Ketika Survei Elektabilitas Menjadi Momok Capres dan Warga

Senin, 18 Maret 2019 | 06:36 WIB
0
393
Ketika Survei Elektabilitas Menjadi Momok Capres dan Warga
 
Ilustrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019.(KOMPAS). Sumber gambar : Kompas.com
 
Ketika hasil survei menunjukkan angka lebih kecil dari lawan politik, maka disitulah integritas demokrasi digoda politik setan

Terkadang survei elektabilitas seperti perempuan rupawan nan seksi lewat di depan rumah. Walau si empunya rumah tak ingin melihatnya, tapi serasa terpanggil menoleh sejenak. 

Ketika diberi senyuman, wiiiih....hati senang. Tapi bila dicuekin, maka timbul rasa kesal karena merasa dirinya menarik. Lalu masuk ke dalam rumah, kemudian bercermin dan berpikir "Apakah saya tidak menarik?" Atau kalau memang pede "Banyak yang orang yang suka dengan saya. Peduli amat dengan perempuan tadi" #eeh...

Dalam sejumlah survei elektabilitas pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf Amin lebih tinggi dibandingkan Prabowo-Sandi. Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan angka rata-rata dikisaran 50an persen, sedangkan Prabowo-Sandi dikisaran 30an persen. 

Sebagai contoh salah satu dari lembaga survei yang kredibel dari lembaga LSI; angka tertinggi 58,7 persen untuk Jokowi-Ma'ruf Amin, sedangkan Prabowo-Sandi 30,9 persen.

Bila dilihat dari berbagai hasil lembaga survei, perbedaan tingkat elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin dengan Prabowo-Sandi cukup mencolok, yakni di kisaran 10-20 persen.

Hasil survei elektabilitas bukanlah realitas sesungguhnya dari sebuah kemenangan di Pilpres 2019. Survei eletabilitas hanyalah sebuah prediksi atau perkiraan dengan metode ilmiah yang dilakukan lembaga survei terhadap para pemilik hak suara di dalam kurun waktu tertentu sebelum hari pencoblosan. Realitas sesungguhnya ada pada perhitungan akhir surat suara setelah hari H Pilpres.

Tanggapan Kritis Kubu Pilpres

Adanya rilis berbagai survei elektabilitas memunculkan tanggapan dari kedua kubu capres. Kubu Jokowi-Ma'ruf Amin tidak bereaksi negatif. Mereka menjadikannya acuan tentang pencapaian atau keberadaan mereka sampai saat itu di tengah masyarakat luas.

Strategi dan langkahnya tentu saja sudah disusun sampai menjelang pencoblosan. Semua hal terkait kampanye yang sudah dilakukan makin diperkuat dan disempurnakan lagi untuk kampanye di sisa waktu jelang hari H Pilpres. 

Selain itu mereka menghindari aksi, perilaku dan pernyataan blunder di tengah masyarakat. Dengan demikian bisa menambah keunggulan, atau minimal menjaga jarak keunggulan yang sudah ada.

Sedangkan kubu Prabowo-Sandi bereaksi negatif. Mereka tidak mempercayainya, bahkan beranggapan bahwa lembaga survei itu tidak independen. Ada tudingan survei itu berdasarkan pesanan kubu Jokowi selaku petahana. 

Kemudian kubu Prabowo-Sandi mengklaim sudah membuat survei internal. Hasilnya mereka menang. Elektabilitas Prabowo-Sandi 48 persen dan Jokowi-Ma'ruf Amin "cuma" 46 persen.

Sikap kubu Prabowo-Sandi tersebut sah-sah saja. Hal itu merupakan hak mereka. Tentu saja sikap itu untuk "menenangkan dan menyenangkan" para pendukung militannya yang tersebar di seluruh negeri. Diharapkan para pendukungnya itu tetap yakin akan memenangkan kontestasi Pilpres.

Namun demikian, suka atau tidak suka, walau di depan publik mereka tak mempercayai hasil survei yang beredar, namun di internal kubu Prabowo-Sandi kemungkinan besar "mengambil hikmah" dari hasil survei tersebut. "Ibarat kate nih....si cewek rupawan lewat tetep aja dilirik". 

Setidaknya untuk mengukur pencapaian Prabowo-Sandi di dalam sisa waktu jelang hari H pencoblosan. Ternyata, "Cewek itu kok nggak ngelirik gue, sih?"

 

sumber gambar : liputan6.com
 
Tak bisa dipungkiri bahwa hasil kerja lembaga survei yang kredibel merupakan gambaran atau peta dari kondisi sesungguhnya yang sedang dan akan dihadapi. Hasil survei elektabilitas merupakan produk ilmiah yang tingkat presisinya mendekati realita sesungguhnya. 

Jadi, hasil itu akan relatif sama dengan realitas sesungguhnya bila tidak ada perubahan variabel secara luar biasa di dalam masyarakat pemilih. Atau kondisi dan situasi masyarakat sampai hari H pencoblosan tetap sama dengan saat disurvei.

Artinya, hasil survei yang kredibel bisa menjadi "hasil sesungguhnya" dari perhelatan Pilpres 2019.

Walau kubu Prabowo-Sandi "sukses mengelabui" pendukungnya dengan rilis hasil survei internal, namun fakta hasil survei berbagai lembaga survei yang kredibel telah jadi momok menakutkan bagi mereka. Gambaran kekalahan sudah di depan mata. Lalu apa tindakan di sisa waktu yang hanya sebulan ini?

Mengubah Variabel Survei Elektabilitas

Sebagai dasar berpijak, mereka tidak bisa "membiarkan' kondisi masyarakat menjelang hari H sama dengan saat disurvei oleh berbagai lembaga kredibel tadi, karena hal itu akan membuat mereka kalah. Mereka bagai meneruskan kekalahan saat survei elektabilitas ke kekalahan sesungguhnya usai hari H pencoblosan.

Untuk menang, mereka harus mengubah situasi masyarakat, artinya mengubah beberapa variabel publik sehingga menjadi "mengambang' dan kemudian menjadi pemilih Prabowo-Sandi. Disinilah muncul titik kritis---yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia dimasa mendatang bila mereka menang atau pun kalah.

Secara teoritis, ketika hasil survei menunjukkan angka lebih kecil dari lawan politik, maka disitulah integritas demokrasi digoda politik setan. setan itu menawarkan kemenangan dengan cara-cara tidak etis dan melanggar hukum karena tidak ada lagi pilihan mengingat lawan politik sudah jauh keunggulannya di berbagai aspek. Rebut pemilihnya dengan cara apapun!

Secara garis besar, ada tiga cara, yakni cara yang etis, cara tidak etis dan cara gabungan etis dan tidak etis.

Cara etis yakni dengan berbagai program baru yang sangat luar biasa sehingga sebagian besar masyarakat pemilih "yang sudah memilih dan yang berpotensi memilih" Jokowi-Ma'ruf Amin dari surveri elektabilitas untuk berpaling  ke Prabowo-Sandi pada hari H pencoblosan.

Program itu mampu mengubah variabel publik. Program itu mengubah mindset publik secara total sehingga publik kagum dan menjadikan Prabowo-Sandi pilihan.

Bila cara etis dilakukan dan mereka menang, maka sebagian publik yang tidak memilih mereka tidak menyimpan dendam karena mereka memang layak dan pantas untuk menang. Tidak ada "kubu-kubuan" lagi di dalam bermasyarakat. Efeknya, kehidupan rakyat masa mendatang akan lebih baik dari segala dimensi.

Cara tidak etis misalnya melakukan fitnah secara membabi buta, teror, agitasi, dan ancaman. Selain itu juga membuat kerusuhan di berbagai wilayah Indonesia dengan tujuan mengacaukan variabel dan mendapatkan keuntungan dari perubahan variabel tersebut.

Bila cara tidak etis itu jadi pilihan, maka tercipta "kubu-kubuan permanen"dalam kehidupan masyarakat. Dendam politik dalam masyarakat tak akan berakhir walaupun Prabowo-Sandi memenangkan pilpres. Karena luka batin publik sulit sembuh akibat pilihan cara tidak etis dalam merebut kekuasaan. Semua itu akan jadi catatan sejarah kelam politik dan demokrasi di negeri ini.

Bila cara campuran etis dan tidak etis jadi pilihan, hasilnya relatif sama dengan cara tidak etis. Bagai bercinta namun "ada dusta di antara kita".

Pada dua cara tidak etis dan campuran, tantangan terberat justru ada pada masyarakat itu sendiri untuk bisa menolak atau tidak terhanyut terhadap berbagai aksi tidak etis para elemen politik setan.

Demi Indonesia lebih baik di masa mendatang, kita berharap setelah keluarnya survei elektabilitas yang kredibel dan sisa masa menjelang hari H pencoblosan tidak ada cara-cara tidak etis yang masif dari kubu Prabowo-Sandi. Kalau hal itu mereka lakukan, bukan tidak mungkin lambat laun negara ini akan bubar.

Kita tentu tidak ingin semua itu terjadi.

***