Mengapa Presiden Jokowi Melarang TNI dan Polri Undang Penceramah Radikal?

Kita harus mendukung perintah Presiden Jokowi untuk tidak mengundang penceramah radikal yang ingin mengganti negara Pancasila dengan ide-ide atau gagasan negara khilafah.

Kamis, 3 Maret 2022 | 08:35 WIB
0
189
Mengapa Presiden Jokowi Melarang TNI dan Polri Undang Penceramah Radikal?
Presiden Joko Widodo di Rapim TNI-Polri 2022 (Foto: suara.com)

Dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri 2022 yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, ada perintah Presiden larangan untuk tidak mengundang penceramah radikal.

Intinya, Presiden Jokowi menghimbau dengan penekanan untuk berhati-hati dalam mengundang penceramah dalam dua institusi tersebut. Dan untuk dikomunikasikan dengan atasannya sebelum mengundang penceramah. Karena tanpa izin atasan artinya melanggar prosedur atau disiplin.

Mengapa sampai presiden Jokowi resah dengan penceramah radikal yang masuk dalam lingkungan internal TNI dan Polri?

Tentu presiden mendapat laporan-laporan intelijen terkait penceramah radikal yang sering diundang oleh dua institusi tersebut.

Terus, apa definisi penceramah radikal yang dimaksud oleh presiden Jokowi?

Supaya tidak panjang lebar mendefinisikan penceramah radikal, seperti definisi cinta dua insan berlainan jenis, maka disederhanakan atau dipermudah saja.

Penceramah radikal yaitu penceramah yang menggaungkan pendirian negara khilafah dan menolak Pancasila sebagai dasar negara dan menganggap Pancasila dan demokrasi adalah Thaghut.

Penceramah radikal juga sering mengakfir-kafirkan kelompok lain yang tidak sepemikiran atau aliran. Intinya mengampayekan faham takfiri yaitu selain kelompoknya dianggap kafir. Dan juga sering mem-bid'ah-bid'ah-kan kelompok lain.Dan anti hormat pada bendera merah putih atau menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Merespon perintah Presiden Jokowi, jajaran TNI dan Polri langsung sigap dan tegak lurus dengan perintah atau arahan Presiden terkait larangan mengundang penceramah radikal.

KSAD TNI Dudung Abdurachman langsung memerintahkan jajarannya yaitu seluruh Pangdam dan Danrem untuk tikdak mengundang penceramah radikal. Begitu juga Polri juga akan menindaklanjuti arahan presiden Jokowi terkait larangan penceramah radikal.

Belum lama ini penceramah Haekal Hassan di Malang ditolak untuk mengisi ceramah dan segera untuk meninggalkan tempat. Konon, Haekal hassan ingin ceramah karena ada undangan di Yonif  Malang. Namun begitu pihak TNI AD memberikan klarifikasi mengenai poster Haekal yang ingin ceramah di Yonif Malang adalah hoax atau tidak benar. Nama Yonif dicatut oleh pihak panitia dan pihak panitia untuk segera mengklafirikasi.

Terlepas itu hoax atau tidak, nyatanya pihak panitia mengajukan izin untuk mengisi ceramah di Yonif itu. Tidak mungkin pihak panitia berani memasang poster terkait kehadiran Haekal untuk ngisi ceramah pengajian di lingkungan Yonif tersebut.

Hanya karena publik memviralkan kegiatan tersebut, maka pihak TNI AD memberikan klarifikasi atau bantahan.

Ada lagi dalam acara peringatan HUT RI tahun 2018, ada anak-anak TK dari Kartika V yang merupakan binaan atau dibawah Komandan Kodim Proboinggo,melakukan aksi baris berbaris dengan cadar dan membawa replika senjata.

Komandam Kodim setempat akhirnya meminta maaf atas kejadian tersebut.

Seorang istri akan mendapat jabatan sebagai pimpinan semacam Dharmawanita yang membawai sekolah-sekolah di lingkungan kesatuan tugas suaminya. Jabatan itu melekat karena pengaruh jabatan suaminya. Artinya kejadian sekolah taman kanak-kanak Kartika V Probolinggo dengan menggunakan cadar dan replika senjata yang menjadi ketua TK Kartika tentu istri dari Kodim setempat.

Kalau istri para petinggi TNI dan Polri mempunyai pandangan negara khilafah harus ditegakan, maka mereka ini akan menggunakan posisi jabatan suaminya untuk memasukan ide-ide atau gagasan cinta khilafah. Dan ini berbahaya untuk keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila.

Makanya Presiden Jokowi juga menyinggung istri-istri petinggi TNI dan Polri yang sering mengundang penceramah yang cinta khilafah. Dan peran suami harus mengingatkan. Karena jabatan suami bisa dicopot gara-gara ulah istrinya di media sosial.

Ada lagi di lingkungan atau internal Polri ada kelompok pengajian dengan nama "Polisi Cinta Sunah". Mereka sering mengundang penceramah aliran Salafy atau Wahabi yang mudah mengkafir-kafirkan atau membid'ah-bid'ahkan kelompok lain. Bagaimana bisa di lingkungan Polri ada kelompok keagamaan seperti itu.

Makmum Rasyid tokoh muda NU yang juga menjabat Pengurus Harian Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia sering mengingatkan terkait Polisi Cinta Sunah ini.

Maka, kita harus mendukung perintah Presiden Jokowi untuk tidak mengundang penceramah radikal yang ingin mengganti negara Pancasila dengan ide-ide atau gagasan negara khilafah. Jangan sampai lengah dan menyesal dikemudian hari. Mereka hanya menunggu momen yang tepat dan pas. 

***