Demikianlah Politik

Kalau Presiden Jokowi memecat Moeldoko sebagai ketua KSP, kita bisa mengatakan istana bersih dari hal itu.

Sabtu, 6 Maret 2021 | 12:44 WIB
0
278
Demikianlah Politik
Moeldoko dan Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: detik.com)

Bagi Moeldoko, untuk menampik tudingan terlibat dalam manuver kekisruhan Partai Demokrat, sesungguhnya gampang. Yakni dengan cara menolak mentah-mentah penunjukannya sebagai ketum PD versi KLB kemarin.

Jika ia menerima, selesai sudah itu barang. Bahwa bekas Panglima TNI itu, memang (terlibat atau tidak terlibat), adalah bagian dari orang-orang yang tak memiliki keseriusan dalam membangun sistem politik dan demokrasi Indonesia.

Senyampang itu, sikap elite internal partai sendiri, juga bermasalah. Mereka mempersoalkan kemunculan anak-anak kemarin sore. Yang tak berdarah-darah. Tak jelas jasanya ke partai. Namun justeru mereka mengundang orang luar (Moeldoko) sebagai ketum. Bukan hanya memunculkan paradoks yang menggelikan, melainkan juga memprihatinkan (pinjem istilah SBY).

Jelas menunjukkan betapa rapuhnya PD sebagai partai politik. Sebagaimana partai-partai politik lain, tak punya fundamen ideologi yang kokoh. Di situ kenapa partai lebih punya ketergantungan, bukan pada visi dan misi atau ideologi partai. Melainkan terbatas pada personae. Itu pun ketokohan dalam pengertian semu. Lebih pada kemampuan financial daripada kemampuan ideological.

Walau pun hal itu bisa dimengerti sebagai bukti jelas; Bagaimana sistem politik kita memang masih menghadapi masalah. Masih bermain di politik biaya tinggi, dengan imbas atau berkorelasi langsung-tak-langsung pada ‘budaya’ korupsi elite politik dan elite aparat pemerintahan. Sehingga fenomena mengundang orang luar (sebagai ketum) marak.

Di Indonesia ini, mungkin kita hanya punya 3 partai politik yang relatif solid. Yakni PDI Perjuangan, PKS, dan PSI. Kata mungkin pada PSI, lebih pada belum solidnya partai anak muda ini dalam membangun jejaringnya ke bawah. Masih terlihat elitis dalam persebarannya.

Di luar tiga partai itu, ada Partai Golkar, yang secara sistem dan manajemen politik relatif lebih liat. Namun ideologi pragmatisnya, yang oportunistik, tak cukup meyakinkan untuk proyeksi dan orientasi Indonesia sebagai negara bangsa. Senyatanya, menteri-menteri pembantu Presiden dari partai ini, dari paska presiden Soeharto, tak memiliki visi yang menonjkol selain menyelamatkan diri dan partainya.

Apakah Moeldoko bekerja sendirian, atau berada dalam sistem politik kita? Sebetulnya juga mudah melihatnya. Yakni, apa pernyataan Presiden Joko Widodo. Jika Presiden membiarkan Ketua KSP (Kantor Sekretariat Presiden) itu bermain dan berulah politik, sebagaimana ditunjukan dalam pidato Moeldoko menyambut keterpilihannya, jelas kita (setidaknya saya) bisa menuding Jokowi terlibat dalam disain pencaplokan PD. Kalau Presiden Jokowi memecat Moeldoko sebagai ketua KSP, kita bisa mengatakan istana bersih dari hal itu.

Baca Juga: Kudeta Moeldoko dan Ujian Berat Pertama AHY

Last but not least, semua itu tak akan terjadi jika di Indonesia ini tak ada manusia bernama SBY. Karena sumber segala bencana, ada di sana. Sejak menjelang Pilpres 2004, ketika ia masih sebagai Menteri Pertambangan era Megawati. Kemudian muncul Partai Demokrat, dari sejak Anie Yudhoyono, Ibas Yudhoyono, hingga akhirnya SBY memotong karir kemiliteran AHY masuk ke politik, dan menjadikannya sebagai ketum PD.

Di situ terlihat partai ini dilahirkan dari sebuah kebaperan pribadi, bukan kebaperan ideologi, kecuali baper adalah ideologinya.

Dibanding ketiga partai yang saya sebut di atas, fundamental PD sangat rapuh. Hanya berada di lingkar pragmatisme politik kekuasan. Karena meski disebut sebagai jenderal inteletual dan pembaca buku, SBY hanya besar tubuhnya. Celakanya, kebaperannya jauh lebih besar lagi. Di situ hukum tabur-tuai berulang. Siapa menabur angin akan menuai badai.

@sunardianwirodono

***