Papua adalah bagian sah dan tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Fakta ini tidak lahir dari klaim sepihak, melainkan melalui proses historis dan hukum yang telah diakui secara internasional. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 merupakan tonggak utama dalam proses tersebut. Diselenggarakan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pepera menjadi mekanisme resmi yang menegaskan keinginan rakyat Papua untuk tetap berada dalam pangkuan Indonesia. Keputusan ini kemudian diterima dan diperkuat oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504, sehingga status Papua sebagai bagian dari Indonesia bukan hanya sah secara hukum nasional, tetapi juga diakui secara global.
Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan Pepera tidak terlepas dari dinamika geopolitik pasca-Perang Dunia II dan berakhirnya kolonialisme Belanda di wilayah Asia. Dalam Perjanjian New York tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda, disepakati bahwa masa depan Papua akan ditentukan melalui proses Penentuan Pendapat Rakyat. Hasilnya, pada tahun 1969, sebanyak 1.026 perwakilan rakyat Papua yang dipilih dari berbagai wilayah secara musyawarah menyatakan secara bulat bergabung dengan Indonesia. Proses ini dijalankan dengan mempertimbangkan struktur sosial dan adat Papua yang berbasis pada kolektivitas, dilaksanakan melalui mekanisme musyawarah yang sesuai dengan struktur sosial masyarakat Papua saat itu.
Yohannis Samuel Nusi, seorang pegiat sejarah Papua, menekankan bahwa Pepera adalah bagian dari rangkaian diplomasi panjang, bukan agenda sepihak pemerintah Indonesia. Ia menjelaskan bahwa pendekatan musyawarah yang dilakukan justru sesuai dengan tradisi masyarakat Papua, yang mementingkan konsensus dan keputusan kolektif melalui perwakilan tokoh adat dan pemimpin komunitas. Ini menjadi dasar kuat bahwa Pepera bukanlah bentuk paksaan, melainkan metode yang menghormati budaya lokal dalam kerangka penyelesaian internasional.
Kesahihan Pepera semakin tak terbantahkan dengan pengakuan resmi dari PBB. Dalam resolusi Nomor 2504, Majelis Umum PBB menerima hasil Pepera sebagai bentuk sah dari penentuan nasib sendiri. Hal ini memberikan legitimasi penuh terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua. Maka dari itu, setiap upaya mempertanyakan hasil Pepera atau memframingnya sebagai bentuk aneksasi bertentangan dengan fakta sejarah dan hukum yang berlaku, baik nasional maupun internasional. Dengan demikian, narasi yang menyebut Pepera cacat hukum perlu ditinjau ulang karena mengabaikan fakta partisipasi masyarakat Papua dalam proses tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa integrasi Papua bukan sekadar formalitas politik, melainkan komitmen nyata untuk membangun dan menyejahterakan masyarakatnya. Sejak disahkannya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001 dan revisinya pada 2021, negara hadir dengan berbagai kebijakan afirmatif yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat Papua: dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi dan infrastruktur. Ratusan triliun rupiah telah digelontorkan untuk mendorong kemajuan Papua, membangun konektivitas, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut.
Pendekatan pemerintah tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik, tetapi juga stabilitas sosial dan harmoni antar komunitas. Melalui pelibatan tokoh adat, agama, dan masyarakat sipil, pemerintah berupaya mengedepankan dialog dalam menjaga keamanan dan ketertiban di Papua. Komandan Resor Militer 182/Jazira Onim, Kolonel Inf Irwan Budiana, dalam sebuah diskusi publik menegaskan bahwa perjuangan Indonesia dalam merebut kembali Irian Barat tidak hanya melalui jalur militer, tetapi juga diplomasi yang panjang. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama generasi muda, untuk tidak terjebak provokasi yang mencoba mendistorsi sejarah. Kegiatan edukatif seperti diskusi dan seminar sejarah menjadi penting untuk membentengi pemahaman masyarakat dari narasi separatis yang keliru dan tidak berdasar.
Bahkan lebih jauh, pemerintah membuka ruang dialog konstitusional bagi siapa saja yang ingin menyampaikan aspirasi secara damai, termasuk melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana diatur dalam revisi UU Otonomi Khusus. Ini menjadi bukti bahwa negara tidak alergi terhadap kritik, selama dilakukan dengan niat memperbaiki dan bukan merongrong keutuhan bangsa.
Kini, setelah lebih dari lima dekade integrasi Papua ke dalam Indonesia, sudah saatnya narasi masa lalu ditinggalkan demi menatap masa depan yang lebih konstruktif. Upaya mempertanyakan status Papua dalam NKRI bukan hanya kontra produktif, tetapi juga mengabaikan fakta sejarah, kerja keras banyak pihak, dan cita-cita bersama untuk membangun Papua yang damai, adil, dan sejahtera. Papua bukan wilayah jajahan, melainkan tanah air yang setara dalam pelukan Ibu Pertiwi.
Pepera 1969 bukan sekadar peristiwa, melainkan momen penegasan jati diri bangsa bahwa Papua adalah Indonesia. Pengakuan internasional terhadap hasil Pepera menjadi fondasi kuat bahwa kedaulatan Indonesia atas Papua tidak dapat diganggu gugat. Maka, fokus hari ini bukan lagi soal status, tetapi bagaimana membangun Papua sebagai etalase keberhasilan Indonesia dalam merawat keberagaman dan menghadirkan keadilan. Sejarah telah bicara, kini saatnya kita menulis bab baru tentang Papua yang maju dalam bingkai NKRI.
*Penulis merupakah Pegiat sejarah Papua
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews