Taktik Maling Teriak Maling untuk Delegitimasi Pemilu

Sejatinya, masyararakat bisa cerdas, teliti, dan sigap terhadap berbagai fenomena informasi sesat dan kejadian aneh yang muncul.

Selasa, 16 April 2019 | 10:07 WIB
0
366
Taktik Maling Teriak Maling untuk Delegitimasi Pemilu
Penyebar berita bohong tentang KPU (Foto: Tirto.id)

Hampir tidak ada orang yang mau kemalingan. Sesuatu yang sejatinya menjadi hak, diambil secara diam-diam oleh pihak lain. Akibatnya timbul rasa kesal, marah, geram, benci tapi tanpa rindu...#eeh.

Seringkali yang jadi persoalan si korban bukan besaran barang yang diambil si maling, melainkan "perasaan kecolongan" atau "perasaan dicurangi" lebih dominan.  Sebagai contoh, bila kita memiliki sandal yang harganya mungkin tidak mahal. 

Sandal itu biasa kita pakai di lingkungan sekitar rumah, misalnya untuk pergi ke warung, ke rumah tetangga, dan lain-lain. Suatu ketika saat berjalan menuju warung tiba-tiba teringat lupa bawa dompet.  Lalu buru-buru kembali ke rumah untuk ambil ambil dompet. Sendal yang tadi dipakai diletakkan di teras rumah.

Setelah dompet didapatkan, segera ke berangkat lagi ke warung. Ternyata sendal yang tadi disimpan diteras sudah hilang digondol maling. Padahal masuk ke rumah tidak lama.

Reaksi pertama ketika mengalami hal tersebut tentu kesal, dongkol, dan entah apa lagi. Baru kemudian nyadar, dan mengiklaskan sandal itu sembari bergumam, semoga si Maling kelak diterima disisi om Polisi. Tentunya om Polisi laki-laki yang sangar, dong!  Jadi buka dengan mbak Polisi yang cantik. Kalau gitu sih aku juga mau jadi maling....heuheuheu...

Maling Konvensional 

Maling sandal seperti itu termasuk kategori maling konvensional. Dia bertindak sendiri tanpa ada orang yang tahu sebelumnya. Tujuannya mendapatkan hasil yang dinikmati sendiri. Sementara si korban juga bersifat perorangan. Kesal,  ya kesal sendiri. Dongkol, ya dongkol sendiri. Jadi kondisi "malingisitas" atau kemalingan itu tercipta dari "relasi" dua pihak secara personal.

Jaman sekarang ada juga model maling yang tidak konvensional. Malingnya bersifat modern. Pelakunya kumpulan orang pinter.  Mereka bekerja secara team work. Hebatnya, maling ini sebelum beraksi atau setelah kejadian berteriak maling.

Cara kerjanya sangat terencana. Mereka hapal medan operasinya karena terlebih dahulu mempelajari secara detail situasi lapangan dan profil calon korbannya. Ada yang bertugas sebagai eksekutor pengambil barang yang bukan hak nya. Ada yang bertugas sebagai tukang teriak. Ada yang bertugas sebagai penghasut masyarakt sekitarnya. Ada yang bertugas sebagai pencipta opini sesat di dalam masyarakat dan aparat hukum.

Dalam melakukan aksinya, maling teriak maling terlebih dahulu menciptakan kondisi lingkungan tidak aman, sedang ada ancaman, dan bahkan menuduh aparat berwenanglah yang jadi maling.

Masyarakat dibuat menjadi kacau oleh mal-informasi, dis-informasi,  hoaks dan fitnah. Mereka menggunakan berbagai bentuk permodelan atau peraga sehingga masyarakat menjadi percaya hasutan mereka. Mereka membuat setting bahwa aparat tidak bisa dipercaya.

Hal tersebut dilakukan secara halus dari mulut ke mulut. Dari media ke media. Pelaku bagian ini adalah orang orang-orang yang paling berpengariuh dan pintar dimata publik.  Mereka merupakan tokoh yang kiranya dipercaya publik. Mereka seolah menjadi pahlawan di kekacauan informasi tersebut.

