Sebuah grup sandiwara modern yang ingin tampil di televisi harus mengajukan permohonan dan menyerahkan naskah sandiwara yang akan dipentaskannya.
“Fal, entar Lu tanya ikannya yang berapa kilo? Nah, nanti saya jawab: pokoknya yang buntek kayak Lu! " demikian pesan Tan Tjeng Bok alias Pak Item di kamar rias studio TVRI Jakarta menjelang rekaman sandiwara ,Senyum Jakarta kepada rekannya Asfal.
Sandiwara pimpinan Netty Herawaty ini mengambil cerita "Pensiunan" dan telah disiarkan tanggal 1 Agustus lalu, sedangkan rekamannya diadakan di Studio I tanggal 12 Juli, hampir tiga minggu sebelum siaran.
Sandiwara tradisionil memang tidak menggunakan naskah atau skenario lengkap. Mereka hanya berpegang pada jalan cerita serta waktu yang disediakan. Dialog disesuaikan dengan waktu yang tersedia, sedangkan pergantian adegan ditandai dengan gerakan atau dialog tertentu.
Sebagai misal, dalam Pensiunan itu ditetapkan, Mansyur Syah masuk ruangan tepat ketika Darussalam selesai menolak usul isterinya dengan dialog , ”Tidak bisaaa!”.Pak RT masuk arena, jika Asfal selaku pembantu pak Item sudah menarik kaki tuannya. Isyarat lain, sandiwara itu selesai setelah Asfal menjatuhkan ikan, sehingga juru kamera siap untuk mematikan kameranya.
“Mereka bermain berdasarkan kreativitas yang spontan," kata Husein Kusumah selaku PD (Program Director) atau Pengarah Acara dalam acara di drama tradisionil tersebut. Perkumpulan drama semacam ini biasanya sudah dlkenal TVRI, bahkan menjadi pengisi acara tetap.
Sebelumnya mereka mengirim ringkasan ceritanya sekitar dua atau tiga halaman untuk diperiksa. Jika Badan Perencana Siaran bidang drama menganggapnya baik, rnaka penanganannya di serahkan kepada seksi siaran drama.
Di sini seseorang pengarah acara diserahi tugas untuk mengelolanya, Artinya, meninjau sejauh mana kesiapan grup tersebut untuk tampil dl layar TVRI. Jlka sudah di anggap siap, barulah ditentukan hari rekamannya.
Selain itu PD juga mengarahkan sejauh rnana naskah itu dapat diproduksi setelah memperhitungkan kemampuan TVRI. Di sini PD dapat mengusulkan beberapa perubahan adegan tanpa merusak cerita. Sebagai misal, adegan di laut diganti di taman atau hutan dengan alasan membuat laut di studio agak sulit.
Tentu saja penggantian ini dilakukan satelah melihat cerita. Jika tuntutan cerita harus dilakukan di laut, maka opname di laut pun tidak dapat dihindari.
Rekaman drama di studio berbeda dengan rekaman Telerama atau Kamera Ria. Di sini suara dan visual direkam bersama. Untuk itu mikrofon beserta kabel-kabelnya harus disembunyikan serapi mungkin, Kalau Anda melihat ada kabel yang nampak di televisi, maka itu dapat dlgolongkan sebagai kecerobohan juru kamera dan PD-nya.
Mengingat begitu banyaknya acara yang direkam di studio, maka bagian dekor merupakan ‘seksi repot' yang tidak pernah berhenti. Dekorator harus benar-benar kreatif supaya dekor yang dipasangnya tidak sama dengan acara-acara sebelumnya. Selain itu mereka pun harus memperhitungkan luas studio.
Misalnya, dalam rekaman sandiwara Pensiunan, mereka harus dapat menciptakan empat buah dekor untuk empat adegan dalam Studio I yang luasnya hanya 12 X 8 meter minus tumpukn barang di pinggrinya.
Dengan banyaknya acara yang tampil di TVRI, maka bagian dekorasi ini pun mempunyai berbagai macam dekor. Dekor rumah untuk orang kaya, miskin, cukupan, gapura-gapura model Bali atau Jawa, restoran dan sebagainya. Tetapi celakanya, dekor-dekor ini tidak mendapat tempat yang baik. Barang-barang itu terserak di pinggir-pinggir jalan di depan Studio III dan di belakang bagian pemberitaan.
Demikian juga barang-barang untuk settingnya yang menjadi urusan bagian property. Berbagai macam barang mulai dari lampu tempel, cobek, sangkar-burung, kursi bulukan sampai yang luks berhimpitan dalam ruang yang sempit. Bahkan akhirnya barang-barang itu melimpah di luar gudangnya.
“Kami mau menambah barang, tetapi tak ada tempat," kata Empu Djiwono yang mengurus fasilitas siaran. la merasa masih banyak barang yang dibutuhkan untuk studio Jakarta ini. Bagian fasilitas siaran ini tidak kurang sibuknya. Soalnya setiap akan ada rekaman acara, maka bagian inilah yang harus menyediakan fasilitasnya. Kadang-kadang di perlukan burung, kambing, ayam, kursi antik atau senjata jaman revolusi.
Untuk memenuhi permintaan dari bagian siaran ini, bemacam cara ditempuhnya. Kadang harus beli, menyewa atau meminjam. Celakanya, tidak semua barang yang diperlukan bisa dicari. Untuk senjata di jaman revolusi misalnya, ia harus mengajukan permohonan kepada Musium Satria Mandala beberapa hari sebelum rekaman.
Binatang-binatang yang diperlukan biasanya ia beli saja,kemudian dititipkan kepada para pegawainya. Untuk menyewa binatang sangatlah risikan. Soalnya studio rekaman itu begitu dingin, sehingga kelanjutan hidup binatang ini tak bisa dipertanggungjawabkan. Konon ia pemah meminjam seekor burung perkutut yang bersuara bagus untuk rekaman sebuah acara. Tiga hari kemudian pemiliknya lapor bahwa burungnya mati.
**
Menangani sandiwara tradisionil nampaknya lebih mudah daripada sandiwara modern. Soalnya, dalam sandiwara tradisionil sutradara kurang begitu berperanan. Bahkan seringkali merangkap jadi pemain. Paling-paling hanya mengatur agar para pemain itu tidak melantur, sehingga melebihi waktu yang ditetapkan. Sedangkan sandiwara modern, sutradara mempunyai peranan yang penting dan sangat mempengaruhi pemain.
Sebuah grup sandiwara modern yang ingin tampil di televisi harus mengajukan permohonan dan menyerahkan naskah sandiwara yang akan dipentaskannya. Untuk grup-grup terkenal seperti Teater Populer, biasanya TVRI yang memintanya. Tapi bagaimanapun juga harus menyerahkan naskah yang akan dipentaskannya.
Jika Bapersi (Badan Perencana Siaran) bidang drama. menganggap naskah itu baik, maka TVRI menugaskan seorang PD untuk meninjaunya. Dan jika hasil peninjauan menghasilkan penilaian positif, maka ditentukanlah hari rekaman. Tetapi sebelum rekaman, PD bersama lightingman, soundman dan juru kamera meninjau bersama untuk melihat kemungkinan teknisnya. Di situlah sering terjadi penyesuaian-penyesuaian antara gerak pemain atau setting dengan teknik lampu, suara dan kamera.
Dulu (ketlkaTVRI baru beberapa tahun berdiri), hasil peninjauan ini merupakan bahan untuk menyusun shooting script bagi PD. Dengan script itulah mereka nanti bekerja. Tetapi menurut pengamatan Kompas, hal itu sudah tidak dilakukan. PD memberikan perintah pada juru kamera menurut seleranya. Hal Ini tidak hanya terjadl pada PD drama, tetapi juga PD bidang yang lain.
“Juru kamera kita baru menguasai segi teknis, belum art. atau seninya." demikian pendapat seorang PD menjawab pertanyaan Kompas.
Dalam penyajian sandiwara modern terdapat dua penanggung jawab yang sama-sama merasa berhak. Sutradara atau pengarah laku merasa berhak dan bertanggung jawab atas mutu permainan grupnya. Sementara itu pengarah acara atau PD merasa lebih bertanggung jawab daripada sutradara, karena berhasil tidaknya sandiwara itu tampil dalam televisi ada di tangannya.Dengan demikian tidak jarang terjadi pertentangan selera antara kedua penanggung jawab ini.
“Bagaimana tidak kesal kalau saya menyuruh pemain meremas meja sebagai tanda marah, tetapi PD tidak memerintahkan juru kamera untuk me ngambilnya?!" Demikian contoh perbedaan selera yang diceritakan seorang sutradara kepada Kompas.
Perbedaan-perbedaan ini kadang-kadang begitu besar, sehingga PD menuntut pada sutradara supaya mengganti pemain yang dinilai lemah. Hal semacam ini tentu saja menyinggung perasaan sutradara. Namun ia tak dapat berbuat banyak, sebab nasib drama itu supaya dapat tampil di layar televise, ada di tangan PD tersebut.
,,Soalnya, kalau pemain itu bermain jelek atau kaku sehingga drama menjadi jelek, kan nama PD yang jelek,” komentar Tiar Muslim, seorang PD drama kawakan.
Kompas, 09 Agustus 1980
***
Tulisan sebelumnya: TVRI Jadul [2] Letnan "Kopral Djono" Memelototi Kamera
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews