Masa Depan Kebebasan [1] Ketika Demokrasi Dibajak

Sampai abad ke-20, sebagian besar negara Eropa Barat masih bersifat semi-demokrasi. Semi-demokrasi adalah sistem politik yang berlaku umum di seluruh dunia sebelum abad ke-20.

Selasa, 28 Januari 2020 | 08:48 WIB
0
844
Masa Depan Kebebasan [1] Ketika Demokrasi Dibajak
Fareed Zakaria (Foto: fareedzakaria.com)

"Kita hidup di zaman demokrasi,” inilah kalimat pertama yang ditulis Fareed Zakaria dalam bukunya yang terkenal itu. Selama satu abad terakhir ini dunia telah dibentuk oleh sebuah kecenderungan yang mengatasi kecenderungan-kecederungan lainnya – yaitu bangkitnya demokrasi.

Pada tahun 1900 tidak ada satu negara pun yang bisa kita sebut sebagai negara demokratis. Dewasa ini sekitar 62% negara-negara di dunia adalah negara-negara demokrasi.

Kini demokrasi menjadi satu-satunya sumber legitimasi politik untuk menjalankan pemerintahan negara-negara. Bukan monarki, bukan fasisme, bukan komunisme, bukan pula teokrasi.

Ada kesamaan proses demokratisasi di mana-mana. Hirarki-hirarki runtuh, sistem-sistem yang tertutup menjadi terbuka, tekanan dari massa arus bawah menjadi mesin utama perubahan sosial. Demokrasi berubah dari sekadar sebagai bentuk pemerintahan menjadi gaya hidup.

Demokratisasi juga melanda sistem ekonomi, begitu pula kebudayaan. Juga teknologi dan informasi mengalami pula proses demokratisasi. Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi melalui perubahan-perubahan dramatis ini?

Selama berabad-abad negara memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan secara sah. Demokratisasi kekerasan mengubahnya secara dramatis. Seperti halnya semua transformasi besar dalam sejarah manusia, demokratisasi juga mempunyai sisi gelap.

Kini teknologi kekerasan bisa diciptakan oleh aktor-aktor non-negara. Akibat demokratisasi teknologi dan demokratisasi kekerasan, terorisme bisa mengancam kedaulatan suatu negara.

Dulu kita beranggapan bahwa tidak ada problem yang bisa disebabkan oleh demokrasi. Pada kenyataannya kini demokrasi menciptakan problem yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Yakni bahwa transformasi besar demokratisasi itu berada di pusat kehidupan politik, ekonomi, dan sosial kita.

Demokrasi liberal tumbuh dari sistem politik liberal-konstitusional, demokrasi illiberal tidak. Bagi masyarakat Barat, demokrasi berarti “demokrasi liberal.”

Ini adalah sistem politik yang ditandai bukan hanya oleh pemilihan umum yang bebas dan jujur, tetapi juga oleh rule of law, prinsip pemisahan kekuasaan, serta perlindungan atas kebebasan-kebebasan sipil dan politik.

Sistem politik seperti ini juga sering dikenal sebagai “liberalisme konsitusional.” Demokrasi liberal adalah perpaduan antara demokrasi dan kebebasan. Tapi seringkali terjadi, bahkan di masyarakat Barat sendiri, demokrasi tidak secara intrinsik berkaitan dengan sistem politik liberal konstitusional. Hitler misalnya muncul dari pemilihan umum yang demokratis, tapi ia kemudian membangun sistem politik nasionalisme-fasis.

Di banyak negeri lain, terutama non-Barat, demokrasi berkembang tapi kultur politik liberal-konstitusional tidak. Demokrasi yang tidak muncul dari sistem politik liberal konstitusional adalah demokrasi illiberal.

Rezim-rezim demokrasi illiberal dipilih secara demokratis tapi melanggar konstitusi dan hak-hak warganegara.

Demokrasi tanpa kultur konsitusional-liberal seringkali menimbulkan dilema demokratis. Bayangkanlah jika pemilihan umum yang demokratis ternyata menghasilkan pemimpin rasis, fasis, dan separatis, seperti yang terjadi di Yugoslavia pada awal 1990an.

Bayangkanlah juga jika demokratisasi yang melanda dunia Islam justru melahirkan teokrasi dan sistem politik berdasarkan fundamentalisme agama.

Tantangan demokratisasi global dewasa ini adalah jika yang muncul justru demokrasi-demokrasi illiberal. Demokrasi illiberal adalah sistem politik yang berpotensi melakukan pelanggaran konstitusional mengenai pembatasan kekuasaan, dan karena itu berpotesi pula melanggar hak-hak dasar warganegara.

Dilema politik internasional akan terjadi jika demokratisasi global justru melahirkan rezim-rezim demokrasi illiberal.

Ketika Yugoslavia dan Indonesia berada di bawah sistem kediktatoran, rezim-rezim itu dikenal stabil, sekuler, toleran, dan mampu mencegah konflik-konflik etnis dan agama.

Begitu mengalami demokratisasi, Yugoslavia terpecah menjadi negara-negara berbasis etnis dan agama; sementara Indonesia terancam jatuh pula karena konflik-konflik agama.

Kita bisa membayangkan bagaimana jika demokratisasi di Dunia Islam menghasilkan sistem-sistem politik demokrasi illiberal. Rezim-rezim seperti itu jauh lebih berbahaya dibandingkan rezim-rezim tirani, otokrasi, dan kediktatoran yang ada sekarang.

Ini karena sangat mungkin rezim-rezim illiberal di Dunia Islam akan menjadi lebih tidak toleran, anti-Barat, anti-Semit, dan reaksioner.

Demokrasi tidak memadai jika dipahami sekadar menurut pengertian prosedural. Huntington mendefinisikan pengertian demokrasi secara prosedural, yakni pemerintahan yang diciptakan melalui pemilihan umum yang bebas dan adil.

Definisi minimalis seperti ini sungguh-sungguh tidak memadai karena tidak ada jaminan bahwa rezim-rezim yang diciptakan melalui pemilu bisa menjamin kebebasan sipil dan hak-hak politik warganegara.

Berbeda dengan itu, demokrasi yang sejati, demokrasi liberal, berakar pada tradisi politik liberalisme konstitusional. Demokrasi seperti ini bukan sekadar dipahami sebagai sistem pemerintahan yang lahir karena pemilu, tapi lebih dipahami sampai pada gagasan-gagasan dasarnya mengenai tujuan pemerintahan, yakni untuk melindungi otonomi dan martabat individual warganegara.

Demokrasi liberal harus dipahami sebagai sistem politik liberalisme konstitusional. Demokrasi liberal memiliki akar pada gagasan-gagasan liberalisme dan konstitusionalisme. Dua istilah itu mengawinkan dua prinsip pokok yang saling berhubungan. Liberal karena ia berasal dari pandangan filsafat mengenai kebebasan individual. Dan konstitusional karena ia menempatkan rule of law di pusat politik.

Sampai abad ke-20, sebagian besar negara Eropa Barat masih bersifat semi-demokrasi. Jika demokrasi liberal didasarkan pada pandangan filosofis yang menempatkan liberalisme dan konstitusionalisme sebagai prinsip dasar sebuah tatanan politik, maka demokrasi yang tidak didasarkan pada gagasan-gagasan itu tidak lain dari sistem politik semi-demokrasi.

Semi-demokrasi adalah sistem politik yang berlaku umum di seluruh dunia sebelum abad ke-20. Sebagian besar negara di Eropa Barat pada masa itu adalah semi-demokrasi. Di Inggris pada 1830 misalnya pemilu hanya diikuti oleh 2% pemilih, sementara parlemen yang dipilih pun hanya memiliki kewenangan terbatas.

(Bersambung)

***