalu terbilang inklusif dengan pandangan yang dapat dipastikan terbuka, kini lebih memilih menyempitkan ruang konsentrasi dari pikiran-pikirannya. Ia kini kian terkesan sebagai sosok yang gemar berada di ruang terbatas, melihat dengan jarak terbatas, dan tak peduli pada apa yang terjadi di luar ruang yang terjangkau oleh lingkaran terdekatnya.

Maka itu, pemikiran-pemikirannya akhir ini cenderung eksklusif, hanya tertuju untuk kebaikan satu kelompok, dan menihilkan kelompok lainnya. Ia lebih condong mengangkat satu kalangan, dan mengarahkan anak-anak panah menghancurkan kepada kalangan lainnya.

Media-media memang masih rajin meliput apa saja pendapat dan pandangannya atas berbagai persoalan. Namun hampir dapat dipastikan, terutama dalam lima tahun terakhir, pendapat dan pandangannya cenderung beraroma kebencian dan kemarahan.

Baca Juga: Amien Rais Terbangun dari Tidur Panjang

Kata-kata yang acap ia munculkan tidak lagi mencerminkan kata-kata yang pantas keluar dari mulut seorang guru bangsa. Alih-alih mengapresiasi perubahan-perubahan positif yang belakangan muncul di Tanah Air, ia lebih banyak mencibir apa saja yang sudah dikerjakan oleh anak-anak bangsanya.

Tahun lalu, misalnya, ia juga sudah mengundang kehebohan ketika ia menuduh langkah pemerintah sebagai kebijakan yang membohongi publik.

Tak berhenti di situ, ia pun melempar pandangan yang membenturkan anak bangsanya, seperti kategorisasi semacam hizbullah (tentara Allah) dengan hizbusy-syaithan (tentara setan). 

Ia menuding partai-partai besar sebagai partai setan, dan menurutnya, yang lebih baik adalah berada di partai besar lainnya, yakni partai Allah. "Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan," katanya, mendefinisikan mana yang ia maksudkan sebagai partai Allah. 

Tak pelak, partai-partai yang berada di lingkarannya seperti PAN, Gerindra, PKS, dikategorikannya sebagai partai Allah, dan lainnya dicap sebagai partai setan. 

Tak berhenti di situ, belakangan pun ia kembali menggulirkan narasi-narasi semacam people power, yang lagi-lagi memantik gonjang-ganjing hingga betul-betul mengalir ke dalam aksi menjurus pada tindakan-tindakan anarkis. Aksi 22 Mei 2019 dapat dikatakan sebagai buah dari narasi people power yang ia lemparkan.

Maka itu tak berlebihan jika intelektual seperti Indria Samego dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) justru menilai pandangan Amien Rais, terutama terkait people power, cenderung sia-sia. 

Sebab, menurut Indria, langkah itu baru dapat dibenarkan jika ada rezim yang memang terbukti memerintah dengan cara-cara otoriter. Sementara sekarang, peneliti LIPI tersebut menilai tidak ada bukti kuat adanya pemerintahan otoriter.

Apalagi di Asia, sejak runtuhnya kekuasaan Ferdinand Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia, tidak ada gelagat adanya pemerintahan otoriter. Terlebih di Indonesia, saat ini terbilang segalanya telah lebih terbuka, dan demokrasi pun dapat dikatakan lebih hidup.

Dari mana bisa mengatakan begitu? Sebut saja aksi terkait dengan Pilpres 2019 saja, pemerintah membiarkan aksi tersebut berjalan. Pengamanan yang dilakukan pun jauh berbeda dibandingkan demonstrasi di masa lalu. Aparat keamanan bahkan tidak dibenarkan untuk membawa peluru tajam.

Maka itu di tengah iklim demokrasi yang dapat dikatakan bagus, dan kondisi bangsa yang tidak mengalami tren semacam yang terjadi di era Orde Baru, ide Amien Rais terbilang mubazir. Bahkan, ia cenderung membenturkan sesama anak bangsa, hanya untuk memaksa satu pihak dapat berkuasa dengan segala cara.

Maka itu, dengan kecenderungan Amien Rais bersama pemikiran teranyarnya yang gemar membenturkan tersebut, rasanya wajar jika semakin banyak orang bertanya-tanya; masih pantaskah ia disebut sebagai guru bangsa? 

Bahkan, tak sedikit yang merespons itu dengan nada meratapi, bahwa dia bukan lagi guru bangsa. Maka, rasanya belum terlambat juga jika kembali berharap ia dapat kembali berperan sebagai guru bangsa. Seorang guru yang semestinya bisa mencerdaskan anak-anak didiknya dengan pikiran baik dan contoh-contoh yang juga baik, hingga negerinya bisa benar-benar lebih baik. Semoga.

***