AHY versus Moeldoko di Antara Isu Kudeta dan Pandemi

Di politik nilai kesetiaan itu tipis, lebih kental kepentingan, kader yang katanya setia mati, bisa saja setiap saat loncat pagar.

Sabtu, 6 Februari 2021 | 06:37 WIB
0
270
AHY versus Moeldoko di Antara Isu Kudeta dan Pandemi
AHY dan Moeldoko (Foto: pikiran-rakyat.com)

Dunia politik Indonesia mendadak riuh rendah dengan isu yang dibuka oleh Ketua Umum Partai Demokrat Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), tentang adanya upaya kudeta terhadap kepemimpinannya. Isu awal soal kudeta semakin menarik, karena disebut nama Jenderal TNI (Purn) Moeldoko dan beberapa orang yang terkait dengan partai berlambang Mercy ini. Penulis mencoba membahas dari persepsi intelijen.

Kudeta, Partai Demokrat, Moeldoko dan Pandemi Covid-19

Mendengar berita gemuruh baik ungkapan Ketum, kader serta Godfather Partai Demokrat yang menyebut upaya kudeta di Partai besutan SBY, mantan presiden RI dua periode jelas menarik, ada asap pasti ada api. Selama setahun ini Partai Demokrat yang dipimpin AHY sejak terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum (Ketum) periode 2020-2025 pada Kongres V Partai Demokrat 15 Maret 2020 terlihat landai-landai.

Mendadak muncul kegelisahan, gelombang protes, soal ancaman kudeta, yang dicurigai adanya konspirasi pihak luar dan oknum internal partai. Persoalannya menjadi serius, karena yang disebut-sebut kader Demokrat, sebagai tokoh utama pihak luar adalah Ketua KSP Moeldoko.

Publik tahu tokoh ini seorang purnawirawan Jenderal, mantan Panglima TNI di era Presiden SBY. Ia dipercaya presiden sebagai perwira terbaik di jamannya untuk memimpin TNI dalam mempertahanan bangsa dan negara. Saat ini Moeldoko masih dipercaya Presiden Jokowi sebagai Ketua KSP sejak 18 Januari 2018.

Kantor Staf Presiden Republik Indonesia (KSP) adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dipimpin oleh Kepala Staf Kepresidenan. KSP bertugas menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis.

Karena isu awal disebut kudeta, inilah sedikit wawasan istilah Kudeta (bahasa Prancis: coup d'État) menurut Wiki, berarti merobohkan legitimasi, tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal dan inkonstitusional. Contoh yang aktual, kudeta yang kini terjadi di Myanmar oleh militer, yaitu penggambilalihan kekuasaan, penggulingan kekuasaan pemerintahan, bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan.

Syarat kudeta akan sukses bila terlebih dahulu dapat melakukan konsolidasi dalam membangun adanya legitimasi sebagai persetujuan dari rakyat serta telah mendapat dukungan atau partisipasi dari pihak non-militer dan militer. Di Myanmar kini para Nakes protes melakukan mogok kerja, bahkan pihak AS mengancam militer Myanmar yang mengkudeta. Upaya kudeta pada parpol dapat dan pernah terjadi di Indonesia berupa dilakukannya kongres luarbiasa, bahkan di partai besar pernah terjadi.

Baca Juga: Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!

Dari kacamata intelijen, kita bersama tahu, kondisi ancaman riil saat ini, adalah bagaimana beratnya semua negara di dunia berperang melawan pandemi Covid-19. Juga termasuk di Indonesia, dimana Presiden Jokowi terlihat sangat berat memimpin perang besar melawan virus ini yang selain memukul masalah kesehatan, juga ekonomi dan sosial. Presiden belum lama ini me-reshuffle menterinya yang khianat karena korupsi dan yang dinilai kurang capable.

Upaya strategis yang sedang dilakukan pemerintah adalah bagaimana secepatnya mendapatkan vaksin, mendistribusikan ke semua wilayah dan memvaksin 182 juta rakyat sebanyak dua kali, agar tercapai kekebalan bersama (herd immunity). Persoalan sangat serius bagi pemerintahan dibawah Presiden Jokowi yang berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan rakyat.

Berita Konflik dari Dua Belah Pihak

Ketum Partai Demokrat AHY awalnya mengungkap ada upaya kudeta terhadapnya, dia menyebut dalam konperensi pers (1/2/2021) mendapatkan informasi yang melibatkan orang dekat lingkaran Presiden Jokowi. AHY kemudian melayangkan surat kepada Presiden Jokowi pada Senin (1/2/2021) guna mengklarifikasi perihal keterlibatan pejabat di lingkaran Jokowi atas adanya dugaan upaya kudeta tersebut.

Pada tanggal 30 Januari 2021, mantan Presiden SBY meluncurkan tweet, tentang cara berpolitik yang beradab dan usaha untuk menjadi 'the good,' 'the bad,' dan 'the ugly.' Kalau tidak bisa menjadi 'the good,' berusahalah untuk tidak jadi 'the bad' atau bahkan 'the ugly.' Patut diduga tweet ini menanggapi kegelisahan anak serta kader demokrat dan sindiran kepada pihak tertentu.

Sementara itu, di sisi lain, Moeldoko kemudian juga menggelar konferensi pers menanggapi tudingan tersebut, menekankan bahwa isu ini tidak ada kaitannya dengan Istana dan Presiden Jokowi. Hal ini, ujar dia, merupakan urusan personal. "Pokoknya yang pertama, jangan dikit-dikit Istana, dalam hal ini, saya mengingatkan, sekali lagi jangan dikit-dikit Istana, dan jangan ganggu Pak Jokowi dalam hal ini. Karena beliau dalam hal ini tidak tahu sama sekali, nggak tahu apa-apa dalam hal ini, dalam isu ini, gitu ya. Jadi itu urusan saya,  urusan Moeldoko," ujar dia dalam konpers Senin (1/2/2021), TribunNews.

Mensesneg Pratikno kemudian juga menanggapi surat Ketum PD AHY, "Kami sudah menerima surat itu, dan kami rasa kami tidak perlu menjawab surat tersebut karena itu perihal dinamika internal partai, itu adalah perihal rumah tangga internal Partai Demokrat, yang semuanya sudah diatur di dalam AD/ART," ujar Pratikno dalam keterangan pers di saluran YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (4/2). 

Analisis

Isu kudeta ini adalah kasus politik, tetapi bisa mengimbas ke bidang lainnya, bisa menjadi bola liar. Penulis pernah diskusi dengan sesama insan intelijen, bahwa politik itu kotor, tapi kalau di sini kotor sekali. Sekali seseorang terjun ke politik, harus siap berada di wilayah putih, abu-abu dan bahkan hitam. Sifat pragmatisme dan oportunisme melekat, umumnya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, baru partai, dan setelah itu baru yang lainnya.

Sebenarnya bila dilihat salah satu definisinya, partai politik adalah perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik.

Nah, karena berbicara kekuasaan, kudeta, delegitimasi kepemimpinan terjadinya konflik internal adalah hal biasa di kalangan politik, biasanya terjadi di parpol gurem. Kewibawaan dan kelihaian para Godfather parpol, atau "patron" itu harus dijaga, tetap terus waspada, karena ada saja kader yang tidak puas, ambisius, mau mengambil alih, menjadi pemain utama, biasanya didukung pihak lain dari luar.

Contoh, PDIP kokoh karena bu Mega sebagai patron masih ditakuti, Gerindra tidak ada yang macam-macam karena ada Prabowo, Nasdem karena adanya Surya Paloh. Golkar, kepemimpinan Airlangga karena dekat dengan pusat kekuasaan toh pernah digoyang. Bila kita lihat, parpol yang tidak punya tokoh (patron) yang kuat dan berwibawa, parpolnya suka kisruh, menjurus pecah.

Partai Demokrat, saat pak SBY jadi presiden, ini parpol juara, setelah tidak jadi presiden dan masih sebagai Ketua Umum, ia masih disegani dan ditakuti. Tetapi setelah Kongres Ke-V Partai Demokrat 15 Maret 2020, SBY meletakkan jabatan sebagai Ketum, dan AHY anaknya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum, Nah, PD mulai diminati orang, dipikir-pikir dengan simpel  bisa jadi kuda tunggangan di 2024.

Kalau nonton National Geografie, PD bak sekelompok Singa yang ditinggal Singa jantan dominan yang ditakuti, kini dipimpin oleh singa jantan muda. Maka di Masaai Mara di Kenya sana, akan datanglah Singa jantan pengembara yang coba merebut dan menguasai kelompok tersebut.

Nah, maka dimulailah drama kudeta, muncul berita pertemuan Moeldoko dengan beberapa orang yang dibuka terus terang oleh kader PD. Kegelisahan AHY dibuka ke media massa, bahwa pusat apinya Moeldoko, asapnya menyebar, oleh kader PD diberitakan mengimbas ke beberapa pejabat, sampai-sampai Menkopolhukam yang penulis kenal heran namanya ikut disebut. Isunya menjadi bola liar, inilah isu politik yang sering dipelintir di  medsos menjadi hoax.

Penulis yang terus mengikuti sikon politik, kalau boleh menyebut, rasanya kurang elok di saat bangsa kita sebaiknya bahu membahu bertarung hidup mati perang melawan covid-19, ada gejolak politik berbau kudeta. Walau semangat tempur politik SBY terlihat menurun, tetapi dia tetap Godfather parpolnya, sementara ini ia baru mencuit.

Tapi bila SBY dapat fakta solid, pasti sebagai mantan presiden akan mengambil langkah khusus untuk meredam kegelisahan anggota partainya dan mengamankan parpolnya. Atau nothing to loose dia buka bukti di media. Singa dominan tua yang jadi presiden dua periode ini ahli strategi, lawan berat, pasti siap perang campuh membela anaknya, dan jelas sulit ditandingi.

Terlepas benar atau tidaknya keterlibatan Moeldoko dalam isu kudeta, atau ada orang lain yang mungkin terlibat,  jelas sulit mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat yang landai-landai, karena syarat umum menjadi Ketum harus jadi anggota sekian tahun dan lain-lain. Rasanya sulit memisahkan dirinya sebagai pribadi atau sebagai Ketua KSP, seperti mata uang dengan dua sisi, ini yang mesti diingat.

Saran penulis kepada Pak Moeldoko, better cooling down, dinginkan suasana, shake hand dengan SBY yang punya jasa pernah menjadikannya sebagai panglima. Kita tahu Presiden Jokowi tidak suka dengan yang berbau kisruh ('gegeran') bisa saja ia marah, mikir penyebaran covid dan vaksin saja sudah pusing, kini mendengar kisruh politik.

Orang Jawa itu kalau marah biasanya diam, tahu-tahu semua yang di posisi inner circle atau masih di struktural bila dinilai bikin kisruh, terlebih terlibat tindakan inkonstitusional akan disapunya, whoever they are.

Kesimpulan

Kisruh isu kudeta memang ada, kegelisahan AHY terlalu cepat diungkap dan terlalu ekspresif hingga  menyentuh presiden, ini justru menunjukkan rasa percaya dirinya kurang sepertinya butuh perlindungan. Rumusnya, lawan jangan dibesarkan, tapi kecilkan. Bukankah di PD juga ada jagoan-jagoan tempur?

AHY perlu melakukan konsolidasi ke dalam menerapkan aturan parpol, tegas tapi bijak, toh PD punya aturan khusus. Ucapan para kader PD  sebaiknya terukur, kini berakibat beberapa sesepuh PD tidak terima dan mulai marah, bahkan mengancamnya.

Baca Juga: Kudeta di Demokrat

Sebagai mantan perwira dengan kualifikasi tempur, dan memiliki beberapa gelar akademis hebat, kalkulasikan ancaman dan tanggulangi dengan conditioning counter, deteksi bila ada operasi intelijen berupa penetrasi adanya upaya kudeta. Disinilah AHY diuji, dia siap menjadi calon pemimpin masa depan atau tenggelam sebelum berkembang, nampaknya perlu ngangsu kawruh lagi ke ayahnya. Sebagai Ketum Partai Demokrat, AHY juga punya kewajiban moral menjaga stabilitas politik.

Partai Demokrat bukan parpol gurem, jadilah pemimpin di luar bayang-bayang SBY. Pemimpin partai tidak cukup hanya cerdas tetapi juga harus cerdik dan berwibawa. Tunjukkan dia kini Singa muda tegar yang mampu memimpin kawanan. Pakai slogan US Special Forces "Mess with the Best, Die like the Rest". AHY mungkin diukur hanya purnawirawan Mayor, tapi dia adalah Ketum resmi Partai Demokrat, please "Don't judge a book from it's cover". 

Sebagai penutup, dari persepsi intelijen, sebuah operasi penggalangan apapun bentuknya tidak cukup hanya memanfaatkan sikon sesaat, seberapa besarnyapun dana operasi. Untuk pengamanan ops intel harus menggunakan "cut out" berlapis, hingga tidak mudah di counter dan dijejaki lawan.

Pada era digital saat ini sulit merahasiakan sesuatu, semua transparan dan apapun bisa disadap. Di politik nilai kesetiaan itu tipis, lebih kental kepentingan, kader yang katanya setia mati, bisa saja setiap saat loncat pagar. Waspada!

Semoga bermanfaat, Pray Old Soldier.

Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen

***