TVRI Jadul [1] Merekam Acara Telerama di Studio II

Di pinggir studio lsbandi membuka tasnya, menghitung uang dan membaginya kepada para pemain: dua puluh enam ribu tiap pemain.

Kamis, 13 Juni 2019 | 22:24 WIB
0
1274
TVRI Jadul [1] Merekam Acara Telerama di Studio II
Anita Rachman (Foto: Twitter.com)

Anita Rachman terseyum manis memasuki studio II TVRI Pusat Jakarta, berkebaya hitam dengan salendang dan kain warna hijau-pupus. Ia berjalan menuju sebuah meja bulukan di pinggir studio, tangan kanan mencekam kertas catatan, sedangkan tangan kiri menenteng kaca-rias.

Hari itu Selasa 1 Agustus 1978 saat rekaman acara Telerama yang hasilnya telah sama-sama dinikmati pemirsa TVRI Jakarta semalam. Acara itu nampak lancar berikut segala kekurangan dan kelebihannya. Tetapi sebelum acara tersaji, sebelumnya telah melewati penggodogan sebulan serta kegiatan sehari penuh di studio II TVRI Jakarta. 

Menurut jadwal, acara rekaman itu diadakan mulai pukul 10.00, tetapi baru sekitar jam 14.30 benar-benar dapat dimulai. Ada saja halangannya, teknisi yang belum siap, penyanyi yang belum lengkap, pemain orkes yang terlambat dan sebagainya. Karena kerja semacam itu merupakan kerja-bersama maka mau tidak mau semua bagian harus ditunggu lengkapnya.

Bahkan ketika rekaman hampir dimulai, ternyata ada seorang peniup trompet yang belum juga muncul, sehingga kursi yang telah disediakan untuknya harus diturunkan dari panggung. Tetapi begitu kamera maui “take” pemain itu datang dan kursi pun dinaikkan kembali. Ini berarti posisi kursi harus diubah lagi, dan rekaman tertunda beberapa saat.

Hari itu TVRI hanya melakukan rekaman visual dari acara Telerama. Sebab suaranya telah direkam terlebih dahulu. Dengan demikian para pemain hanya berpura-pura bermain, sehingga kalaupun ketika itu ada instrumen yang fals atau penyanyi yang sumbang, tidak menjadi masalah. Mereka itu bermain musik dan menyanyi bersamaan dengan suara yang keluar dari tape recorder yang memutar rekaman suara mereka. Istilahnya, playback.

Tentu saja walaupun pura-pura, tetapi harus dijalankan dengan tepat dan  benar. Kalau tidak, suara penyanyi dan bentuk mulut bisa berlainan atau suara instrumen tidak sesuai dengan vusualnya. Ini bisa mengundang caci-maki penonton televisi.

Satu-satunya rekaman suara plus visual  hari  itu hanyalah untuk pembawa acara. Sebab suara Anita  memang tidak direkam terlebih dahulu; secara teknis lebih sulit. Supaya mikrofron tidak nampak di mata penonton televisi, maka benda itu diselipkan di dada, tertutup oleh kebaya, kabelnya dialirkan di bawah kebaya, terus kebawah selendang menuju punggung. Sisanya melingkar-lingkar di lantai sebelum dihubungkan dengan alat perekam. Dengan keadaan ini, kemana pun Anita pergi bagaikan layang-layang bertali.

Perekaman suara dan gambar Anita dilakukan jam 14.45. Pada saat itu studio II yang berukuran 13 X 20 meter itu diterangi sekitar 30 lampu dan suasana pun menjadi hening. Sekitar seratus manusia yang ada dalam studio itu menahan napas dan gerak. Bahkan 17 mesin AC di ruangan itu seolah ikut menahan suara­nya. Begitu rekaman selesai, mereka berteriak melepaskan himpitan di dada.

Celakanya, re­kaman ini tidak sekali jadi. Setelah diulang tiga kali, barulah dianggap sempurna. Dan setelah itu barulah dimulai rekaman vi­suil acara Telerama berupa sepuluh lagu yang dinyanyikan satu persatu dan 12 lagu daerah yang dinyanyikan nonstop, Te­tapi begitu rekaman akan dimu­lai, terdengar panggilan bagi petugas maintenance: ada kerusakan teknis!

Rekaman pun ditunda hampir satu jam,

**

Penanggung jawab acara ini Soewanto Soewandi. Ia sangat sibuk.  Apalagi unit rekaman untuk studio ini terletak dalam mobil-unit yang dipakir di luar gedung, sekitar 100 m dari studio. Sebenarya studio ini memang hanya untuk pusat latihan calon pegawai TVRI tetapi karena tak ada tempat lain, maka fungsinya jadi tempat latihan dan juga studio rekaman.

Selaku pangarah acara atau PD (Program Di­rector), Soewanto bertanggung jawab penuh atas acara ini, mengatur apa yang harus dlakukankan para pemain di studio,selanjutnya berlari ke mobil unit untuk mengarahkan rekamannya.

Mobil unit itu dibagi atas tiga bagian, empat dengan ruang pengemudi. Di belakang ruang pengemudi. Soewanto duduk menghadapi "switchingboard" berdampingan dengan seorang petugas (switcher). Switching board merupakan alat untuk memindahkan gambar yang diambil juru kamera ke dalam alat perekam. Di belakang ruang itu terdapat ruang audio (mengatur suara) dan paling belakang, para petugas VTR (Video Tape Recorder) siap menjalankan perekaman.

Di depan Soewanto dan swit­cher terdapat beberapa layar televisi, empat di antaranya sedang bekerja. Keempatnya merupakan alat monitor, tiga disebut preview monitor dan salah satunya final monitor. Setiap pre­view monitor dihubungkan dengan kamera yang ada di Studio II. Dengan demikian di Studio II waktu itu terdapat tiga buah kamera yang sedang bekerja.

Para juru kamera ini mengambil posisi berdasarkan perintah dari PD melalui alat pendengar yang selalu dipasang di telinganya. Sementara itu switcher atas perin­tah dari PD pula, menyalurkan salah satu atau dua gambar (jika gambar ditumpuk/mixing) yang terpampang di layar preview mo­nitor ke dalam final-monitor. Gambar dalam final-monitor inilah yang direkam VTR.

Nampaknya cara kerja ini sederhana, tetapi sebenarnya cukup memusingkan, Selain alat-alat elektronika itu peka, artinya harus digunakan dalam keadaan yang baik dan waktu yang tepat, menentukan gambar yang harus dipilih bagi PD bukanlah pekerjaan mudah. Seorang PD musik harus benar-benar tahu mengenai musik.

Tentunya Anda akan ngomel kalau suara televisi sedang didominasi gitar, te­tapi gambar yang terpampang di televisi Anda itu ternyata terompet yang dikepit di ketiak. Atau, Anda tentu akan gusar manakala gambar seorang penyanyi yang sedang mengangakan mulut tiba-tiba diganti dengan gambar biola yang sedang digesek.

Dalam kerja ini PD harus berpikir ganda, melihat apa yang sedang di­rekam dan memikir gambar mana berikutnya. Untuk mengatasinya, Soewanto hari itu membuat catatan, urutan mana yang harus diambil kamera dalam sebuah lagu. Misalnya pertama bass, penyanyi, biola, gitar, penyanyi dan seterusnya. Tentu saja catatan ini disesuaikan dengan lagunya.

Menurut aturan, seorang PD memang ha­rus membuat catatan semacam ini sebelumnya. Istilahnya shooting script. Catatan ini dibagikan juga kepada juru kamera, sehingga mereka tinggal bekerja menurut catatan tersebut. Sementara itu PD pun dapat beker­ja dengan perencanaan yang matang. Tetapi untuk membuat shooting script ini nampaknya di studio TVRI Jakarta sudah kehilangan tradisi.

Merekam acara umumnya tidak bisa sekali jadi  apalagi aca­ra seperti Telerama begini.  Ada saja halangannya, kamera yang terlambat mengambil gambar sebagaimana yang diinginkan PD,  pemain yang bermain terlalu pura-pura, gerak penyanyi yang terlambat atau penyanyi yang lupa teks lagu yang dinyanyikan.

Hal terakhir terjadi dalam Telerama semalam. Ketika Swesti Wirabuana menyanyikan lagu Bimbi, ia lupa teksnya, padahal sudah hampir selesai. Tentu saja rekaman ini harus diulang dan apa yang Anda lihat itu merupakan rekaman ulang yang paling baik.

Kisah lain, dalam lagu penutup, Iskandar  selaku dirigen telah menoleh ke belakang sebelurn lagu habis. Untunglah PD cukup jeli, sehingga dapat ditutup dengan telop “Anda telah menyaksikan...."

** 

"Untuk mempersiapkan Telerama ini diperlukan waktu sebulan," kata Isbandi yang ikut menggarap acara tersebut bersama Iskandar. Minggu pertama pihaknya menghubungi pe­nyanyi, meminta lagu dan menentukan nadanya. Minggu berikutnnya mengaransir lagu-lagu tersebut; tentu saja ini tidak dilakukan sendirian.

Dalam Telerama Minggu malam, pengaransir lagunya antara lain Mus Mualim, Ireng, Iskandar, Isbandi, dan Udin. Minggu ketiga barulah diadakan rekaman suara di studio Musica, karena TVRI tidak mempunyai fasilitas ini.

Di hari pertama dilakukan perekaman musik-dasar (piano, drum, gitar, bass) dua hari berikutnya saxophon; hari berikutnya biola, disambung penyanyi dan seterusnya. Hari ter­akhir barulah dilakukan mixing (pengadukan dari rekaman). Un­tuk semua ini memerlukan waktu lebih dari sepuluh hari. Dan ker­ja terakhir berupa rekaman visual tanggal 1 Agustus lalu.

Da­lam acara inilah para pemain dan penyanyi bertemu. Sebelumnya mereka bergerak sendiri-sendiri.

"Kami tak sempat mengadakan latihan bersama," kata Is­bandi. Soalnya, baik para pe­main maupun penyanyinya sulit bisa bertemu bersama. Mereka banyak yang bekerja sore atau malam dan banyak juga yang pagi hari. Bahkan seringkali ada yang ke luar kota. Maka hanya pada saat rekaman visual inilah mereka bertemu.

Dan inilah sebabnya sulit bagi Soewanto Soewandi untuk membuat shooting script  sebelum rekaman. Akhirnya ia hanya membuat ca­tatan berdasarkan pita rekaman suara mereka saja. Di sini berimajinasilah dia,  mana saja yang mungkin baik untuk diabadikan kamera.

"Kalau masih begini, bagaimana bisa baik?" komentarnya.

Bagi TVRI saat ini memang su­lit untuk memaksa para pemain atau penyanyi supaya berdisiplin. Soalnya TVRI tidak mengikat mereka dengan kontrak. Me­reka mengisi acara dengan imbalan honorarium sekedarnya. Jika dibandingkan dengan ho­norarium di luar, maka honora­rium TVRI mungkin hanya sepesepuluh atau bahkan lebih kecil lagi.

Dalam acara Telerama itu misalnya produser cq Direktorat Televisi hanya memberi imbalan sekitar Rp15.000,ke­pada tiap penyanyi dan Rp30.000 untuk grup. Walaupun mereka ini nampaknya mendapat bagian begitu kecil, tetapi jika dihitung keseluruhan, biaya produksi jumlahnya tidak dapat disebut kecil.

Untuk membayar honorarium pemain, penyanyi, penyusun aransemen, ongkos merekam suara dan sebagainya, me­nurut hitungan Kompas keseluruhannya mencapai dua juta rupiah.

Rekaman visual acara Tele­rama ini berakhir jam 17.40. Gedung TVRI sudah sepi, di luar hujan baru saja berhenti turun. Soewanto Soewandi menghambur ke studio, memberi alamat kepada para pemain dan memaki dalam nada gurau kepada mereka yang salah.

Kegembiraan terpancar di mana-mana. Para pemain melepaskan jasnya, juru kamera membenahi alat-alatnya, dan memasukkannya ke dalam peti, kemudian membawanya ke mobil-unit; para petugas membenahi kursi, membongkar panggung dan penonton pun satu persatu meninggalkan studio. Di pinggir studio lsbandi membuka tasnya, menghitung uang dan membaginya kepada para pemain: dua puluh enam ribu tiap pemain.

“Mereka sudah mengambil persekot sepuluh ribu untuk transport,” katanya menjawab pertanyaan kami.

Udara di luar begitu sejuk, para pemain meninggalkan halaman TVRI dengan wajah gembira. Sebuah bus kota berhenti di depan TVRI, beberapa orang naik dan melambaikan tangan kepada kawan-kawannya. beberapa orang lagi menenteng biola menunggu datangnya taksi.

Hari itu kerja mereka sudah selesai, tetapi ini bukan berarti rekaman sudah siap untuk disajikan kepada Anda. PD masih ha­rus melakukan pemeriksaan atau editing supaya hasil rekaman itu dapat tersaji dengan baik.

**

Dalam editing yang dila­kukan tanggal 4 Agustus lalu, masih banyak yang harus dila­kukan Soewanto Soewandi se­laku PD. Pertama ia memesan huruf-huruf untuk telop ke ba­gian grafik. Bagian inilah yang menulis tetop-telop mengenai nama penyanyi, pengarah acara, pembawa acara dan nama-acara yang disajikan.

Hasil tulisannya nanti digabungkan dengan gambar-gambar yang sudah di­rekam. Untuk rnenggabungkannya perlu kecermatan. Misalnya: kecepatan telop harus disesuaikan dengan panjang lagu. Untuk menghasilkan kecepatan yang tepat sebagaimana tersaji dalam televisi Anda Minggu malam itu, PD melakukan perekaman sampai tigakali.

Satelah berhasil dengan baik, barulah ha­sil rekaman terdahulu diurutkan menurut rencana. Dalam perekaman tanggal 1 Agustus lalu ti­dak dilakukan secara unit seba­gaimana yang telah Anda lihat. Penampilan lagu-lagu secara nonstop direkam terlebih dahulu, sedangkan penyanyi yang tampil satu-persatu itu tidak di­rekam berurutan.

Sebagai misal, ketika grup Black Brothers menyanyikan lagu Saman Doya dan Tirai direkam sekaligus atau berurutan. Dalam editing ini dilakukan pemindahan,sehingga remaja-remaja Irian itu ti­dak tampil dua kali, berurutan, tapi diseling penyanyi lain. Karena perekaman ini dengan pita VTR, editingnya lebih mudah. Pita- pita itu bukannya dipotong-potong kemudian disambung seperti halnya film, tetapi hasil rekaman diputar dan kemudian direkam secara ber­urutan.

Pekerjaan ini lebih mu­dah jika dibandingkan dengan editing acara Kamera Ria yang akan tampil di layar televisi Anda Rabu malam. Acara ini direkam dengan film dan pita VTR, sedangkan seluruh pengambilannya dilakukan di luar studio. Pekerjaan ini lebih pelik jika di­bandingkan dengan rekaman Telerama.

(Bersambung)

 ***

Keterangan: Laporan ditulis oleh penulis dan Jimmy S.Harianto, dimuat di Harian Kompas, 7 Agustus 1978.