Sekarang para Ketua BEM yang menolak bertemu dengan Presiden yang mengundangnya itu berilusi bahwa diri mereka sama saktinya dengan senior 98 mereka yang mampu membuat revolusi.
Apa yang dilakukan oleh para BEM yang menolak untuk bertemu dengan Jokowi ketika diundang untuk dialog sungguh mengingatkan saya akan sosok Bambang Sumantri dalam kisah Arjuna Sasrabahu. Anak-anak BEM ini benar-benar sudah kena Sindrom Bambang Sumantri, rumongso luwih hebat ketimbang Arjuna Sasrabahu, sehingga menolak untuk diajak dialog.
Sekedar mengingatkan kembali cuplikan kisahnya, Arjuna Sasrabahu adalah raja negara Maespati yang sangat sakti. Ia dapat bertiwikrama, berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu dan memegang berbagai macam senjata sakti.
Meski sakti mandraguna karena merupakan titisan Bhatara Wisnu Arjuna, Sasrabahu sangat jarang menggunakan kesaktiannya kalau tidak sangat terpaksa. Ya jelaslah. Mosok kesaktian diumbar-umbar.
Saya sendiri sangat jarang mengeluarkan gelar Drs saya kecuali memang situasi genting membutuhkan. Lha wong saya sudah telanjur dipanggil Prof sama orang-orang awam itu. Yo mending dikira dan dipanggil Prof toh ketimbang Drs. Inilah sikap rendah hati dan sederhana yang saya kembangkan…
Bambang Sumantri sendiri adalah seorang kesatria sakti jebolan padepokan tenar yang memiliki paras tampan dan senjata pemusnah angkara murka, Cakrabaskara. Bambang Sumantri memiliki seorang adik yang wajahnya menyerupai raksasa yang bernama Bambang Sukrasana.
Karena ingin menjadi kesatria maka Bambang Sumantri melamar pekerjaan ke negeri Maespati. Sumantri diterima oleh Arjuna Sasrabahu dengan syarat dapat merebut Dewi Citrawati putri dari negeri Magada. Karena memang sakti Sumantri berhasil menyisihkan semua lawannya dalam sayembara merebut Dewi Citrawati tersebut.
Setelah ia berhasil dalam benaknya muncul pikiran untuk memiliki sendiri Dewi Citrawati. Pikirnya kok enak Arjuna Sasrabahu. Saya yang bertempur kok dia yang mau dapat hadiahnya. Belum tentu juga rajaku tersebut sesakti aku. Jangan-jangan rumor tentang kesaktian Arjuna Sasrabahu hanyalah hoax. Lagipula Arjuna Sasrabahu sudah punya banyak istri sedangkan Bambang Sumantri masih jomblo kinyis-kinyis alumni pertapaan.
Bambang Sumantri akhirnya mbalelo. Dia tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati ke istana dan meminta Arjuna Sasrabahu keluar istana untuk mengambil sendiri sang Dewi. Bambang Sumantri tidak mau pertemuan tertutup. Dia ingin pertemuan terbuka yang diliput oleh semua media pada waktu itu. Sayangnya TV One belum boleh beroperasi karena ijinnya belum keluar waktu itu.
Nah, para ketua BEM yang menolak undangan Presiden Jokowi ini kelakuannya ya kayak Bambang Sumantri tersebut.. Mereka merasa hebat dan mengira bahwa Arjuna Sasrabahu itu semacam raja ecek-ecek. Sudah kurus, plonga plongo pula.
Mengapa para BEM itu jadi sedemikian anggak dan arogan? Ya karena mereka merasa sangat hebat dan merasa tak ada kekuatan yang mampu menghalangi mereka. Lha wong kakak seperguruan mereka di tahun 98 saja berhasil menumbangkan Soeharto yang bukan main ngedap-ngedapi kesaktiannya.
Itu Soeharto lho ya… Semua orang pada zaman itu takut dengan wibawa beliau. Tak ada satu pun yang berani melawan beliau, apalagi sampai menghinanya dengan kata-kata keji seperti : anak PKI berwajah ndeso, plonga plongo, Ai don rit wot ai sain, petugas partai, sinting, pengecut, dll. Yo tak lebokno freezer awakmu.
