Wawancara berlangsung 30 menit, gayeng, diselingi tawa dan ledekan. Sebelum kembali ke ruangan Wiranto dengan penuh canda meladeni permintaan kami untuk berfoto.
“Mood si Babeh lagi gak bagus tuh kayaknya. Baper banget,” bisik seorang kru sebuah stasiun televisi saat kami dari Tim Blak-blakan tiba di Kantor Menko Polhukam, Jenderal (Purn) Wiranto.
Salah satu penyebabnya, si kru melanjutkan, saat berbincang informal usai wawancara ada kameraman yang merekamnya. Padahal perekaman itu dimaksudkan sebagai stock shoot untuk memperkaya gambar. Tapi si Babeh, Wiranto, menafsirkan berbeda. Suasana pun menjadi kurang enak!
Diam-diam kami agak kecut juga mendengar kabar seperti itu. Apalagi pada Jumat (10/5/2019) sore itu kami datang terlambat sekitar 30 menit. Unjuk rasa massa di depan Kantor Bawaslu, persis di depan Sarinah, Jalan MH Thamrin, membuat arus lalu lintas padat merayap. Dari Dukuh Atas hingga Bunderang HI kami tempuh lebih dari 30 menit.
Entah berapa belas Bus TransJakarta dari arah Sudirman yang nyaris tak bergerak di jalurnya. Begitu memasuki Bunderan HI semua kendaraan menuju arah Kota dialihkan ke Jl Agus Salim, karena Jl Thamrin dibuat satu arah.
“Ya sudah datang saja, mas. Bapak juga masih dengan para tamu,” jawab seorang staf di Kantor Menko Polhukam saat kami mengabarkan kondisi yang ada.
Baca Juga: Saling Tantang Wiranto-Kivlan, Baikkah bagi Pembongkaran Kejahatan HAM?
Begitu tiba, para juru kamera langsung menyiapkan perlengkapan, menata kursi, dan mematut atribut lainnya. Ketika almarhum Letjen Soesilo Soedarman (Pak Soes) masih menjabat Menko Polkam, sebagai wartawan unyu-unyu saya beberapa kali menyambangi kantor tersebut. Pun ketika Wiranto menjadi Menko Polkam, 1999 – 2000, di era Presiden KH Abdurrahman Wahid.
Di kantor itulah saya berkenalan, bertemu, dan belajar dari para senior seperti Sururi Alfaruq (Jawa Pos), Edi Hidayat (Media Indonesia), Ishaq Zubaedi Raqib (Kedaulatan Rakyat), Agus Hermawan (Kompas), (alm) Taufik H Miharja (Kompas), dan lainnya.
Tak lama Wiranto menjabat Menko Polkam, karena Presiden Gus Dur dari luar negeri ‘mengintimidasi’ nya untuk mengundurkan diri. Wiranto dengan gentleman memenuhinya. Dia lengser keprabon madeg pandito. Lalu muncul kembali pada 2004 ketika memenangi Konvensi Calon Presiden Partai Golkar.
Sayang, di ajang Pemilihan Presiden langsung yang pertama itu Wiranto yang berpasangan dengan Salahuddin Wahid kalah suara dari mantan stafnya, Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla.
Sejumlah pihak menilai kekalahan Wiranto itu karena mesin Partai Golkar tak berjalan maksimal. Para elit ‘Partai Beringin’ memberikan dukungan setengah hati. Setiap kali kampanye, fisik mereka seolah hadir bersama Wiranto, tapi hati dan pikirannya entah di mana.
Meski tergolong singkat duduk di kabinet Gus Dur, ada satu peristiwa yang membekas. Kala itu Kementerian mengadakan acara buka puasa bersama dilanjutkan salat taraweh. Usai salat, rupanya setiap jemaah dipersilahkan untuk melipat dan membawa pulang sajadah yang diduduki sebagai cinderamata.
Saya masih ingat, sajadah yang saya duduki berwarna merah marun dengan bordiran gambar masjid di tengahnya. Entah, sajadah tersebut masih ada atau tidak di kediaman ibu saya di Klender.
Baca Juga: Jangankan Pak Wiranto, Presiden Jokowi Pun Tak Bisa Intervensi KPK
Tapi soal melipat sajadah itu saya jadikan ‘senjata’ untuk mencairkan suasana saat Wiranto menghampiri kami. Sekilas dia sempat kaget, lalu tersenyum. “Iya, dulu saya masih punya banyak tabungan bisa sedekah kayak gitu,” ujarnya perlahan dan kembali tersenyum sembari mempersilahkan saya duduk. Garis mukanya tak lagi keras seperti ketika pertama kali menghampiri kami. Alhamdulillah…
Wawancara selama lebih dari 30 menit berjalan gayeng, diselingi tawa dan ledekan Pak Wiranto. Sebelum kembali ke ruangan dia dengan penuh canda meladeni permintaan kami untuk berfoto, satu per satu.
Trims, Jenderal!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews