Akhir Manuver Pilpres, Prabowo Bertemu SBY?

Apakah dalam pertemuan ini juga membicarakan bagaimana antisipasi jika tiba-tiba terjadi perubahan “peta politik” terkait Pilpres 2019?

Senin, 9 September 2019 | 12:21 WIB
0
597
Akhir Manuver Pilpres, Prabowo Bertemu SBY?
Pertemuan Prabowo Subianto - AM Hendropriyono, Kamis (5/9/2019). (Foto: Istimewa).

Rangkaian peristiwa yang terjadi di tanah air belakangan ini tampaknya saling terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Targetnya, perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada gelaran Pilpres 2019 yang penuh dengan pencurangan.

Saat pasca putusan MK yang “memenangkan” paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin diikuti “kerusuhan” 21-22 Mei 2019, sampai muncul isu akan membawanya ke PBB dan Mahkamah Internasional, timbul peristiwa lainnya sampai berhari-hari.

Masyarakat pun mulai “melupakan” peristiwa pencurangan Pilpres 2019 yang telah menelan korban lebih dari 600 petugas KPPS tewas tersebut. Hiruk-pikuk Pilpres 2019 mulai meredup saat pidato Presiden Joko Widodo di MPR, 16 Agustus 2019.

Sebelumnya, masyarakat dikejutkan dengan bertemunya Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019). Pertemuan ini telah memantik kemarahan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu.

Konon, sebelum pertemuan itu, Kepala BIN Budi Gunawan telah bertemu dengan Prabowo. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati.

Belum reda rasa kecewa para pendukung paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu, tiba-tiba atas inisiati Budi Gunawan pula, Prabowo mengadakan pertemuan dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Jakarta.

Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, Rabu (24/7/2019) itu, seperti halnya saat Presiden Jokowi  bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Budi Gunawan (BG). Adakah yang istimewa?

Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Megawati di Jl. Teuku Umar ini.

Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar.

Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019.

Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang.

Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum NasDem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi.

Isu seputaran rekonsiliasi mulai meredup ketika Presiden Jokowi melontarkan keinginannya untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya Kabupatan Penajam Pasir Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Secara formal pun Presiden Jokowi sudah “minta izin” untuk memindahkan Ibukota Negara ke Kaltim itu saat pidato di MPR, Jum’at (16/8/2019). Hingga muncul wacana menjual tanah negara untuk biaya Ibukota baru senilai lebih dari Rp 400 triliun itu.

Hiruk-pikuk isu pemindahan ibukota pun menyedot perhatian masyarakat. Semula fokus pada manuver rekonsiliasi pertemuan MRT dan Teuku Umar, menjadi bicara perihal pemindahan ibukota ke Kaltim itu, tanpa menghitung hal krusial yang bakal terjadi.  

Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, titik rawan adalah sebelah barat-utara Kalimantan, dikelilingi oleh Laut Cina Selatan. Saat ini laut LCS menjadi medan perebutan pengaruh antara AS versus Cina.

Pertama, “Buktinya, sejak era Presiden AS Barrack Obama melalui konsep Poros Keamanan Asia, AS mengirim 60 persen kapal perangnya ke LCS,” ungkap Hendrajit.

Kedua, Cina sendiri dengan konsep One Belt One Road (OBOR) berupaya meningkatkan pengaruhnya di Asia Pasifik melalui pengamanan Jalur Sutra Maritim. Berarti LCS menjadi jalur Asia ke Eropa yang dikawal Cina baik secara ekonomi maupun militer.

Ketiga, Konstelasi global yang demikian, menjadikan Kalimantan sebagai ibukota, sama saja menggiring Indonesia dalam posisi terkepung oleh pertarungan global AS maupun Cina yang sedang berebut wilayah pengaruh di LCS.

“Ini bertentangan dengan bayangan para penggagas ibukota di Kalimantan bahwa Indonesia akan jadi pusat keseimbangan berbagai pulau di nusantara, maupun berbagai negara,” ungkap alumni Universitas Nasional Jakarta itu.

Keempat, Cina sepertinya begitu bersikeras agar Indonesia memilih Kalimantan sebagai ibukota. Atas dua pertimbangan. Pertama, menjadikan Indonesia sebagai daerah penyangga, atau bahkan bumper atau tameng antara AS versus Cina.

Kedua, dengan menjadi ibukota, Cina berharap mengimbangi pengaruh Inggris dan AS yang sudah lebih dahulu bercokol di Kalimantan. Apalagi, Malaysia dan Brunei, yang menguasai 23 persen wilayah Kalimantan, merupakan negara-negara eks jajahan Inggris.

Hingga kini, isu pemindahan ibukota masih menjadi perhatian masyarakat, meski kemudian muncul “rusuh” Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019). Tampaknya, “gelaran” rusuh di kedua provinsi wilayah Indonesia Timur ini tak bisa tutupi isu pemindahan ibukota.

Maka, muncullah isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dinlai sangat mencekik rakyat. Isu ini dimulai dari Menkeu Sri Mulyani yang akan menaikkan iuran untuk kelas II dan I BJPS Mandiri sampai 100 persen guna menutupi defisit anggaran BPJS tersebut.

Masalah  “rusuh” Papua dan Papua Barat pun menjadi “tidak laku” lagi. Apalagi, ternyata banyak warga yang turun gunung merasa ditipu oleh koordinator aksi demo yang berakhir dengan perusakan berbagai fasilitas, sehingga mereka mengaku menyesal.

Nyaris bersamaan waktunya dengan redupnya isu Papua dan Papua Barat ini, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menyentuh hajat hidup orang banyak itu mulai mengaburkan rencana pemindahan ibukota di Kalimantan ini, sehingga saling menutupi.

Terakhir, hampir bersamaan, soal RUU KPK dan peresmian pabrik Esemka mulai menyedot perhatian masyarakat. Sehingga persoalan rekonsiliasi terkait hasil Pilpres 2019 nyaris hilang, jika tidak ada pertemuan Prabowo Subianto – AM Hendropriyono.

Hendro Panik?

Pertemuan Prabowo dengan mantan Kepala BIN pada Kamis (5/9/2019) itu, bukan tidak mungkin akan diikuti pertemuan antara Prabowo dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono  dalam waktu dekat.

Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu.

Sehingga, muncul prediksi, setelah Prabowo – Hendro bertemu, dapat dipastikan akan terjadi pertemuan antara Prabowo – SBY. Melansir Liputan6.com, Hendro mengatakan dirinya telah bertemu dengan Presiden ke-6 RI itu untuk bertukar pikiran.

Mungkinkah pertemuan Prabowo – Hendro ini semata-mata hanya untuk membahas masalah Papua, Papua Barat dan persoalan bangsa? Ataukah ada persoalan lain seperti HAM dan Pilpres 2019, sehingga mendorong Hendro bertemu Prabowo?

Pasalnya, konon, masalah pelanggaran HAM dan pencurangan Pilpres 2019 sudah masuk ke Peradilan HAM di Den Haag dan PBB. Sehingga, bukan tak mungkin bisa mengancam para pelanggar HAM dan pencurangan Pilpres 2019 tersebut.

Apalagi, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Negara-Negara Arab sudah tahu, tuduhan kepada Prabowo sebagai pelanggar HAM merupakan fitnah belaka. Mereka tahu, siapa yang selama ini memfitnah Prabowo untuk menjegal pada Pilpres 2014 dan 2019.

Diduga, itulah yang membuat Hendro akhirnya wajib “hukumnya” untuk bertemu dengan Prabowo. Sebab, sebagai profesor intelijen Indonesia, Hendro pasti sudah tahu bagaimana ending dari berbagai manuver Pilpres 2019 pada 20 Oktober nanti.

Meski Prabowo pernah dikatain mengidap “psikopat”, ia tetap menghormati Hendro sebagai senior dan gurunya. Kunjungan itu adalah kunjungan kekeluargaan dan kunjungan pribadi yang telah lama direncanakan.

“Sudah lama saya ingin sowan. Pak Hendro itu senior saya. Jadi guru saya, sehingga saya merasa memang pantas lah untuk sowan, diskusi, apalagi kalau ada masalah,” jelasnya di Senayan Residence, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019) malam.

Jika ada permasalahan negara, semua pihak harus bersatu dan saling mendukung. Karena itu Prabowo meminta waktu khusus untuk berkunjung. “Walaupun intinya adalah kekeluargaan kita juga membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.

Adakah persoalan lain yang dibicarakan saat pertemuan Prabowo – Hendro tersebut? Apakah  dalam pertemuan ini juga membicarakan bagaimana antisipasi jika tiba-tiba terjadi perubahan “peta politik” terkait Pilpres 2019?

Ending manuver Pilpres 2019 nantinya ada di tangan Prabowo – SBY jika memang keduanya bertemu! 

***