Para ketua BEM anggak ini rupanya tidak paham sejarah. Mereka mengira bahwa Soeharto itu tumbang karena kesaktian mahasiswa semata pada waktu itu. Tentu saja bukan, Le…! Sebetulnya demo mahasiswa itu hanya pemicu. Ada beberapa faktor yang membuat Soeharto turun waktu itu.
Sebelum Soeharto mundur, Indonesia telah mengalami krisis politik dan ekonomi yang parah dan berlarut-larut. Rupiah jeblok dari Rp. 2.400/USD sampai Rp.16.800,- Orang sudah benar- benar bosan lihat fotonya di dinding sekolah sejak SD sampai S3 dan bahkan sampai mereka bekerja jadi eselon 1. Lha wong Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
Pada 13-15 Mei 1998, terjadi sebuah kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta dan sejumlah kota besar. Suasana benar-benar mencekam. Selanjutnya yang terjadi adalah berbaliknya dukungan dari semua mentri Soeharto yang kemudian menuntut Soeharto untuk mundur. Pimpinan DPR/MPR yang diketuai Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Soeharto berusaha berkelit dengan menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya. Soeharto pun menawarkan sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid untuk bergabung. Namun, sejumlah tokoh yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998 itu menolak. Enough is enough…!
Soeharto semakin terpukul setelah 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak bergabung dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle. Dalam pernyataan tertulis yang disusun di Gedung Bappenas pada 20 Mei 1998, 14 menteri itu secara implisit meminta Soeharto untuk mundur. Tak ada jalan lain selain mundur. No one was on his side anymore.
Apa yang akan terjadi seandainya Soeharto menolak untuk mundur dan menggunakan tangan besinya seperti biasanya. Wiranto sebagai Panglima TNI saat itu masih setia kepadanya dan jika diperintahkan untuk menghadapi rakyat dengan pendekatan militeristik maka besar kemungkinan sejarah akan berbeda ceritanya.
Tapi mungkin Soeharto cukup bijak untuk tidak menghadapi rakyatnya dengan kekuatan militer. Lagipula apalagi yang mau dicari dengan begitu merosotnya dukungan pada dirinya?
Nah, sekarang para Ketua BEM yang menolak bertemu dengan Presiden yang mengundangnya itu berilusi bahwa diri mereka sama saktinya dengan senior 98 mereka yang mampu membuat revolusi. Mereka mengira bahwa semua orang dan pihak akan berada di belakang mereka. Mereka bilang “A” maka semua akan bilang “A”, mereka bilang “Hijau” maka semua akan jadi “Hijau”.
Tentu saja ini hanya ilusi mereka saja. Mereka ini merasa seperti Bambang Sumantri yang telah berhasil merebut Dewi Kapekawati dan menantang Arjuna Sasrabahu untuk mengambilnya sendiri.
Arjuna Sasrabahu menjadi murka dengan tantangan terbuka tersebut. Mereka akhirnya bertempur. Terjadilah peperangan yang seru dan dahsyat. Sumantri mengangkat dan melepaskan Cakrabaskara ke arah Arjuna Sasrabahu. Arjuna Sasrabahu kemudian ber-triwikrama atau mengubah dirinya menjadi raksasa yang sangat besar. Cakrabaskara yang sakti itu jadi terasa sebesar jarum saja pada Arjuna Sasrabahu yang telah bertiwikrama.
Sumantri ketakutan dan lari ke hutan. Hutannya diobrak-abrik sama Arjuna Sasrabahu dan akhirnya Sumantri berhasil diringkus dan diinjak di bawah telapak kaki Arjuna Sasrabahu. Sambil menangis, Sumantri meminta ampun atas kelancangan dan kesalahannya. Arjuna Sasrabahu mau menerima maafnya tetapi dengan syarat yang lebih berat. Sumantri diperintahkan untuk membangun taman Sriwedari, dst….dst…
Saya tidak mau meneruskan ke kisah matinya Sukrasana di tangan Bambang Sumantri. Hati saya masih sangat sedih jika memikirkan peristiwa tragis tersebut. Silakan kalian membaca kisahnya sendiri dan siapkan saputangan untuk menghapus airmata.
Surabaya, 28 September 2019
Salam, Satria Dharma
***
Tulisan sebelumnya: KPK vs DPR [2] Bacalah Sejarah!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews