Sukar bagi Direktorat Televisi untuk mencari film dari para imfortir ini. Satu-satunya jalan, menyewanya dari produser atau distributor di Singapura.
Kalau saja malam nanti Anda dapat menyaksikan film seri The little house on the prairie di layar televisi maka Anda harus bersyukur. Soalnya, sampai Kamis siang film itu belum selesai disensor oleh BSF (Badan Sensor Film). Padahal setelah lolos (kalau lolos) masih harus diperiksa lagi oleh Studio TVRI Jakarta.
Film itu diperiksa dulu apakah dalam keadaan baik, apakah perlu dibersihkan supaya dapat tersaji dengan terang atau tokoh film itu pantas disajikan di televisi. Penilaian terakhir itu perlu dilakukan karena BSF ketika menyensor film tersebut menggunakan standar yang hampir sama dengan film untuk bioskop, Padahal penonton bioskop berbeda sekali dengan televisi.
Bioskop dapat membatasi umur penontonnya secara ketat sedangkan televisi tidak. Walaupun sebelum film itu diputar, TVRI sudah mengumumkan bahwa film itu untuk 17 tahun ke atas, tetapi umumnya ditonton oleh semua usia. Hanya orangtua yang bijaksana sajalah yang melarang anak-anaknya untuk nonton film itu.
Setiap minggu TVRI Jakarta rata-rata menyiarkan 5 film seri untuk anak-anak, 6 fllm seri desa dan 2 film cerita (akhir pekan dan Minggu siang). Untuk minggu lalu misalnya, TVRI Jakarta memutar FS Groovie Goolies, Wacky Races, Salty, Hound Cot dan Harlem Globe Trotters. Sedangkan film seri dewasanya; Petrocelly, Nakia, Four ini One, The little house on the prairie, Mannix dan Emergency (kini diganti The Six Million Dollar Man) serta dua film cerita yang panjang. Dari data ini sebulannya TVRI Jakarta menyiarkan lebih dari 20 FS anak-anak, 24 FS dewasa dan 8.film cerita. Kesemuanya ini didapat dari Direktorat Televisi Deppen.
Direktorat Televisi menyewa film-film itu dari para produser atau distributor yang mewakilinya. Untuk membeli harganya sangat mahal dan biasanya hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan televisi yang besar di Amerika, Eropa atau Jepang. Mereka ini membeli untuk mengejar aktualitas, Semakin baru film tersebut ( apalagi bermulu) maka akan semakin banyak penonton yang menikmati lewat siaran televisinya. Ini berarti akan semakin banyak perusahaan yang bersedia mensponsori pemutarannya. Data inilah yang mengakibatkan harganya jadi mahal.
Setelah film-film diputar di perusahaan-perusahaan tadi, barulah dikirim ke distributor-distributor. Untuk wilayah Asia kebanyakan bercokol di Singapura. Direktoral Televisi mengambil film dari mereka setelah "berebut" dengan perusahaan televisi negara lain.
Tentu saja hukum dagang berlaku ketat: siapa yang lebih dulu menyiarkan serta memiliki penonton yang banyak (dihitung dari jumlah pesawat televisi yang ada) maka ia harus membayar lebih banyak. Akhirnya dibuatlah jadwal, misalnya film Emergency beredar dulu di Muangthai baru ke Indonesia, kemudian ke Malaysia dan sebagai.
Film-film seri dibuat secara bertahap, untuk Mannix misalnya kini suda mencapai lebih tiga puluh episode. Jadi kalau saja Anda ke Amerika mungkin masih akan menjumpai FS di televisi. Tentu saja episode terbaru. Film-film yang beredar di Asia ini datang dalam bentuk paket yang tidak lengkap. Terkecuali untuk FS anak-anak yang biasanya hanya dibuat belasan buah saja. Film begini dikirimkan secara lengkap.
Sebenarnya, kalau saja semua perusahaan televisi di seluruh dunia ini selalu menepati janjinya dalam mentrasnfer film maka penonton TVRI tak akan banyak dikecewakan. Biasanya ada saja yang nakal, sebagai misal film Emergency yang kini diganti dengan The Six million Dollar Man ternyata sampai kini belum dikirimkan dari Singapura.
Padahal menurut jadwal harus sudah sampai bulan lalu. Deppen sudah sepuluh kali menanyakan tetapi selalu dijawab "ntar, ntar", Akibatnya, sampai episode itu habis, belum juga datang, Daripada mengulang nantinya dimaki penonton maka keluarlah "Si Manusia enam juta dolar" itu. Kebelulan untuk FS ini masih ada persediaan beberapa episode.
**
Film dari luar negeri disewa untuk jangka waktu tertenlu, dua sampai tiga tahun. Direktorat Televisi memilihnya berdasarkan saran-saran dari pimpinan studio, ataupun siapa saja yang pernah melihal film itu dan menilainya baik atau dari brosur-brosur yang dikirimkan dari distributor.
Sesampainya di Indonesia, dikirimkan ke Badan Sensor Film kemudian dibagikan ke studio-studio seluruh Indonesia (9 buah), Tidak semua film baru harus beredar di TVRI Jakarta terlebih dahulu. Filem Run Joe Run misalnya, sebelum di Jakarta telah diputar di Medan. Demikian juga Born Free sebelumnya telah diputar di Ujungpandang .
Keterlambatan di BSF atau kelambatan pengiriman episode selanjutnya dari negara lain merupakan sebab-utama kenapa TVRI terpaksa menyiarkan FS ulangan.
