TVRI Jadul [4] Publikasi Wajah di Layar Televisi

Khusus dalam pembuatan acara Dunia dalam Berita, copy berita disalin lagi dalam sebuah kertas dan ditik selebar lima sentimeter.

Senin, 15 Juli 2019 | 06:59 WIB
0
700
TVRI Jadul [4] Publikasi Wajah di Layar Televisi
Dunia Dalam Berita (Foto: Yukepo.com)

Seorang anggota DPR berjalan cepat menuju kamar kecil di Convention Hall, menyusul seorang juru kamera TVRI yang sedang melepas hajatnya. Selembar uang sepuluh ribuan dikeluarkan dari dompetnya dan dimasukkan ke dalam saku baju juru kamera yang sedang "sibuk" di toilet itu.

“Terima kasih Dik. Lama juga saya nampak di tivi," katanya sambil terus tersenyum. Tentu saja si juru kamera terkejut. Tapi belum sempat  ia bertanya, bapak wakil rakyat itu sudah meninggalkan kamar kecil.

Sesampai di kantor barulah si juru kamera mengerti kenapa bapak wakil rakyat itu memberinya uang. Rupanya sehari sebelumnya ada acara di DPR dan mungkln bapak yang dermawan tersebut terambil gambarnya. Meskipun ketika itu bukan si juru kamera tersebut lah yang bertugas di DPR. Mungkin sang bapak agak khilaf.

“Rejeki kenapa mesti ditolak," kata juru kamera itu  mengakhiri ceritanya. Kisah inl menunjukkan betapa masih banyaknya orang yang merindukan publikasi wajahnya di layar televisi. Penyakit semacam ini tidak saja dlhinggapi wakil rakyat itu, tetapi juga banyak pemimpin kita dari segala tingkatan. Akibatnya "harga" aparat TVRI melonjak keras dan undangan untuk TVRI  pun datang bertubi-tubi.

“Setiap hari kami rata-rata menolak sekitar 30% dari undangan yang datang. Walaupun begitu, jumlah undangan yang kami penuhi tiap hari masih sekitar 20 buah". Demikian keterangan Drs. Ishadi dari Sub Direktorat Pemberitaan TVRI Jakarta.

“Apakah Anda berani menolak undangan dari mana pun?" tanya Kompas.

“Memang ada beberapa instansi yang merupakan kartu mati, sehingga acara apa pun yang mereka minta harus kami penuhi. Lebih baik kami tidak membenturkan kepala terhadap mereka," jawabnya kecut. Itulah sebabnya sampai kini.masih saja ada acara "ringan" yang masuk televisi, termasuk kegiatan para ibu tertentu.

Selain memenuhi undangan, TVRI Jakarta mengambil bahan beritanya dari siaran pers berbagai instansi, koran, majalah, kantor berita, kedutaan-kedutaan, hasil kegiatan wartawanya sendiri, dan juga dari studio-studio daerah.

Sumber terakhir ini agak merepotkan. Sebab 9 studio daerah yang memproduksi sendiri, umumnya selalu mengirimkan hasilnya ke Jakarta, walaupun sudah disiarkan di studionya sendiri.

Mereka ini selalu menuntut agar kegiatan di daerahnya disiarkan juga secara luas ke seluruh nusantara lewat studio pusat. Bahkan konon ada seorang gubernur (kini sudah diganti) yang berusaha menjatuhkan se­orang kepala studio TVRI di daerahnya, karena dianggap kurang berhasil mempopulerkan daerahnya lewat TVRI Pusat Jakarta.

“Bagaimanapun TVRI harus bersikap paternalis, sehingga semua itu kami tamping setelah bahannya disunat." kata Ishadi menambahkan.

Bahan dari luar negeri diambil dari VISNEWS (Visuil News) dan UPTTN (United Press For International Television News), keduanya berpusat di London. Untuk VISNEWS, TVRI berlangganan 2.000 feet tiap minggu yang dikirimkan empat kali. Setiap judul biayanya 75 - 100 feet, TV­RI menerima bahan dari VISNEWS berupa film dan karena prosesnya di London, biasanya terlambat tiga sampai empat hari setelah kejadian.

Soalnya, film dari tempat kejadian dikirimkan dulu ke London untuk diperbanyak (memerlukan waktu sehari), kemudian dikirimkan ke Singapura (1 hari) dan dari Singapura baru ke negara-negara Asia termasuk Indonesia. Sampai di TVRI Jakarta, fi­lm tersebut masih harus disensor dulu di studio sebelum disiarkan. Padahal seringkali film-film ini datang sore hari.

Lain lagi dengan UPTTN. Ini agak cepat tetapi gambarnya tak seindah VISNEWS. Soalnya UPTTN mengirim gambar lewat satelit ke Hongkong. Di Hongkong hasil rekaman ini direkam lagi pada VTR, baru dikirimkan kepada para langganannya. Setiap hari TVRI menerima sekitar 12 judul berita dari sana, Sayangnya bagian pemberitaan ini tidak punya alat untuk memeriksa atau menyensornya, sehingga biasanya menunggu semalam dulu sebelum disiarkan.

Dengan demikian sebuah berita yang datang cepat, terpaksa harus menunggu dulu sehari. Sebenarnya TVRI bisa saja langganan lewat satelit; artinya merekam langsung dari London, tetapi biayanya mahal sekali. Un­tuk sewa satelitnya saja sebuIan sekitar 30.000 dollar AS.

Bahan-bahan dari luar negeri ini tidak semua bisa disiarkan. Menurut perkiraan Ishadi hanya sekitar 40% saja yang dapat disiarkan. Alasannya macam-macam : politik (misalnya menyiarkan kegiatan di RRC, Afrika Selatan, Israel), tertalu sadis, porno dan sebagainya. Padahal un­tuk berlangganan VIS NEWS tiap bulan TVRI membayar 4-6 ribu dollar AS atau sekitar Rp. 1,6 juta sampai Rp. 2 juta.

Sedangkan langganan UPTTN tiap bulan sekitar 7,000 dollar AS atau Rp. 2 Juta. Langganan lain yang cukup besar bagi TVRI ialah dari Kantor Berita ,Antara. Setiap bulannya mencapai Rp. 20 juta, Harga ini menjadi ma­hal, karena TVRI membeli copy-right yang disiarkan kantor berita tersebut. Itulah sebabnya dalam warta berita TVRI tidak pernah menyebut sumber berita Antara.

Setiap malam TVRI menyiarkan empat kali warta berita: Berita Nusantara selama 14 menit ( jam 17.30), Siaran Berita selama 25 menit termasuk laporan (jam 18.30), Dunia Dalam Berita 20 menit (jam 20.30) dan Sari Berita jam 21.40. Berita Nusantara kebanyakan menampung berita kiriman dari studio daerah dan berbagai acara kelas dua.

Begitu banyak berita yang masuk, sehingga dalam 14 menit itu harus dimasukkan 14 judul berita, Siaran Berita. biasanya diisi sekitar 16 judul berita,sehingga visualisasi dapat lebih ditonjolkan. Sedangkan dunia Dalam Berita, bahan-nya 20% dari dalam negeri dan 80% dari luar negeri.

Untuk melayani kegiatan yang begitu sibuk itu, TVRI Jakarta terpaksa menjadikan para reporternya merangkap juru kamera. Kini terdapat 30 juru kamera; 12 di antaranya juru kamera asli, sedangkan lainnya semula jadi reporter. Mereka jni belajar sendiri atau ikut latihan.

“Saya pikir pegang kamera televisi tak ubahnya dengan pegang alat potret. Pada hakekatnya semua orang bisa. Tentu saja mutunya berbeda tetapi untuk sebuah film berita, mutu nomor dua.” demikian pendapat Ishadi.

Tenaga bagian pemberitaan ini memang minim sekaii. Reporter benar-benar hanya 12 orang. lightingman atau juru sinar cuma dua orang dan editor enarn orang. Untuk menanggulangi kesibukan, maka diambillah tenaga comotan. Lightingman misalnya, kalau perlu diambilkan dari pegawai administrasi, Tentu saja jangan bicara soal keahlian atau mutu. Pokoknya lampu menyala dan juru kamera dapat mengambil gambar.

Semalam berada diTVRI Senayan dapat merasakan kesibukan bagian pemberitaan ini. Film-film yang baru didapat, segera masuk ke laboratorium dan didaftarkan pada redaksi. Dari laboratorium film tersebut masuk editing, sementara reporter yang biasanya merangkap jadi juru­kamera membuat beritanya.

Berita yang ideal haruslah di sesuaikan dengan visualnya. Jadi kalau penyiar nanti menyebut nama Pak Domo, maka gambar yang keluar haruslah tepat. Jika seorang penyiar memberitakan sebuah acara dan menyebut nama Pak Domo tapi yang keluar Pak Tjokropraholo, itu tidak profesional.

Baca Juga: TVRI Jadul [1] Merekam Acara Telerama di Studio II

Demikian juga komentar terhadap sebuah film (umumnya film luar negeri dalam Dunia dalam Berita), menurut aturan, pembacaan komentar ini harus habis bersamaan dengan filmnya. sehingga penonton tidak menyaksikan film tanpa komentar lagi. Tapi di TVRI Senayan kedua hal itu nampaknya sering tidak dapat dipenuhi.

Khusus dalam pembuatan acara Dunia dalam Berita, copy berita disalin lagi dalam sebuah kertas dan ditik selebar lima sentimeter. Kertas yang memanjang itu dimasukkan ke dalam sebuah. alat bernama telepromptar yang memancarkan tulisan tersebut pada sebuah pesawat televisi kecil di bawah kamera.

Dengan demikian penyiar tinggal membacanya tanpa harus menundukkan kepala. Kertas dalam teleprompter ini berjalan menurut kecepatan yang diatur dengan pedal pada kaki penyiar. Tentu saja semua naskah yang akan disiarkan, terlebih dahulu harus dibaca oleh penyiar yang bertugas. Tapi kadang-kadang karena waktu yang mendesak, penyiar tidak sempat membaca seluruh naskah. Akibatnya, ia jadi gelagapan dan mengganggu suasana relaks para penonton televisi di rumah.***

Kompas, 10 Agustus 1980

***

Tulisan sebelumnya: TVRI Jadul [3] Sandiwara Tradisionil dan Modern