Setelah kekacauan informasi dalam masyarakat tercipta secara masif, maka ada petugas lain yang beraksi menjadi maling yang sesungungguhnya.  Petugas di tim ini merupakan orang-orang yang kasta nya paling rendah dari semua anggota tim.

Barang yang diambil tidak tanggung-tanggung, yakni barang milik publik, bukan milik perorangan. Bisa juga barang itu hanya dirusak saja. Keberadaan barang tersebut tentu saja dibiayai dana publik dan dana masyarakat.  Sehingga semua anggota masyarakat merasa memiliki barang tersebut, tapi kok sampai kemalingan?

Tujuannya tentu untuk menciptakan kekacauan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat berwenang dan para tokoh panutan masyarakat. Masyarakat jadi saling curiga satu sama lain.  Kehebohan demi kehebohan dalam masyarakat itu menjadi Koentji! bagi tim maling untuk mencapai tujuan utamanya.

Ketika si maling eksekutor telah menunaikan tugasnya, maka selanjutknya ada tim yang bertugas berteriak-teriak bahwa sudah terjadi kemalingan di lingkungan masyarakat tersebut. Masyarakatpun terbangun dan menjadi heboh. Ternyata benar situasi lingkungan tidak aman. Dan ternyata benar bahwa aparat tidak bisa dipercaya.  Dengan begitu, tim  maling akan mendapatkan keuntungan berlipat untuk mencuri barang-barang lain milik masyarakat tanpa masyarakat tersebut sadari.

Adopsi Dunia Politik

Cara maling teriak maling ini rupanya diadopsi dan dikembangkan dalam dunia politik saat ini. Berbagai kejadian muncul (sengaja dimunculkan) oleh suatu kubu politik tertentu yang ingin mendapatkan pengaruh kekuasaan dalam masyarakat.  

Dalam hal Pemilu misalnya, terlebih dahulu diciptakan opini tertentu yang sesat oleh orang-orang pintar dan disegani dari kubu politik tertentu agar masyarakat tidak percaya kepada aparat atau pemerintah yang bertugas mengayomi masyarakat. Lembaga-lembaga terkait Pemilu seperti KPU, Bawaslu, Kepolisian, TNI, dan lain-lain dilegimitasi terlebih dahulu dalam opini tersebut. Lembaga itu dianggap curang, tidak netral dan ingin untung sendiri.

Opini sesat itu bertujuan agar ketika kubu politik tersebut melakukan kecurangan, maka yang tertuduh adalah berbagai lembaga terkait penyelenggaraan Pemilu.

Dengan cara itulah mereka akan mengalahkan kubu politik pesaingnya dalam Pemilu, sekaligus mendapatkan simpati masyarakat karena mereka telah membongkar adanya kemalingan atau kecurangan Pemilu.

Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi kubu politik seperti itu atau tim maling teriak maling ini sangat besar. Bukan semata kehilangan atau rusaknya barang/material milik masyarakat, melainkan terpecahnya simpul persatuan berbagai elemen dalam masyarakat itu.

Timbul saling curiga. Kebencian. Ketidakpercayaan pada aparat, dan hal-hal bersifat moral lainnya.  Akibatnya suasana kehidupan dalam masyarakat menjadi tidak nyaman dalam jangka waktu yang cukup lama.  

Sejatinya, masyararakat  bisa cerdas, teliti, dan sigap terhadap berbagai fenomena informasi sesat dan kejadian aneh yang muncul, sehingga tidak terjebak pada hasutan pihak-pihak yang bermental maling teriak maling.

Dari kekacauan yang ditimbulkannya,   maka dapat dikatakan bahwa jenis maling teriak maling ini lebih rendah derajatnya dari maling sandal.

Oh ya, ada satu model kemalingan yang justru bikin aku senang, yaitu bila kamu jadi maling hatiku....#aaaw! Jadi pengen malu, tapi takut tersipu, heu heu heu.....

***