Keterlambatan di BSF mungkin juga karena film itu baru datang atau terlalu banyak yang harus disensor. Mengingat bahwa minggu depan film tersebut pasti sudah dapat diputar maka TVRI biasanya memutuskan untuk mengulang saja episode yang pernah disiarkan. Tetapi dalam hal ini TVRI tak banyak pilihan, sebab episode yang lama biasanya sudah dikembalikan. Akhirnya diambillah episode yang masih ada, tentunya belum terlalu lama diputar.
Jika keterlambatan datang dari distributor atau negara pemutar sebelumnya, maka ha ini agak serius, Apalagi jika sudah diminta sampai sepuluh kali belum juga dikirim. Ini belum dapat dipastikan kapan barang itu tiba dan berapa banyaknya. Menurut Sukanto dari Sub Direktoral Siaran Televisi, biasanya instansinya mengambil persediaan untuk tiga bulan siaran.
Untuk membuat persediaan lebih banyak, modalnya tidak cukup. Situasi yang tidak menentu seperti di atas, menyulitkan studio TVRI yang sedang memutar FS itu.
Untuk mengulang episode terdahulu, ya kalau terus datang. Kalau tidak datang, apakah harus mengulang lagi? Untunglah dalam kasus filem Emergency kita masih mernpunyai persediaan FS The Six Million Dollar Man, sehingga FS itu dapat tampil dulu untuk beberapa episode.
Hal lain yang menyebabkan adanya penanggulangan pemutaran film seri ialah adanya permintaan dari daerah. Mereka itu pernah melihat sebagian dari sebuah FS yang diputar di Jakarta dan dinilainya baik. Tetapi ketika itu wilayahnya belum terjangkau televisi. Setelah televisi dapat dinikmat: di daerahnya mereka minta agar FS yang hanya diikuti buntutnya itu dapat diputar kembali.
Alasan ini memang nggak enak bagi orang Jakarta tetapi bagaimanapun TVRI harus bersikap paternalis. Ini tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Kenapa kita tidak membuat film seri sendiri? Ini tidak mungkin dilakukan sebab akan sungat merugikan. Soalnya film itu hanya dapat diputar di Indonesia, kalaupun mau diekspor paling hanya Malaysia dan Singapura yang bersedia membeli. Padahal satu episode biayanya puluhan juta rupiah. Itulah sebabnya film Metro 77 yang dimaksudkan untuk sebuah film seri kini macet lagi. Apa film itu mau diputar berulang-ulang?
Untuk membuat terjemahan dari FS juga bukan mudah. Ada saja halangannya: datangnya film begitu mendesak dan biayanyapun mahal. Sebaiknya Anda membayangkan betapa banyak film yang harus disediakan TVRI untuk sebulan siaran saja.
**
Bagaimana dengan film cerita akhir pekan atau Minggu siang?
Banyak orang meminta agar TVRI memutar film Indonesia, ini memang ideal. Tetapi pemiliknya pasti tidak bersedia jika filmnya yang sedang beredar di bioskop juga diputar di televisi. la bakal bangkrut. Untuk itu TVRI mengadakan kontrak dengan para produser ini, misalnya setelah dua tahun beredar di bioskop, filmnya boleh diputar di TVRI. Sebagai imbalan TVRI memberi sewa antara Rp. 300 ribu sampai Rp. 400 ribu. Hal ini dilakukan sejak tahun 1975.
Tetapi perhitungan ini meleset. Soalnya setelah dua tahun, para produser ini mengirimkan surat kepada TVRI agar pemuturan filmnya di televisi ditunda terlebih dahulu sebab modal belum pulang dan kini masih akan diedarkan. Kalau saja TVRI mau bersikeras sebenarnya berhak menolak, "Biasanya ada Bapak di atas yang memperkuat dan menegaskan agar TVRI membantu perfilman nasional," kata seorang pejabat TVRI Jakarta. Dengan demikian tertundalah pemutaran film tersebut.
Film asing yang sudah diputar di Indonesia pun, tidak semuanya dapat disewa dari importirnya untuk diputar di televisi. Dalam kontrak antara importir dan pemilik film biasanya ditegaskan apakah film itu boleh diputar di gedung bioskop saja ataukah juga di televisi.
Tentu saja harganya berlainan. Oleh sebab itu sukar bagi Direktorat Televisi untuk mencari film dari para imfortir ini. Satu-satunya jalan, menyewanya dari produser atau distributor di Singapura. Celakanya, sampai kini mereka baru menyewakan film-film produksi tahun 1956-an. Untuk mendapatkan film yang agak baru sulit, kalaupun ada harganya mahal sekali.
Menurut hitungan, harga sewa film seri dan film cerita sangat murah apalagi jika dibandingkan dengan memproduksi sendiri. Film-film itu ada yang biasa dibeli dengan uang Rp 40.000,- sampai sekitar Rp. 400.000,-.
“Kalau saja kita hanya memutar film-film tersebut sebagaimana beberapa negara tetangga kita, biayanya murah sekali," komentar Drs Ishadi dari Sub Direktorat Pemberitaan Deppen. Ini dapat dimaklumi sebab satu produksi seperti Orkes Telerama saja menghabiskan dua juta rupiah.
“Tapi itu kan bukan mission kita dalam membuat televisi ini," tambahnya kemudian.***
Kompas, 11 Agustus 1980.
***
Tulisan sebelumnya: TVRI Jadul [4] Publikasi Wajah di Layar Televisi
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews