Kudeta Moeldoko dan Ujian Berat Pertama AHY

Jangan gunakan jurus playing victim dengan narasi artifisial dari dalam diri Demokrat. Biarkan publik yang mengatakan sendiri bahwa Demokrat dan AHY-lah yang sesungguhnya sedang terzolimi.

Sabtu, 6 Maret 2021 | 12:28 WIB
0
636
Kudeta Moeldoko dan Ujian Berat Pertama AHY
Moeldoko dan AHY (Foto: ayojakarta.com)

Sinyalemen Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tentang kudeta di Partai Demokrat menjadi kenyataan. Orang yang dituduh sebagai pelaku kudeta juga menjadi kenyataan, yaitu Moeldoko. Apakah sinyalemen Presiden Joko Widodo juga terlibat dalam kudeta ini karena terkait Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden, masih harus menunggu pembuktian.

Tetapi, yang muncul ke permukaan dan memapar media massa maupun media sosial, bahwa kudeta itu benar ada, yaitu perebutan kekuasaan dari dalam Demokrat sendiri dengan memanggungkan tokoh sentral, Moeldoko. Para tokoh senior dan pendiri, mantan pecatan petinggi Demokrat, menghimpun satu kekuatan dalam bentuk Kongres Luar Biasa (KLB) Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.

KLB Sibolangit lahir bukan sekadar kelompok penekan bagi Demokrat, melainkan sudah mengambil-alih kekuasaan itu sendiri, kekuasan di tubuh partai. Realitas politik menunjukkan, ada kepengurusan Ganda di Demokrat, ada dua Demokrat yang ke depannya akan saling adu kekuatan pihak mana yang paling benar dan sah secara hukum.

Kudeta Demokrat tidak serta-merta menggulingkan AHY sebagai ketua umum partai, melainkan ada "matahari kembar" dengan hadirnya Moeldoko yang didapuk selaku ketua Demokrat hasil KLB Sibolangit.

Agak mundur ke belakang, saat terjadi Kongres Medan 1996 yang menggulingkan Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di sini peranan pemerintah berkuasa, Presiden Soeharto, sangat besar dan terang-terangan. Mengapa? Sebab pembukaan dan penutupan Kongres Medan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet menunjukkan keterlibatan atau restu Soeharto sebagai otak di balik pemberangusan PDI Megawati. Campur tangan Soeharto yang sedemikian gamblang dan tidak sulit dibaca.

Di KLB Demokrat Sibolangit, tidak ada wakil resmi pemerintah sebagaimana Mendagri Yogie S. Memet pada masa Orde Baru berkuasa lalu, saat Presiden Soeharto berambisi melanggengkan kekuasaannya sampai mati. Sehingga, sinyalemen pemerintah berkuasa saat ini (baca: Presiden Joko Widodo) ikut cawe-cawe dalam KLB Sibolangit, masih perlu menunggu waktu.

Selaku penguasa, Soeharto melihat potensi Megawati dengan pendukung fanatiknya saat itu -wong cilik- sebagai Presiden mendatang yang bisa menggantikan dirinya. Ia sadar, kata "wong cilik" yang punya kekuatan dahsyat itu tidak mungkin dimilikinya, karena kadung dianggap sebagai berkebalikannya, yaitu "wong sugih".

Dengan dalih konstitusi (presiden dapat dipilih kembali setelah 5 tahun menjabat tanpa batas waktu), Soeharto keenakan ingin menjadi Presiden seumur hidup dengan sokongan MPR yang semuanya tunduk atas kehendaknya.

Baca Juga: AHY versus Moeldoko di Antara Isu Kudeta dan Pandemi

Dua tahun sebelumnya, Presiden Soeharto berusaha menggulingkan Abdurrahman "Gus Dur" Wahid di Munas Nahdlatul Ulama Cipasung, Tasikmalaya, selaku ketua PB NU. Soeharto melihat, ada potensi luar biasa pada diri Gus Dur yang suatu waktu bakal menggantikannya selaku Presiden RI. Sampai di sini, amatan dan feeling Soeharto sangat tepat; Megawati dan Gus Dur akhirnya menjadi Presiden!

Kembali ke Kongres Medan, Soeharto berhasil memanggungkan Soerjadi selaku ketua umum partai dengan sokongan politisi kuat Fatimah Achmad dan Buttu Hutapea -dikenal sebagai "PDI Kebo"- sekaligus menggulingkan Megawati. Tetapi tidak demikian dengan penggulingan Gus Dur, Soeharto gagal total.

Apakah KLB Demokrat Sibolangit dan Kongres PDI Medan memiliki kesamaan dalam arti ada campur tangan pemerintah yang berkuasa? Biarkan sidang pembaca atau publik yang menilai, sebab akses terhadap informasi sudah sedemikian terbuka.

Fokus Moeldoko 

Aktor di balik KLB Siblongit bukanlah Marzuki Alie, Jhoni Allen Marbun, tokoh senior atau para pendiri Demokrat, melainkan pada sosok Moeldoko. Kadang urusan etika yang seharusnya mengemuka dalam berpolitik ditendang jauh begitu saja dan bahkan wajib ditenggelamkan. Dalam bahasa kekinian, "etika (politik) urusan belakangan", yang penting bagaimana menggapai kekuasaan secepat mungkin tanpa harus bersusah-payah. Itulah yang terjadi dengan Moeldoko.

Moeldoko adalah mantan Panglima TNI yang diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menjabat ketua umum Demokrat. Kini ia sepenuhnya terjun ke dunia politik dan birokrasi sebagai Kepala Staf Presiden Joko Widodo. Untuk apa Moeldoko dengan segala upaya menjadikan dirinya sebagai ketua umum Demokrat versi KLB Demokrat Sibolangit? Untuk kekuasaan. Persisnya untuk menjadi Presiden.

Jika melacak kembali peristiwa yang belum lama terjadi, taruhlah tahun 2019 di saat ramainya bursa pencalonan Presiden RI sebelum mengerucut pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto, nama Moeldoko berada dalam pusaran Pilpres tersebut. Sebagai ketua HKTI, poster raksasanya ada di mana-mana, mengingatkan pada usaha Prabowo mula-mula saat hendak mencalonkan diri sebagai Presiden.

Dalam rentang tahun sebelum pelaksanaan Pilpres, Moeldoko sedemikian rajin keluar masuk pesantren dan perguruan tinggi dengan maksud memperkenalkan diri. Apakah usahanya itu keliru? Tidak, tentu saja. Setiap orang sebagaimana Moeldoko, berhak punya ambisi untuk menjadi Presiden RI. Demikian pula AHY. Bahwa itu dilakukan secara ambisius, kembali sidang pembaca dan publik yang menilainya.

Persoalannya, ambisi saja tidak cukup untuk menjadi Presiden. Selain dana dan bohir di belakangnya, hal paling utama dalam sistem demokrasi di Indonesia adalah kendaraan politik yang akan membawanya ke kursi kekuasaan. Kendaraan politik itu adalah partai.

Moeldoko menyadari, tahun 2019 tidak ada partai politik yang melirik usahanya mempromosikan diri, kekuatan masih berpusat pada PDIP dengan Jokowi-nya dan Gerindra dengan Prabowo-nya. Moeldoko? No one!

Untuk itulah ia rela menjual inkonsistensinya sendiri saat hasrat berkuasanya (the willing to power) sudah mendekati ubun-ubun. Ia juga paham, Demokrat sebagai sebuah partai masih kinclong. Dua kali Pilpres partai ini keluar sebagai juara dengan dua kali pula memanggungkan SBY sebagai Presiden RI. Siapa yang tidak "ngiler" memiliki "Mercy" sebagai kendaraan yang akan membawanya ke Istana?

Untuk itulah semula Moeldoko menyangkal keterlibatannya di kudeta Demokrat sebagai "lucu-lucuan" saat AHY mengemukakan sinyalemen adanya kudeta di tubuh partainya. Realitas politik membuktikan, Moeldoko sedang menjilat "lucu-lucuan" yang pernah dilepehnya. Tanpa sungkan -dan mungkin tanpa rasa malu- ia menerima putusan KLB Sibolangit dan mendapuk dirinya sebagai ketua umum Partai Demokrat.

Ujian bagi AHY 

Apakah kemudian munculnya nama Moeldoko sebagai ketua umum Demokrat serta-merta menggantikan AHY? Tentu tidak. AHY tidak otomatis terguling. Lagi-lagi ini soal kepemimpinan ganda, soal "matahari kembar" di tubuh Demokrat sebagaimana telah disinggung tadi. Mana partai yang paling sah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, masih harus diuji ke depan, bahkan bila perlu sampai ke pengadilan.

Akan tetapi, peristiwa KLB Sibolangit sesungguhnya blessing in disguise bagi AHY dan Demokrat Cikeas yang sah. Ini adalah batu ujian terberat AHY selaku ketua umum partai, apakah ia mampu menyelesaikan persoalan ini dan tetap bertahan secara sah dan konstitusional atau harus merelakan partai yang dipimpinnya direbut Moeldoko yang disebut-sebut disokong para senior dan pendiri Demokrat itu.

Jika berhasil, ini adalah poin besar bagi AHY yang kemungkinan bisa mengerek elektabilitasnya selaku capres potensial untuk Pilpres 2024. Sebaliknya, jika masih berada dalam bayang-bayang SBY dalam menyelesaikan kasus kudeta ini, AHY tidak akan mendapat nilai apa-apa di mata publik.

Baca Juga: Tontonan Politik Tak Beradab Oknum Istana

Untuk itu, sebaiknya yang tampil ke permukaan (publik) baik melalui media massa atau media sosial adalah AHY, bukan SBY. Yang menjelaskan sekaligus menyelesaikan kemelut dan konflik kudeta Demokrat seharusnya AHY, bukan SBY. AHY tidak boleh tenggelam di pusaran ini, ia harus mendapat simpati publik, poin yang tidak harus diraih lagi oleh SBY. Untuk apa lagi?

Dalam pusaran ini, diminta kebesaran hati SBY untuk merelakan dirinya berada di balik layar, biarkan AHY yang berbicara ke publik dan menunjukkan bagaimana ia menyelesaikan ujian pertamanya ini dengan mulus. Ini kesempatan emas buat AHY!

Dengan dipercakapkannya Demokrat oleh media atas kasus kudeta dan KLB Demokrat Sibolangit ini, niscaya hal ini akan menaikkan rating Demokrat di mata publik. Demokrat dan AHY akan di-"mention" publik secara positif apabila ia tegar dalam mengatasi ujian berat pertamanya ini.

Jangan gunakan jurus playing victim dengan narasi artifisial dari dalam diri Demokrat. Biarkan publik yang mengatakan sendiri bahwa Demokrat dan AHY-lah yang sesungguhnya sedang terzolimi.

Apakah AHY mampu melewati batu sandungan pertama ini?

Waktu jugalah yang akan mengujinya.

***