"Kresna Jumeneng Ratu", Post-Java President

Jokowi memang bagian dari generasi baru network society, tapi dia juga orang Jawa yang tetap memegang filosofi Jawa, termasuk "laman sira sekti, aja mateni".

Senin, 5 Agustus 2019 | 10:33 WIB
0
1007
"Kresna Jumeneng Ratu", Post-Java President
Joko Widodo (Foto: Liputan6.com)

Ketika gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang Lampung, Banten dan Jakarta, Jumat malam (2/8-2019), dalang kondang Ki Manteb Soedharsono menggelar pergelaran wayang di Istana Merdeka.

Lakon yang dipilih Ki Manteb adalah "Kresna Jumeneng Ratu", Kresna jadi penguasa. Mengapa sosok Kresna yang dipilih ? Entahlah! Salah satu kebiasaan Kresna adalah blusukan menemui masyarakat kecil di berbagai pelosok.

Seminggu sebelumnya, koran The Jakarta Post edisi 27 Juli 2019 mengulas sebuah topik menarik: "JOKOWI: LITTLE SOEHARTO or 'POST-JAVA' PRESIDENT?"

Ulasan itu mencoba menafsir persepsi Jokowi tentang kekuasaan, dengan mengutip filosofi Jawa yang pernah diucapkannya: "laman sira sekti, aja mateni". 

Bagaimana persepsi tentang kekuasaan itu dikaitkan dengan kebijakan dan gaya kepemimpinan Jokowi yang akan berlanjut ke periode kedua nanti?

Beberapa pengamat diwawancarai: sosiolog UGM Aris Arif Mundayat, Deputi KSP Eko Sulistyo, dan Fachry Ali, rekan "seperjuangan" di LP3ES dulu.

Dalam pandangan Fachry, Jokowi tidak lagi menggunakan perspektif Jawa dalam menjalankan kekuasaannya. Jokowi melihat Jawa dari sudut Indonesia, dan bukan sebaliknya. 

Fachry berkesimpulan, pandangan kekuasaan Jokowi bersifat pasca Jawa (post-Java). Pendapat Fachry di atas menegaskan kembali apa yang sudah ditulisnya di Kompas tahun 2017. 

Tentu, perspektif tentang kekuasaan 'pasca Jawa" ini menarik, mengingat dulu kebanyakan pengamat selalu melihat topik pengelolaan kekuasaan di Indonesia dari perspektif kultur Jawa.

Kajian lama Soemarsaid Moertono, "STATE and STATECRAFT in OLD JAVA: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) telah mengawali jenis kajian ini.

Menurut Soemarsaid, dalam konsepsi Jawa kekuasaan itu sakral, legitimasinya dari "langit", representasi kekuasaan adikodrati.
Kekuasaan itu tidak usah dicari. Itu adalah nasib baik, "pinesti" (sudah ditentukan), "tinitah" (ditakdirkan).

Kekuasaan baru akan berakhir ketika si penguasa memiliki pamrih. Dia turun dari singgasana ketika mandat dari "langit" sudah dicabut.

Perspektif ini juga digunakan Ben Anderson dalam tulisan lamanya, "THE IDEA OF POWER IN JAVANESE CULTURE", yang dimuat kembali dalam bukunya LANGUAGE and POWER: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990). 

Menurut Anderson, berbeda dengan konsep kekuasaan modern Barat, kekuasaan dalam kultur Jawa itu bersifat kongkret, homogen, besarnya konstan, dan kekuasaan itu tidak mempertahankan keabsahan.

Pandangan Soemarsaid dan Anderson di atas kerap digunakan untuk menjelaskan karakter kekuasaan di Indonesia modern di bawah Soekarno, dan terutama Soeharto pada era Orde Baru.

Indonesia di bawah Soeharto sering digambarkan berkarakter patrimonial ala Mataram abad 15, di mana Soeharto sendiri membayangkan dirinya seorang Sultan atau "Raja Jawa".

Sebagian ciri karakter patrimonial Mataram masa lalu yang "diadopsi" dalam era Orde Baru Soeharto adalah pemusatan kekuasaan, otoritarianisme, manipulasi filosofi 'manunggaling kawulo-gusti' dan paham 'negara integralistik' ke dalam konsep 'state-corporastism'.

Laporan The Jakarta Post dan pendapat Fachry Ali tentang Jokowi dan paham kekuasaan 'post-Java' ini menantang untuk dikaji lebih lanjut.

Apalagi Fachry sendiri lebih 30 tahun lalu sudah menulis sebuah buku: REFLEKSI PAHAM "KEKUASAAN JAWA" dalam INDONESIA MODERN (1986).

Tentu, Indonesia pasca Orde Baru Soeharto sudah jauh berbeda, terutama karakter kekuasaannya. Apalagi di era millenial sekarang, era "masyarakat jaringan" (network society) dengan demokrasi digital-nya yang berbasis pada interaksi dialektis antara politik dan teknologi (seperti dimaksud Manuel Castells).

Yang tampak jelas sekarang adalah de-sakralisasi kekuasaan pada semua jenjang. Kekuasaan tidak lagi berbasis legitimasi 'langit', melainkan berbasis politik elektoral baru. 

Politik elektoral baru ini eksis dan berkembang dalam masyarakat jaringan berbasis internet dengan mengandalkan digital netizen-nya, seperti yang dibuktikan Obama ketika memenangkan Pilpres Amerika dua periode (2009 - 2017).

Perspektif post-Java ini semakin menarik, karena Jokowi sendiri adalah bagian dari network society dengan demokrasi digitalnya. 

Dia secara jelas mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari generasi milenial, yang harus siap menghadapi persaingan dan berbagai disrupsi pada era Revolusi Industri 4.0. Bahkan Jokowi sudah mengumumkan road map 'Making Indonesia 4.0'.

Dalam konteks aktual ini, tafsir lama kekuasaan dalam perspektif Jawa tampaknya kurang relevan lagi. Seperti kata Fachry Ali, ini era 'post-Java', yang representasinya ada dalam sosok Jokowi.

Jokowi memang bagian dari generasi baru network society, tapi dia juga orang Jawa yang tetap memegang filosofi Jawa, termasuk "laman sira sekti, aja mateni". 

Karakternya juga mirip Kresna: suka blusukan, dekat dengan rakyat kecil.

Semoga Fachry dan lainnya bisa mengelaborasi lebih lanjut tema ini: perspektif baru kekuasaan 'post-Java' di tengah era digital dan Revolusi Industri 4.0 

***