Kudeta di Demokrat

Namun tIdak demikian halnya dengan Partai Demokrat. Partai ini masih terbuka untuk dimainkan dan diajak ikut bermain untuk kompromi dengan harga yang pantas.

Rabu, 3 Februari 2021 | 07:51 WIB
0
323
Kudeta di Demokrat
Agus Harimurti Yudhoyono dan Moeldoko (Foo: tribunnews.com)

Bukan sekali ini saja partai Lambang Mercy terkena isu ini. Ketika pak SBY lengser adalah upaya merebut tampuk kepemimpinan partai sudah terjadi.

Sebagai partai dinasti, sebagaimana halnya PDIP , Gerindra dan Nasdem, tentu pendirinya tidak mau didepak oleh “orang luar.” Yang memimpin harus orang yang mendirikan dan kalau bisa keluarga.

Dalam konteks itulah, pak SBY dan mas AHY berjuang sedapat mungkin agar PD tetap berada dalam lingkaran keluarga mereka. Seperti bu Mega yang dipastikan akan mengangkat putri tercintanya sebagai Ketua Umum PDIP, Gerindra akan menunjuk trah Joyohadikusumo sebagai ketua umum menggantikan Pak Prabowo. Surya Paloh mungkin demikian. Dan seterusnya dan seterusnya, seperti Perindo dan sejenisnya.

Mereka melihat nasib buruk Hanura yang ditinggalkan pak Wiranto yang menyerahkan kepemimpinan kepada “orang luar’ karena keluarga pak Wiranto enggan masuk politik dan lebih suka mendalami Islam. Sehingga sekarang ini Hanura menjadi partai yang " amburadul tidak karuan.”

Demikian juga dengan PKPI besutan pak Sutiyoso yang kini mukanya menyentuh tanah.
Lalu kenapa Partai Demokrat ini jadi sasaran kudeta ?

Partai ini terbukti mampu bertahan karena masih banyak follower pak SBY yang militan. Bagusnya, di lapangan kader PD sedemikian luwesnya bermain di Pilkada 2020 mengusung kadernya sendiri.

Dan hasilnya very encouraging.

Partai Demokrat mengusung kader internal sebanyak 145 kader. Dari 145 kader itu 76 kader menjadi calon bupati/wali. Dan 69 menjadi orang nomor 2 alias cawabup/cawali dalam pilkada 2020.

Hasilnya sebagai berikut:

1. Demokrat menang di 143 dari 241 pilkada kabupaten/kota yang diikuti atau sebanyak 57 persen. Jika dihitung dari 261 daerah pilkada kabupaten/kota, Demokrat menang sebesar 55 persen. Ini melampaui target PD yang tadinya cuma bisa berharap 35 persen saja.

2. Dari sembilan daerah pemilihan gubernur, Demokrat menang di empat daerah. Kemenangan itu ada di Kalimantan Selatan yang mengusung Denny Indrayana-Difriadi Drajat, Kalimantan Utara dengan pasangan calon Zainal Paliwang dan Yansen Tipa Padan, Bengkulu dengan pasangan Rohidin Mersyah-Rosjonsyah, dan Sulawesi Tengah dengan Rusdi Mastura dan Ma'amun.

Menariknya lagi, Partai Demokrat dalam Pilkada 2020 justru lebih banyak berkoalisi dengan PDI Perjuangan.

Kemesraan ini sangat jauh berbeda dengan aksi dingin politik antara pak SBY dan bu Mega di pelataran figur politik yang berdampak pada konfigurasi kekuatan di parlemen nasional. Dan tentu saja di kabinet.

Coba dilihat data ini betapa ulet Partai Demokrat berkoalisi di Pilkada 2020 yang berbuah manis.

1. Koalisi dengan PDI P : 45 daerah
2. Koalisi dengan PAN : 36 daerah
3. Koalisi dengan Golkar : 35 daerah
4. Koalisi dengan PKS : 30 daerah
5. Koalisi dengan Gerindra : 27 daerah
6. Koalisi dengan Nasdem : 27 daerah
7. Koalisi dengan PKB : 25 daerah
8. Koalisi dengan PPP : 17 daerah

Dari data Pilkada yang minim kampanye tatap muka, nampak jelas bahwa asumsi Partai Demokat bakal nyungsep di 2024 kemungkinan meleset.

Partai Demokrat akan menjadi penyeimbang PKS. Kecil tapi nyentil.

PKS sudah menjadi partai ideologis hingga tidak bisa digoyang oleh kekuatan luar.

Namun tIdak demikian halnya dengan Partai Demokrat. Partai ini masih terbuka untuk dimainkan dan diajak ikut bermain untuk kompromi dengan harga yang pantas.

Tapi lebih bagus lagi jika diambil alih karena PD akan menjadi “middle range party” yang akan punya bargaining politic yang kuat.

Sekuat PKS yang kemungkinan akan juga bertambah suaranya karena banyak kelompok Islam yang tidak suka efpei dibubarkan, yang anti Jokowi dan yang tidak puas dengan hasil penyelidikan polisi yang mungkin membebaskan Abu Janda dari penjara.

Artinya, Partai Demokrat akan semakin berkibar di 2024 and beyond.

Yang mewarnai pertarungan politik setelah era pak Jokowi yang diperkirakan tidak sekuat sekarang. Karena orang akan mengukur credential dan kapabilitas siapapun Presiden Indonesia di masa mendatang dari bajunya pak Jokowi.

Jadi tidak heran jika ada isu kudeta di Partai Demokrat karena tampilannya kini semakin seksi.

Baca Juga: Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!

Dan petinggi PD menuding pak Moeldoko berniat atau setidaknya merestui AHY dicopot dari Ketum lewat Munas Luar Biasa.

Kita tidak tahu sejauh mana peran pak Moeldoko sebenarnya. Apakah sekedar menerima curhatan barisan sakit hati Partai Demokrat ataukah melihat peluang untuk berkibar di PD.

Jika memang benar pak Moeldoko punya niat menggambil alih PD, juga tidak salah. Namanya politik selalu ingin menggapai kekuasaan terlepas dari etis atau tidak.

Karena mungkin Pak Moeldoko bertindak demikian sebagai bagian dari usaha para pendukung pak Jokowi untuk memberikan wadah politik bagi beliau selepas tidak menjabat Presiden lagi.

Untuk jaga-jaga jika konstelasi politik yang terjadi di PDIP di masa depan mendepak pak Joko Widodo karena partai itu memandang beliau tidak diperlukan lagi.

Atau memandang keberadaan beliau sudah menghalangi niatan elit partai ini.

Atau justru pak Jokowi yang keluar dari PDIP.

Who knows…

***